Meski bukan tema baru dalam sastra (prosa) di Riau, namun tema-tema perlawanan bisa menjadi alternatif ke depan karena Riau punya “bahan baku” yang melimpah.
RIAUPOS.CO - PERSOALAN mazhab dalam sastra Melayu Riau menjadi pebincangan menarik dalam Bincang Sastra #3 Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) 2023 yang diselenggarakan Rumah Kreatif Suku Seni, Ahad (1/10/2023). Dengan tema “Wahai Kaum Muda, Pilih Mazhab Ali Haji atau Sutardji: Telisik Karya Generasi Baru Sastra Riau”, dua pembicara tampil, yakni prosais Hary B Koriun dan penyair Boy Riza Utama. Hary memaparkan sebuah tema berjudul “’Mazhab Perlawanan’ dalam Prosa Riau Terkini”, sedang Boy Riza “Dari Raja Ali Haji ke Sutardji, Mana Telurmu?”.
Hadir dalam diskusi tersebut beberapa sastrawan dan seniman Riau seperti Furqon LW, Fedli Aziz, M Badri, Windi Syahrian Djambak, Anton WP, Redovan Jamil, Budi Syaputra, Ade Puraindra, Andreas Mazlan, Listi Mora Rangkuti, dan beberapa peserta lainnya yang memenuhi Studio Suku Seni, Gading Marpoyan, Kecamatan Siak Hulu, Kampar.
Hary yang khusus membedah tentang prosa, menawarkan sebuah tema sastra perlawanan sebagai sebuah pilihan bagi para prosais Riau –cerpen maupun novel. Tema sastra perlawanan merupakan “turunan” dari konsep realisme sastra yang berkembang dan menjadi gerakan sejarah sastra di Eropa dan Amerika pada abad ke-19 hingga sekarang yang awalnya dipelopori oleh Honore de Balzac (Prancis), George Eliot (Inggris), dan William Dean Howells (AS). Selain sebagai gerakan sastra, realisme juga menjadi sebuah gaya penulisan sastra lewat para sastrawan tersebut. Ciri khas sastra realisme memberikan gambaran kehidupan dan realitas sosial seperti yang dikenal oleh pembaca umumnya, dan untuk mencapai tujuan ini tokoh protagonis fiksi biasanya adalah warga masyarakat biasa dalam kehidupan sosialnya sehari-hari.
“Ini berbeda dengan fiksi/sastra romantik yang yang menggambarkan kehidupan seperti dalam mimpi, seperti hidup yang menyenangkan, petualangan yang mengasyikkan, kehidupan heroik yang kadang tak masuk akal, dan sebagainya, fiksi realis adalah potret kenyataan yang akurat atas kehidupan seperti apa adanya,” ujar Hary.
Dalam perkembangan selanjutnya, realisme dibagi dalam dua sub-genre, yakni realisme sosialis realisme magis. Menurut Hary, Realisme sosialis merupakan terminologi yang dipakai para kritikus Marxisme untuk fiksi yang dianggap menggambarkan atau merefleksikan pandangan Marxis bahwa pertentangan antarkelas sosial merupakan dinamika esensial masyarakat. Dalam pengertiannya yang paling sempit, realisme sosialis merupakan istilah yang dipakai sejak tahun 1930-an untuk fiksi yang merealisasikan kebijakan Partai Komunis Uni Soviet seperti pentingnya penggambaran penindasan sosial yang dilakukan kapitalis-borjuis, penggambaran kebaikan kaum proletar, dan penggambaran kehidupan yang aman dan makmur di bawah sosialisme Partai Komunis.
Prosais Hary B Koriun (kanan) dan penyair Boy Riza Utama saat menjadi pembicara dalam Bincang Sastra #3 dalam Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) di Studio Suku Seni, Gading Marpoyan, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Ahad (1/10/2023). (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)
Sementara itu, realisme magis adalah istilah adalah eksperimen dalam tema, bentuk, isi, sekuen waktu, dan pencampuradukan antara hal-hal biasa, fantastik, hal di luar nalar, mitos dan mimpi yang mengakibatkan terjadinya kekaburan antara yang serius dan main-main, yang menakutkan dan absurd, yang tragis dan komik. Contohnya dalam karya-karya Jorge Luis Borges (Argentina), Gabriel García Márquez (Kolombia), Isabel Allende (Cili), Günter Grass (Jerman) atau John Fowles (Inggris).
“Di Indonesia karya-karya Ayu Utami seperti Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali, Lalita. juga novel Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan, atau karya-karya Danarto, dll, bisa dimasukkan dalam genre ini,” kata Hary.
Lalu, bagaimana dengan sastra perlawanan? Dari realisme sosialis/sosial inilah sastra perlawanan –gerakan sosial, pembangkangan, pemberontakan baik dalam arti sebenarnya atau pikiran-- muncul. Karya sastra yang memberi ruang bagi ide-ide perlawanan terhadap penindasan apa pun, yang tidak hanya sebatas penindasan si kuat terhadap si lemah, kapitalisme-borjuisme terhadap proletar, si kaya terhadap si miskin, dan konsep patron-client lainnya, tetapi perlawanan terhadap hal-hal lain yang memang berjalan tidak seimbang dalam sistem kehidupan manusia.
Wacana atau diskursus ini sudah lama muncul dalam karya-karya sastra di banyak negara, termasuk Indonesia. Les Miserables (Victor Hugo), Animal Farm (George Orwell), Dr Zhivago (Boris Pasternak), De opstand van Guadalajara (Pemberontakan Guadalajara/Jan Jacob Slauerhoff ), Kantapura (Raja Rao) dan lainnya, adalah beberapa contoh. Di Indonesia, ketika Balai Pustaka menerbitkan novel-novel roman, karya-karya perlawanan telah muncul seperti Mata Gelap dan Student Hidjo (Mas Marco Kartodikromo) atau Hikajat Kadiroen (Semaun), dll. Oleh pemerintah Belanda, karya mereka dilabeli dengan “bacaan liar”.
Sastra Riau, menurut Hary, sudah lama menjadikan perlawanan sebagai ide atau tema dalam prosa. Para prosais seperti BM Syamsuddin, Ediruslan PE Amanriza, Fakhrunas MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil (TIJ), atau Abel Tasman, hingga ke generasi Olyrinson, Marhalim Zaini, M Badri, hingga yang terkini, Romi Afriadi, telah melahirkan karya-karya berbau perlawanan. Sebagai conton, dua novel TIJ, Hempasan Gelombang dan Gelombang Sunyi, dan salah satu cerpennya, “Pagi Jumat Bersama Amuk”, memperlihatkan bagaimana masyarakat Melayu yang tertindas kemudian melawan dengan caranya sendiri.
Hal yang sama juga dilakukan Ediruslan yang hampir semua novelnya membawa ide makna perlawanan. Salah satunya novel Dikalahkan Sang Sapurba yang menjadi juara kedua Lomba Menulis Novel DKJ 1998, dimuat secara bersambung di Kompas, sebelum dibukukan tahun 2000. Novel ini berkisah tentang masyarakat di kawasan Mahato, Rokan Hulu, yang harus berhadapan dengan kekuasaan dan pemodal yang menguasai hutan mereka dan mereka harus tersingkir.
Kemudian ada Abel Tasman. Abel adalah salah satu pengibar perlawanan dalam karya-karyanya terhadap realitas sosial masyarkat Riau yang miris. Dia menerbitkan Kumpulan Cerpen Republik Jangkrik (2002). Dalam cerpen “Pipa Darah”, “Metropolitan Sakai”, dan “Pertemuan dalam Pipa”, Abel menulis tentang ironi masyarakat suku asli Riau, salah satunya Suku Sakai –gambaran masyarakat terpinggirkan Riau secara keseluruhan-- yang miskin menderita, padahal di bawah tanahnya mengalir jutaan barel minyak, dan pipa-pipa terlihat melewati tanah-tanah yang mereka tempati –yang kebanyakan sudah tak mereka miliki— plus perkebunan sawit yang sangat menjanjikan.
Setelah generasi mereka, beberapa prosais seperti Olyrinson dan Marhalim Zaini juga memperlihatkan kecenderungan perlawanan dalam karya-karya mereka. Sejauh ini Oly sudah menerbitkan dua buku kumcer, yakni Sebutir Peluru dalam Buku (2011) dan Saat yang Tepat untuk Menangis (2018). Oly juga sudah menerbitkan lima novel, yakni Sinambela Dua Digit (2023), Gadis Kunang-Kunang (2005), Jembatan (2005), Air Mata Bulan (2006), dan Langit Kelabu (2007). Oly dikenal sebagai penulis “spesialis lomba” karena hampir semua karyanya memenangkan lomba, meski tidak selalu menjadi juara pertama.
Baik dalam cerpen maupun novelnya, Oly selalu menyuarakan ketidakadilan dan kenjomplangan si miskin vs si kaya atau si kuat vs si lemah dalam arus pembangunan yang menguatkan modal. Dalam cerpen maupun novelnya dia berpihak pada orang-orang kecil yang hidup dalam ketidakadilan tersebut secara ekonomi-sosial. Hampir tidak ada prosanya yang tidak berbicara tentang itu.
Meski lebih dikenal sebagai penyair dan sutradara teater, Marhalim Zaini adalah seorang prosais yang kuat. Sama seperti puisi-puisi dan karya dramanya, cerpen-cerpen dan novelnya memperlihatkan bagaimana dia eksis menyampaikan suara ketidakadilan dan perlawanan. Ini bisa kita lihat dari beberapa buku prosanya, yakni Kumcer Amuk Tun Teja (2007), Getah Bunga Rimba (novel/2006), Hikayat Kampung Mati (novel/2007), Megalomania (novel/2008), dan Tun Amoy (2009). Prosa-prosa Marhalim mewakili masyarakat kehidupan masyarakat bawah yang juga berada di posisi paling bawah dalam lapisan pembangunan sejak dulu hingga sekarang.
Yang terakhir dan mewakili generasi terkini, potensi besar diperlihatkan oleh Romi Afriadi. Penulis yang tinggal di Desa Tanjung, Kampar, ini, tahun 2022 lalu menerbitkan Kumcer Darah Pembangkang. Ada 19 cerpen dalam buku ini, yang hampir keseluruhannya bicara tentang perlawanan dalam banyak wujud. Perlawanan atau mempertanyakan peran agama yang penuh dogma, adat yang membelenggu pikiran, pendidikan yang salah arah, dan sebagainya. Potensi pembangkangan, radikalisme, atau perlawanan, sangat kental ada dalam cerpen-cerpen Romi. Dan itu dilakukan dengan konsisten.
Romi menjadi prosais Riau terkini yang tunak dengan isu dan tema realisme-gerakan sosial ini dibanding teman-teman “seangkatannya” atau di atasnya seperti Cikie Wahab, Alpha Hambali, Ahmad Ijazi, Sugiarti, WS Djambak, Rian Harahap, M Arif Husein, Redovan Jamil, Joni Hendri, Jeli Manalu, Boni Chandra dan sekian nama prosais lainnya yang akhir-akhir ini mulai memperlihatkan geliat lumayan baik bagi dunia sastra kita (Riau).
“Selain mereka, cerpen-cerpen Fakhrunnas, M Badri, Musa Ismail, dll, juga bicara tentang ‘perlawanan’ tersebut,” kata peraih Ganti Award I lewat novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri (2005) ini.
Menurut Hary, tema sastra perlawanan bisa menjadi sebuah alternatif atau pilihan bagi para prosais Riau ke depan. Tanah Riau punya “bahan baku” yang besar dengan berbagai persoalan sosial yang muncul akibat tujuan ekonomi dalam pembangunan baik saat rezim Orde Baru yang terus memanjang hingga kini. Ini berbeda dengan para prosais di Jawa dan daerah lain saat ini, yang cenderung menulis tentang persoalan privat dalam karyanya: kesendirian, keterasingan, kepedihan, dan hal-hal lain.
“Kondisi inilah yang kemudian terjadi ketimpangan sosial dalam masyarakat. Konflik-konflik horizontal tak bisa dielakkan lagi akibat persoalan agraria yang semrawut dan lebih berpihak kepada kapitalisme. Maka, persoalan-persoalan sosial di daerah tambang, sektor perkebunan –terutama sawit--, pertarungan ekologi-lingkungan, dan lain sebagainya, tak bisa dihindari. Dan semua itu dibalut dengan tingkat korupsi yang terjadi di semua sektor,” jelas lelaki yang sudah menuli 7 novel ini.***
Laporan EDWAR YAMAN, Pekanbaru