FESTIVAL SASTRA MELAYU RIAU (FSMR) 2023 (BAGIAN 4/HABIS)

Antara "Mazhab" Raja Ali Haji dan Sutardji

Seni Budaya | Minggu, 15 Oktober 2023 - 11:45 WIB

Antara "Mazhab" Raja Ali Haji dan Sutardji
Para peserta Bincang Sastra #3 dalam Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) terlihat mengikuti diskusi dengan seksama di Studio Suku Seni, Gading Marpoyan, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Ahad (1/10/2023). (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)

Dunia puisi Melayu sangat lekat pada dua nama, yakni Raja Ali Haji dan Sutardji Calzoum Bachri. Keduanya menjadi wakil dari puisi tradisional dan modern Indonesia.

RIAUPOS.CO - DENGAN  tema besar “Wahai Kaum Muda, Pilih Mazhab Ali Haji atau Sutardji: Telisik Karya Generasi Baru Sastra Riau”, penyair Boy Riza Utama mendedah makalah berjudul “Dari Raja Ali Haji ke Sutardji, Mana Telurmu?” dalam Bincang Sastra #3 Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) 2023 yang diselenggarakan Rumah Kreatif Suku Seni, Ahad (1/10/2023). 


Hadir dalam diskusi tersebut beberapa sastrawan dan seniman Riau seperti Furqon LW, Fedli Aziz, M Badri, Windi Syahrian Djambak, Wan Harun Ismail, Anton WP, Redovan Jamil, Budi Syaputra, Ade Puraindra, Andreas Mazlan, Listi Mora Rangkuti, dan beberapa peserta lainnya yang memenuhi Studio Suku Seni, Gading Marpoyan, Kecamatan Siak Hulu, Kampar.

Menurut Boy,  Raja Ali Haji dan Sutardji Calzoum Bachri adalah dua nama penting dalam sejarah dunia puisi Melayu maupun Indonesia, dengan masing-masing membawa ciri khasnya. Raja Ali Haji mewakili puisi tradisional dan Sutardji puisi kontemporer.

Raja Ali Haji adalah seorang intelektual ulung dan penyair-pujangga dari abad ke-19. Dalam setiap kata yang ditorehkannya dalam puisi-puisinya, ujar Boy, terpantul sinar budi dan kebijaksanaan. Di lain sisi, Sutardji adalah seorang penyair kontemporer yang menggugah keberanian dalam dunia kata; membuktikan bahwa sastra adalah cermin zaman. 

Dijelaskannya, jika kita kembali menelusuri lorong waktu untuk menggapai zaman dari kedua penyair besar tanah Melayu Riau ini, maka akan tampak bahwa Raja Ali Haji adalah “Sang Pelopor”, sedangkan Sutardji adalah “Sang Pembebas”—meminjam istilah Ahmad Gaus dalam sebuah esainya.

 “Dapat disebut bahwa Raja Ali Haji adalah seorang ‘peletak dasar’, sementara Sutardji merupakan ‘pengarang eksperimental’,” ujar Boy Riza.

boy - suku seni
Penyair Boy Riza Utama (kiri)  saat menjadi pembicara dalam Bincang Sastra #3 dalam Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) di Studio Suku Seni, Gading Marpoyan, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Ahad (1/10/2023).(SUKU SENI UNTUK RIAU POS)

Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji pada abad 18 menjadi salah satu rujukan bagi kegemilangan estetik yang berhasil direngkuh-gapai oleh penyair dari Melayu Riau. Hal ini juga yang kemudian “disusul” oleh Sutardji dengan pembaruannya yang terkenal pada kurun 1970-an lewat Kumpulan Puisi O, Amuk, dan Kapak. Sutardji menciptakan kredo yang terkenal, yakni “bebaskan kata dari makna”. Harus diakui, kedua penyair inilah yang memengaruhi perjalanan dunia puisi Indonesia selain satu nama lainnya, Chairil Anwar.

Sebagai seorang pelopor, terang lelaki yang menerbitkan Kumpulan Puisi Hindia, Sebentang Peta Kumal, itu, Raja Ali Haji mengerti benar dengan tradisi pantun dan syair dalam khazanah kebudayaan Melayu. Raja Ali Haji juga sadar sepenuhnya bahwa dirinya sedang memperkenalkan bentuk baru. Dalam hal ini, estetika terbaru ini pastinya lahir dari seseorang yang mengenal baik dunia kesastraan dalam langgam kebudayaannya.

Pada kepenyairan Sutardji, dengan segala pencapaian estetik dan puncak eksperimennya itu, dia telah meneruskan cita-cita Chairil Anwar untuk membuat “sebuah dunia yang menjadi” atau bahkan lebih dari itu. Seperti halnya Chairil yang disebut-sebut telah “menghancurkan” bentuk pantun dalam puisi Indonesia dari angkatan di atasnya, Sutardji pun menorehkan tanda tangan (signature)-nya sendiri dengan “membongkar” estetika puisi dari masa sebelumnya yang menurutnya penuh dengan “penjajahan pengertian” alias tidak leluasa sebagai dirinya yang utuh, yakni “kata sebagai kata”.

Dengan kredonya yang terkenal itu, kepenyairan Sutardji memang kerap kali disalahpahami oleh banyak orang. Terkait hal itu, Boy mengutip penyair Hasan Aspahani dalam esai “Matlamat dan Manfaat Kekejaman Sutardji”, bahwa “ …. Kebanyakan orang membaca kredo itu sepenggal-sepenggal untuk menguji atau bahkan mengadili Sutardji. Kebanyakan orang menyimpulkan kredo itu ke dalam satu ihwal: Sutardji ingin membebaskan kata dari penjara kamus! Maka, ketika dia tak lagi menulis sajak-sajak yang taat pada kredonya, orang lantas bilang Sutardji telah gagal membebaskan kata, ia pun dianggap tergoda untuk berkomunikasi. Ia dianggap juga ikut membebankan makna kepada kata.”

Selayaknya Raja Ali Haji dan Chairil Anwar, menurut Boy, dapat disimpulkan bahwa Sutardji sebagai seorang pengarang yang secara sadar melakukan eksplorasi puisi dan menerabas wilayah konvensional, tentunya tidak terlepas dari tradisi perpuisian yang sudah mapan sebelumnya. Akan tetapi, sederet pembaharu ini, termasuk Sutardji, tentunya telah menarik “garis tebal” lain yang menjejakkan namanya di kalangan unggul atau “maestro” dalam lapangan kesusastraan tanah air.

Masih mengutip Hasan, Boy menjelaskan,  kesalahpahaman bisa dihindari dan manfaat bisa dipetik bila kita melihat kredo itu sebagai cara Sutardji memberi teladan pada penyair Indonesia bagaimana bersikap terhadap puisi dan kata. Hal itu bisa dilihat pada alinea kelima kredo puisinya: “Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”

Dalam pemaparannya, Boy melihat ada empat penyair muda Riau yang memiliki kekuatan diksi, yang jika terus dikembangkan akan menjadi warna tersendiri bagi dunia kepenyairan Riau kontemporer. Mereka adalah May Moon Nasution, Alpha Hambally, Riki Utomi, dan Pusvi Defi. May Moon saat ini berkarya di Sumatra Utara, Alpha di Jakarta, sedangkan Riki dan Pusvi masih tinggal di daerah masing-masing, yakni di Kepulauan Meranti dan Pelalawan. Setidaknya, kata Boy,  dalam kurun sepuluh tahun belakangan, para penyair dari generasi milenial ini rajin memublikasikan karya masing-masing, baik di surat kabar maupun media daring. Beberapa di antara mereka juga sudah menerbitkan himpunan puisi tunggal: May Moon Nasution dengan Pedang dan Cinta yang Mengasahnya (2016) dan Amuk Selat (2020) dari Riki Utomi.

Boy “membaca” salah satu puisi May Moon, yakni “Gergaji” sebagai contoh bahasannya. Puisi yang ditulis tahun 2013 dan dimuat di Kompas tersebut, menurutnya, memang tidak mengikuti “aliran” atau “mazhab” Raja Ali Haji. Pasalnya, “gurindam cara Melayu” Raja Ali Haji tidak menawarkan “kisah pandang mata” seperti halnya sajak May Moon. Modus pada sajak “Gergaji” ini pun hampir merata ditemukan pada sekujur buku puisi May Moon, Pedang dan Cinta yang Mengasahnya. Kata Boy, puisi-puisi May Moon lebih dekat dengan pola ucap dan gaya Sutardji.  Diksi May Moon Nasution pada puisi “Gergaji” ini yang banyak mencerap kata-kata yang akrab dalam khazanah Melayu: “geram”, “majal”, “jejal”, dan seterusnya.

Puisi “Aku dan Waktu”  karya Riki Utomi yang juga dimuat di Kompas pada 2018, dianggap  memiliki  “gema-puitika” Raja Ali Haji: kata-kata dengan derap yang tangguh. Dari modus utama dan permainan diksi pada puisi di atas, kata Boy, tahulah kita bahwa Riki telah menakik kesimpulan dari sebuah pepatah Arab: waktu adalah pedang. Meski di sebagian puisi May Moon juga ada memakai istilah/peristiwa dari khazanah Islam, tetapi pola ucapnya berbeda jauh dengan puisi Riki  yang berhasil merengkuh bahasa puisi modern sekaligus membuat bayang-bayang dari puisi Raja Ali Haji.

Alpha Hambally dalam puisi “Di dalam Lubang Cacing” yang dimuat di Kompas pada 2017, menurut Boy, bisa dikatakan sebagai penyair unik yang meracaukan soal organisme, tetapi tanpa kehilangan daya puitika yang memukau dari langgam Melayu. Jika bicara “mazhab” Raja Ali Haji dan Sutardji maka puisi Alpha  menguntit sekaligus menampik Sutardji: puisi yang bicara tentang aku-lirik bukan sebagai manusia. 

“Seperti tampak dalam beberapa puisi Sutardji, yang juga menghindari gaya puitika mbeling ala Sutardji meski gemanya terasa sebagai sebuah pencarian. Sesuatu hal yang juga khas dalam modus puisi-puisi ‘gelap’ dan transenden dari Sutardji,” jelas Boy.

Sementara itu, dalam puisi  “Cina Benteng, Mei 1998”, Boy melihat ada kekuatan dari Pusvi Defi yang menurutnya memiliki gema puitika “mazhab” Sutardji, setidaknya setelah O, Amuk, dan Kapak. Puisi ini dengan kesadaran penuh memantaskan dirinya sebagai puisi kritik-sosial lintas zaman. Seperti juga puisi-puisi penyair milenial Riau sebelumnya, Pusvi pun tidak berjarak dengan diksi dan langgam Melayu—sebuah kesadaran dalam berkarya yang ikut dipacakkan oleh Raja Ali Haji dan dilanjutkan dengan pasti oleh Sutardji.

Diskusi menarik muncul ketika Andreas Mazland mempertanyakan apakah kredo Sutardji muncul dari pencarian terhadap akar Melayu atau malah didapatkannya dari petualangannya terhadap eksplorasi sastra Barat. Mazland juga mempertanyakan eksistensi sastra Melayu yang seperti apa yang diharapkan dari munculnya “mazhab” Raja Ali Haji atau Sutardji tersebut.

Dalam diskusi tersebut, Ketua Suku Seni yang juga Direktur FSMR 2023 menjelaskan, dengan menyematkan “Melayu Riau” dalam festival ini, pihaknya sudah memberi batasan bahwa yang dimaksud adalah dunia sastra Melayu Riau, sebuah wilayah yang sekarang berada di Provinsi Riau. 

“Dunia Melayu itu sangat luas, dan di sini jelas kita sedang membahas dunia sastra Melayu Riau,” ujar Marhalim.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook