Festival sastra harus terus diselenggarakan agar terus menyala dan mati. Untuk itu perlu kerja keras dan konsistensi, juga kolaborasi.
RIAUPOS.CO - FESTIVAL Sastra Melayu Riau (FSMR) yang diselenggarakan oleh Rumah Kreatif Suku Seni Riau, menjadi salah satu dari sedikit festival sastra yang digelar di Riau, bahkan di Indonesia. FSMR diselenggarakan pada September-Oktober 2023 bertempat di Studio Suku Seni, Gading Marpoyan, Kampar, dan penutupan pada 28 Oktober 2023 di Taman Budaya Riau.
Festival ini dibuka pada Sabtu (16/9/2023). Hadir dalam pembukaan tersebut Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR), Toha Machsum; Kepala Taman Budaya Riau, Yan Hendri SE; Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Riau, Siti Salmah; juga beberapa sastrawan seperti Fakhrunas MA Jabbar, Dr M Badri, Windi Syahrian, Redovan Jamil, Murparsaulian, Dr Griven H Putra, Dr Jarir Amrun, dll. Pada hari pembukaan tersebut, Griven dan Jarir menjadi pembicara dalam bincang sastra dengan tema “Terang Redup Melayu dalam Karya Sastra Riau: Meneroka Pengaruh Melayu dalam Karya Sastra Riau”.
Kepala BBPR Toha Machsum sangat mendukung kegiatan ini. Sebagai UPT dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbudristek, pihaknya akan selalu mendorong kemajuan dunia sastra di Riau. Dia berharap kegiatan seperti ini akan berkelanjutan dan juga dilakukan oleh lembaga atau komunitas sastra lainnya di Riau.
Menurutnya, sastra harus didukung oleh pemangku kepentingan agar lebih bersemarak, fokus, dan maju. Toha juga menjelaskan bahwa tahun depan pihaknya akan lebih meningkatkan dan menggelar berbagai kegiatan yang diharapkan bisa merangkul para sastrawan di Riau untuk berbagai iven. Dia berharap hubungan lembaga yang dipimpinnya dengan para sastrawan di Riau akan terus akrab dan bersinergi dengan kuat.
“Kegiatan seperti ini harus dikembangkan dan bisa bersinergi dengan banyak pihak agar berjalan dengan baik,” kata Toha.
Harapan yang sama juga disampaikan oleh Kepala Taman Budaya Riau, Yan Hendri. Dia memberi apresiasi tinggi kepada Suku Seni yang mampu menyelenggarakan festival sastra tingkat Riau. Menurutnya, lembaga yang dipimpin SPN Marhalim Zaini ini mampu membangun ekosistem kebudayaan dengan baik. Di masa depan dia berharap kegiatannya bisa lebih ditingkatkan dan diperluas lagi.
“Ini luar biasa dan kita harus mengapresiasinya,” kata Yan Hendri.
Acara pembukaan ditandai dengan pemukulan kompang oleh Marhalim Zaini, Toha Machsum, Yan Hendri, Griven, dan Jarir Amrun. Beberapa acara dalam FSMR ini adalah bincang sastra, pelatihan sastra, sayembara sastra, pergelaran sastra, bazar buku, dan penerbitan buku yang akan melibatkan beberapa sastrawan Riau dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
Penggagas yang juga Kepala Suku Seni dan Direktur FSMR, Marhalim Zaini, menjelaskan, festival ini digagas dan digelar berangkat dari kegelisahan tentang kurangnya iven sastra di Riau yang secara spesifik dan tematik. Sejak lama pihaknya meniatkan kegiatan ini. Lalu ada program fasilitasi dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Suku Seni mencoba menawarkan ide tersebut. Dan ternyata diterima. Badan Bahasa yang mendukung pendanaan secara penuh.
Kata Marhalim, mengapa memakai nama “Festival Sastra Melayu Riau” dan bukan “Festival Sastra Riau”, karena sejak awal memang niatnya membuat festival yang tematik dan spesifik agar ada isu yang bisa terus dikawal sebagai upaya peneguhan kembali identitas kemelayuan dalam sastra Riau. Isu ini diharapkan menjadi salah satu kekuatan dari festival ini. Selain itu ada isu alih wahana sebagai satu model kerja kreatif dalam upaya pengembangan sastra Melayu.
“Tapi yang paling penting konsep festival ini: mulai dari bincang sebagai basis konseptual, lalu dilanjutkan dengan pelatihan sebagai ruang aplikatif penciptaan. Selanjutnya hasil pelatihan itu dikompetisikan untuk melihat sejauhmana keberhasilan dari kreativitas para kreator lintas bidang seni,” kata penulis dan sutradara teater Hikayat Orang Laut ini kepada Riau Pos, Kamis (21/9/2023).
Untuk penyelenggaraan tahun ini, FSMR masih berskala Riau. Marhalim mengatakan itu sebagai “tes ombak”. Dia tak ingin terkesan gagah-gagahan memakai skala nasional, bahkan Asia Tenggara, atau internasional. Selain itu soal tes kemampuan dari penyelenggaraa, juga soal kesanggupan mengelola sebuah festival yang agak berbeda. Terutama berbeda dari jarak waktu yang panjang, konsep dan terget, serta bagaimana sastra bersentuhan dengan seni lain. Tahun depan, kalau masih terbuka kemungkinan, setelah evaluasi, katanya, akan diperluas, sesuai kemampaun dan konsep. Untuk festival saat ini, baru pada batas membangkitkan, mendata, dan menata kekuatan lokal. Makanya skalanya baru provinsi.
Dalam hal pencapaian yang ingin didapat, lelaki yang juga menyutradarai Opera Melayu Tun Teja ini mengatakan, Melayu menjadi isu utama sebagai upaya penguatan identitas kekaryaan, yang sebetulnya telah dibangun sejak lama oleh para pendahulu. Tentu, katanya, Melayu menjadi pintu masuk juga untuk memperluas pembacaan dinamika kesusastraan di Riau. Jika Melayu melemah, berarti ada yang menguat, dan di festival ini mencoba menyusuri.
Sebagai penyelenggara, Suku Seni melibatkan para sastrawan Riau sebagai pemeran penting, baik sebagai narasumber maupun peserta. Bahkan memperluas keterlibatan para seniman (non-sastra) yang bertujuan memperluas dan membuka kerja kolaborasi. Harapannya sastra tidak terkesan eksklusif, padahal seni itu inklusif. Seni, kata Marhalim, apa pun jenisnya, pada hakikatnya tidak dapat berdiri sendiri.
Sebuah pertanyaan kemudian muncul: masih pentingkah sebuah festival sastra di era sekarang?
Menurut Marhalim, penting karena dapat membangkitkan iklim dan gairah bersastra. Penting karena wacana kesusastraan mendapat ruang untuk diperbincangkan bersama. Festival selalu relevan sepanjang ada yang “diperjuangkan” di sana. Artinya tidak semata ruang berkumpul yang bersifat nostalgik, tapi memproduksi diskursus baru, atau minimal membongkar kejumudan.
“Apalagi Riau, yang hari ini, agak mengalami pelambatan, baik sisi kekaryaan maupun isu. Belum lagi soal sastra Riau dalam kancah kesusastraan nasional yang redup. Maka festival, sekecil apa pun, menjadi momentum penting untuk membaca dinamika yang ada, yang tidak semata sebuah perayaan,” jelas penulis novel Hikayat Kampung Mati ini.
Lalu, seperti apa festival yang ideal? Menurut lelaki kelahiran Bengkalis ini, festival yang ideal itu ada isu yang disuguhkan. Isu yang memberi penguatan terhadap potensi lokal di mana iven dilaksanakan. Bukan perayaan yang berlebih dan miskin subtansi, serta lemah secara konseptual. Lalu membuka keterlibatan yang luas
Dia juga berharap FSMR menjadi pemantik bagi para pegiat sastra untuk membicarakan kembali kesusastraan Melayu dalam dinamika perkembangan sastra di Riau, dalam sebuah forum festival. Sebab, boleh dikata, setidaknya mungkin selama satu dekade ke belakang, Riau sepi perbincangan sastra. Sepi pula festival sastra, juga forum-forum sastra. Karya sastra boleh jadi juga terus ditulis, tapi jejaknya samar, bahkan tak “terbaca”.
Maka layaknya sebagai pemantik, katanya, festival ini diharapkan mendorong agar pergerakan sastra Riau lebih energik, lebih bergairah, dan lebih ramai. “Sastra Melayu” adalah pintu masuk saja, yang ditawarkan sebagai diskursus agar arahnya jelas dan relevan dengan sejarah kesusastraan Riau sendiri. Kemudian, agar sastra Melayu semakin luas mengembangannya, festival ini menawarkan satu model kerja kreatif alih wahana.
Marhalim berjanji, Suku Seni akan berupaya mengawal isu utama festival ini agar di tahun mendatang dapat digelar lagi. Isu utama “Melayu” sebagai entitas yang tidak ekslusif, tapi terbuka untuk diperdebatkan dalam sastra, akan terus menelisik sejauh mungkin berbagai ruang baru yang lebih segar dan inovatif, baik secara konseptual maupun kerja kolaboratif. Bisa saja di tahun mendatang tidak ada lagi dukungan pembiayaan, tapi tentu kerja kolaboratif secara kolektif.
“Meskipun kita harus terus menggugah dan mengupayakan agar para pihak memberi dukungannya,” jelasnya lagi.
Seperti diketahui, dalam festival kali ini, selain dukungan penuh dari Badan Bahasa dalam hal pendanaan, tidak ada lembaga –baik swasta maupun pemerintah— yang ikut membantu. Namun dia tetap berterima kasih kepada Dinas Kebudayaan Provinsi Riau yang meminjamkan di Taman Budaya sebagai tempat diskusi terakhir (bincang sastra) dan sekaligus tempat penutupan.
Marhalim berharap, ke depan festival ini tetap terselenggara dengan dukungan dari berbagai pihak di Riau, baik pemerintah maupun swasta. Itu, katanya, demi menghidupkan “nyala api” sastra agar tidak redup dan mati.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru