KONDISI TERKINI SASTRA RIAU

Membangun Sastra Riau dari Kabupaten/Kota

Seni Budaya | Minggu, 11 Desember 2022 - 11:01 WIB

Membangun Sastra Riau dari Kabupaten/Kota
Dari kiri, para juri lomba baca puisi Festival Sastra Sungai Jantan II 2022 yakni Marhalim Zaini, Jefrizal, dan Kunni Mansrohati, saat melakukan penilaian. (DISDIKBUD SIAK UNTUK RIAU POS)

SALAH seorang sastrawan Riau, SPN Marhalim Zaini M Hum, berpendapat, perkembangan sastra Riau hari ini secara umum,  berjalan di tempat, atau malah mundur. Tidak hanya di daerah luar Pekanbaru, tapi bahkan di Pekanbaru juga. Jika misalnya ada terlihat beberapa iven sastra, itu hanya riak kecil saja. Konsep tidak jelas. Hanya kegembiraan-kegembiraan bersastra saja. Substansi tak tersentuh.Tidak menyentuh dan tidak  bicara (kualitas) karya tapi pada semata show saja. Kalau saja ada yang serius mengupas karya, menurut dia, habislah, karena tak banyak yang mampu bicara keluar. Mungkin ada satu-dua yang serius berkarya, dan tetap menganggap dunia sastra ini dunia kreativitas yang tidak asal-asalan, tidak semata cari nama.

Menurut alumni Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, di luar Pekanbaru, sebenarnya banyak juga yang menulis, dan potensial. Beberapa dari mereka sudah menerbitkan buk, seperti belakangan ada nama Jeli Manalu (Rengat) dan Romi Afriadi (Kampar). Ketika dia membaca karya kedua penulis tersebut, menurutnya, keduanya menjanjikan.


“Kenapa tidak banyak muncul penulis atas sastrawan di Riau? Karena ekosistem sastra kita (Riau, red) kan memang sedang sakit,” kata Marhalim saat dihubungi Riau Pos, Kamis (8/12/2022)

Sungai Jantan
Inisiator Festival Sastra Sungai Jantan II 2022 yang juga PNS Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Siak, Zulkarnain Al Idrus saat berbincang dengan beberapa juri. (DISDIKBUD SIAK RIAU POS)

Menurut Marhalim, sebenarnya banyak  yang  bisa dilakukan oleh DKP masing-masing daerah di Riau jika mereka mau dan punya visi. Misalnya dalam hal pembinaan, gerakan-gerakan dan tidak hanya menyelenggarakan lomba-lombaan.  Cuma masalahnya, kata dia,  apakah lembaga itu masih hidup sekarang? Jadi, menurutnya, tidak bisa berharap banyak pada lembaga itu. Yang mestinya dilakukan para (calon) penulis adalah bergerak sendiri melalui komunitas-komunitas mereka.  Membangun ekosistem sendiri. 

Marhalim berharap pemerintah melalui dinas-dinas terkait mendorong dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan ini. Menurutnya, banyak dari lembaga pemerintah yang tidak sadar kalau mereka adalah fasilitator yang mestinya punya inisiatif menyelenggarakan. Selama ini lembaga-lembaga tersebut, menurut Marhalim, cenderung menunggu, sangat kurang inisiatif. Begitu juga dengan peran swasta. Karena salah satu unsur ekosistem untuk membangun kehidupan bersastra yang sehat itu termasuk peran swasta. 

“Model atau format yang bisa dilakukan itu banyak. Yang selama ini sering kegiatan itu kan cuma lomba. Karena itu kegiatan yang paling mudah. Festival sastra sangat diperlukan sekarang. Tapi bukan festival yang isinya juga lomba. Tidak ada diskusi, wacana tidak berkembang. Kalau ada diskusi cuma romantisme. Kritikus kita sudah tidak ada. Karya para pemenang itu, ya dibahaslah. Capaiannya apa. Festival itu perlu gagasan dan visi, kalau tidak ya hanya angin lalu saja,” kata lelaki yang menyelesaikan S-2-nya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Marhalim mencontohkan, dia menginisiasi bersama Zulkarnain Al Idrus kegiatan Festival Sastra Sungai Jantan. Meskipun  belum maksimal, tapi setidaknya sudah dimulai. Setakat ini masih berbentuk masih lomba dan lokal sifatnya. Konsepnya ada workshop, diskusi, lomba, seminar,  dan penerbitan buku. Dalam konsep yang dia ajukan itu bahkan ada residensi sastra, karena alam dan sejarah Siak menarik. Dan tahun berikutnya mestinya bisa terlaksana. Daerah lain yang sudah mulai dua tahun terakhir, kata Marhalim, adalah Bengkalis. Di sana ada Musa Ismail yang menggerakkan kegiatan workshop untuk pelajar. Meskipun perlu terus ditindaklanjuti hasilnya.

Peran dari Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR), Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, atau perguruan tinggi, menurut Marhalim, sangat perlu. Selama ini, kata dia,  setidaknya satu dasawarsa terakhir, belum maksimal perannya. BBPR tidak lagi secara serius menyentuh dan menggerakkan kegiatan sastra, lebih banyak ke bahasa. Padahal, menurutnya, BBPR paling relevan kalau bicara soal bagaimana mengembangkan dunia sastra, karena bahasa dan sastra itu tidak bisa dipisahkan. Ia bersebati. Dan harus merangkul semua pihak, tidak hanya segelintir saja. BBPR harus punya  pembacaaan yang komprehensif tentang perkembangan sastra Riau dari waktu ke waktu dan secara berkesinambungan. Tidak ganti kepala, ganti pula programnya. Para pegawainya yang selama ini mengetahui, mestinya memberikan masukan secara obyektif. Dinas Kebudayaan Riau, juga begitu. Marhalim menjelaskan, tidak melihat ada perkembangan apa pun yang menjanjikan yang mestinya dapat dilakukan oleh dinas ini. Menurutnya masih pasif dan masih bergaya lama, kurang punya visi.

“Menurut saya, yang harus dilakukan para penulis sekarang adalah membangun jaringan antarpenulis atau komunitas. Bikin festival sastra yang berbasis komunitas. Tempatnya bergantian, tidak hanya di Pekanbaru. Festival harus dikonsep dengan baik, dengan kurasi, dan tidak asal-asalan,” ujar Ketua Suku Seni Riau ini.

Pada bagian lain sastrawan yang saat ini tunak sebagai pengajar komuniksi di Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau, Dr M Badri, melihat dari sisi lain mandegnya perkembangan sastra di Riau secara keseluruhan. Salah satunya, menurut dia, disebabkan karena pergeseran budaya konsumsi media. Anak-anak muda sekarang lebih suka mengakses media sosial terutama mengonsumsi konten-konten visual atau audio visual dibanding konten teks atau literatur. Akibatnya minat terhadap produksi karya kreatif berbasis teks juga menurun, termasuk karya sastra. Padahal jika dibandingkan dulu, medium berkarya saat ini justru semakin melimpah terutama di media digital.

Dia mengusulkan agar  digalakkan lagi diskusi-diskusi sastra, literasi karya sastra, perlombaan-perlombaan sastra, dll, di tingkat kabupaten/kota. Terutama kegiatan yang berbasis di sekolah-sekolah atau kampus. Menurutnya, DKP masing-masing daerah harusnya bisa menjadi pelopor atau fasilitator hal itu, termasuk mendorong lahirnya komunitas-komunitas di daerah. Karena sebenarnya masih banyak potensi lahirnya penulis/sastrawan di daerah, tapi mereka tidak memiliki atau tidak tahu ruang formalnya untuk membangun eksistensi tersebut.

“Peran pemerintah sangat perlu, tapi harus dirancang sebagai kegiatan berkelanjutan berbasis outcome, menghasilkan penulis dan karya sastra. Begitu juga dengan peran swasta, misalnya memfasilitasi atau mensponsori kegiatan literasi, pelatihan-pelatihan, festival,  atau writing camp, termasuk penerbitannya,” jelas lelaki yang menyelesaikan program magister dan doctoral Komunikasi Pembangunan di IPB ini.

Dia berharap sebainya semua daerah melakukan kegiatan-kegiatan tersebut dengan mengangkat keunikan atau lokalitas masing-masing. Jika semuanya perlu dilibatkan karena jika semua pemangku kepentingan terlibat kegiatan bisa lebih komprehensif, termasuk BBPR, Dinas Kebudayaan Riau, maupun pemangku kepentingan lainnya. Menurutnya, setiap daerah sebaiknya mengadakan festival sastra. Kalau d Riau ada 12 kabupaten dan kota dan masing-masing mengadakan kegiatan festival dengan  waktu berbeda, misal Januari di kabupaten A, Februari B dst, tiap bulan di Riau akan ada festival sastra. 

“Jika ini terlaksana, akan jadi gerakan yang keren untuk menghidupkan lagi gairah bersastra di Riau,” jelas penulis kumpulan puisi Grafiti Bukit Puisi dan buku lainnya ini.*** 
 

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook