PEREMPUAN DALAM PUSARAN SASTRA RIAU (2/HABIS)

Melihat Peta Penulis Perempuan Riau

Seni Budaya | Minggu, 19 November 2023 - 11:15 WIB

Melihat Peta Penulis Perempuan Riau
Sastrawan dan akademisi Alvi Puspita saat menjadi pembicara dalam diskusi “Dawat Pena Puan Riau, Telah Mengeringkah?” di Taman Budaya Riau, Pekanbaru, Sabtu (28/10/2023). (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)

BAGIKAN



BACA JUGA


Menurut Alvi Puspita, selama ini  pembicaraan pada karya, pada apa yang ditulis oleh para penulis perempuan tak betul-betul disentuh. Misalnya tentang cara pandangnya, kegelisahannya, gagasan,  kreativitas, dll.

RIAUPOS.CO - BERSAMA Murpasaulian, Alvi Puspita ikut mendedahkan pikirannya tentang perkembangan sastra perempuan Riau dalam diskusi sastra #Bincang Sastra 4 bertajuk “Dawat Pena Puan Riau, Telah Mengeringkah?” pada Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) 2023 yang berakhir pada Sabtu (28/10/2023). Dengan kertas kerja berjudul “Ranjang, Perjalanan, Tradisi, dan Hati yang Bersedih: Teroka Karya Perempuan Penulis Riau” Alvi menjelaskan perjalanan perempuan penulis Riau sejak Aisyah Sulaiman hingga generasi terkini.


Dalam beberapa bagian, pembahasannya hampir sama dengan yang disampaikan oleh Murparsaulian, namun Alvi memberi penekanan di bagian lain, termasuk melihat kekhasan tulisan-tulisan mereka. Menurutnya, pada  frasa perempuan penulis Melayu Riau terdapat tiga entitas, yaitu perempuan, penulis, dan Melayu Riau. Menurutnya, jika hanya perempuan penulis Riau tidaklah terlalu sulit untuk melakukan klasifikasi. Indikatornya adalah perempuan yang aktif menulis dan berproses kreatif di Riau, terlepas sukunya Melayu atau tidak. Rentangan waktunya juga jelas yaitu sastra modern Riau yang ditandai dengan kehadiran Soeman Hs dalam konstelasi sastra Indonesia yang berlanjut hingga sekarang dengan terus munculnya nama-nama penulis dari Riau.

“Pertanyaannya, bagaimana dengan perempuan penulis Melayu Riau? Jika demikian berarti ada pula lelaki penulis Melayu Riau? Dan kemudian tentu akan ada terminologi Sastra Melayu Riau, sebagaimana yang digunakan Suku Seni Riau sebagai penyelenggara kegiatan ini,” kata Alvi.

Pertanyaan selanjutnya, menurut Alvi, adalah apa yang dimaksud dari penamaan Sastra Melayu Riau? Mengapa mesti ada kata “Melayu”-nya. Mengapa tidak Sastra Riau saja? Apakah tidak terlalu berbau etnisitas dan berindikasi pula membatasi pembacaan terhadap perkembangan sastra di Riau? Karena jika mengikuti nama-nama penulis Riau mutakhir yang karya-karya mereka sudah “bermain di luar kandang”, mereka secara suku bukanlah Melayu, pun secara karya tidaklah pula kental dengan kemelayuan.

Alvi kemudian membuat beberapa ciri khas mana yang penulis Melayu Riau dan mana yang Riau. Menurutnya, perempuan penulis Melayu Riau hidup pada masa Kerajaan Riau-Lingga yakni abad 18 hingga akhir abad ke-19. Mereka menulis dengan aksara jawi, menggunakan bahasa Melayu, secara genealogi berdarah Melayu, dan bentuknya sastra Melayu lama seperti syair, hikayat, pantun, dll. Sedangkan masa setelah Provinsi Riau terbentuk, mereka menulis dengan aksara latin, menggunakan bahasa Indonesia langgam Melayu, ada juga yang tidak secara tema atau latar cenderung mengandung unsur kemelayuan, secara genealogi tidak mesti berdarah Melayu, dan berproses kreatif di Riau.

Beberapa nama perempuan penulis Melayu Riau adalah Raja Salehah, Raja Syafi’ah, Raja Kalsum, Raja Aisyah Sulaiman, Khadijah Terung, Salamah Binti Ambar, Badriah M, dan beberapa nama lainnya. Di antara nama-nama tersebut, nama Aisyah Sulaiman dan Khadijah Terung dianggap memiliki karya yang lebih unggul dibanding lainnya dengan ciri khas masing-masing, yang dianggap melampaui zamannya ketika itu.

Pada masa setelah Provinsi Riau terbentuk (termasuk Kepulauan Riau sekarang), beberapa nama muncul. Tien Marni dan Herlela Ningsih muncul pada awal tahun 1980-an. Kemudian pada 1990-an ada nama Murparsaulian, Kunni Masrohanti, dan Cecen Cendrahati. Pada tahun 2000-an ada nama DM Ningsih, Budy Utamy, Dien Zhurindah, dan Wetry Febrina. Tahun 2000-an ke atas, nama-nama baru yang kebanyakan lahir dari rahim Komunitas Paragraf, muncul. Mereka antara lain Cahaya Buah Hati, Cikie Wahab, Zurnila Emhar CH, Refila Yusra, Jenni Fitriasa, Febby Fortinella Rusmoyo, juga Sugiarti (FLP). Dan pada generasi 2015-an ke atas hingga kini, muncul nama Pusvi Defi, Jeli Manalu, hingga Siti Salmah dan yang lainnya.

Alvi kemudian membuat kesimpulan, pada generasi awal perempuan penulis Melayu Riau, kecenderungan tema yang muncul adalah seksualitas perempuan dan semangat emansipasi yang terlihat dari karya Aisyah Sulaiman atau Khadijah Terung dan yang lainnya. Kemudian di era 1980-2000-an, tema tentang keresahan puak muncul dalam karya mereka. Dan pada era 2008-an hingga pascareformasi hingga era milenial, identitas menjadi cair, mengglobal, semakin personal namun juga ada kesadaran pengusungan kearifan lokal pada beberapa karya.

“Tapi yang ingin saya sampaikan, bahwa memang dari segi kuantitas, jumlah penulis perempuan sedikit. Namun saya tak ingin pembicaraan tentang penulis perempuan selalu berputar-putar di sekitar itu saja yang ujung-ujungnya pasti pada ungkapan getir atau kecewa pada jumlah yang sedikit itu,” jelas lulusan S-2 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Menurutnya, selama ini  pembicaraan pada karya, pada apa yang ditulis oleh para penulis itu tak betul-betul disentuh. Misalnya tentang cara pandangnya, kegelisahannya, gagasan,  kreativitas dll.

“Dan ada satu hal yang menjadi pertanyaan saya pada pembuka karya Aisyah Sulaiman, Khadijah Terung atau pun Cikie Wahab juga kecendrungan suasana dalam puisi Murparsaulian, ada semacam perasaan yang  sama:  kesepian, kesunyian, dan kedukaan seorang perempuan,” jelas perempuan kelahiran Kampar ini.

***

KETUA Rumah Kreatif Suku Seni yang juga Direktur FSMR 2023, Marhalim Zaini, merasa senang festival yang ditajanya berjalan dengan baik dan sesuai ekspektasinya. Untuk penyelenggaraan tahun pertama ini, katanya, targetnya membangun isu dan membaca peta gairah kreatif penulis Riau. Respon publik tentang itu menurutnya cukup baik. Misalnya pada empat sesi bincang sastra yang ramai dan antusias, lomba yang secara kuantitatif lumayan tinggi, secara kualitatif juga  cukup menggembirakan. Kemudian, lomba cipta puisi Melayu cukup memuaskan karena 38 peserta lomba menunjukkan karya-karya yang potensial. Puisi-puisi yang terpilih sebagai pemenangnya  menunjukkan upaya pencarian dan eksplorasi yang cukup liar.

“Begitu pun lomba alih wahana sastra Melayu, yang menghasilkan karya dalam berbagai rupa dan tafsiran dari semua bidang seni, mulai rupa, video, tari, musik, hingga performance art. Artinya, sastra Melayu memberikan satu alternatif pemantik lahirnya karya baru yang dapat mengobati kejenuhan dari karya seni mainstream,” ujar Marhalim kepada Riau Pos, Kamis (16/11/2023).

Untuk selanjutnya, jelasnya, yang pasti harus diupayakan festival ini berlanjut di tahun ke dua, dengan isu yang lebih spesifik sehingga hasil pembacaan tahun pertama yang dibawa ke tahun kedua, diberi penguatan-penguatan, baik tematik maupun model kegiatannya. Perluasan harus dilakukan perlahan agar tidak stagnan sebagai festival yang dari tahun ke tahun sama saja pola kegiatannya. Lalu ruang pertemuan antarpenulis akan diperbanyak dan diperluas, termasuk pelibatannya yang menyasar ke bidang non-sastra. Ini tetap menjadi konsentrasi dari festival ini; sinergisitas antarbidang seni.

Tentang apresiasi masyarakat sastra di Riau, menurutnya, mungkin cukup membuat masyarakat sastra Riau menoleh, atau setidaknya melirik. Yang terlibat langsung, dan memberi kontribusi pikiran, sambutannya baik. Yang tidak terlibat langsung juga menyampaikan apresiasi dari jauh, tidak hanya dari luar.

“Antusiasme dan sambutan paling meriah, saya kira di malam pergelaran sastra atau di puncak acara FSMR di Taman Budaya,” jelas peraih Anugerah Sastra kategori Naskah Drama dari Badan Bahasa 2023 lewat karya “Api Semenanjung” yang dimuat dalam buku Kumpulan Naskah Drama Dilanggar Todak ini.

Dia sadar, FSMR mungkin masih belum sepenuhnya menjangkau masyarakat sastra Riau yang lebih luas. Tapi, menurutnya, sebuah festival tidak semata dikejar perayaannya yang masif dalam kerumunan yang cair. Tapi yang lebih utama adalah membangun isu dan mengembangkannya dalam tahapan-tahapan program festival. Sehingga keterlibatan masyarakat tidak semata keterlibatan fisik, tapi keterlibatan wacana.

Perihal tema, menurutnya, masih dalam koridor yang ditawarkan. Meskipun, katanya,  di sana sini ada upaya pengembangan, terutama yang ditawarkan oleh para narsumber bincang sastra. Itu justru menjadi menarik, dan memang itu pula tujuannya. Cara pandang, atau perspektif, akan muncul beragam, agar lebih kaya, dan memunculkan isu-isu baru yang relevan dan kekinian.

Marhalim juga menjelakan, FSMR 2023 diupayakan sendiri oleh Suku Seni sebagai komunitas indenpenden. Upaya mulai dari menyusun konsep program, mengajukan dan bersaing dengan seluruh komunitas sastra yang ada di Indonesia untuk mendapatkan fasilitasi dari Badan Bahasa, sampai pada penyelenggaraannya. Mestinya upaya semacam ini menjadi sindiran bagi pemerintah di Riau, mungkin utamanya Dinas Kebudayaan. Komunitas saja bisa bikin, apalagi dinas, mestinya begitu. Dan harusnya juga disambut dengan baik, bahkan memberi support tambahan agar pelaksanaannya tambah bergairah.

“Artinya, jika ada upaya komunitas yang menghidupkan iklim bersastra, harus didukung penuh, tidak setengah hati. Apa pun bentuknya. Karena tugas-tugas pembinaan dan pengembangan seperti ini selayaknya memang menjadi tugas pemerintah setempat sebagai fasilitator,” ungkap lelaki yang juga penyair dan prosais ini.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook