PENULIS PEREMPUAN DALAM PUSARAN SASTRA RIAU (1)

Aroma Feminisme dan Keresahan Sosial

Seni Budaya | Minggu, 12 November 2023 - 11:34 WIB

Aroma Feminisme dan Keresahan Sosial
Sastrawan perempuan Riau, Murparsaulian, saat menjadi pembicara dalam diskusi “Dawat Pena Puan Riau, Telah Mengeringkah?” di Taman Budaya Riau, Pekanbaru (28/10/2023). (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)

Sudah sejak lama para sastrawan perempuan Riau berkarya. Banyak dari mereka yang mengembuskan aroma feminisme dan keresahan sosial.

 


RIAUPOS.CO - FESTIVAL Sastra Melayu Riau (FSMR) telah berakhir saat acara penutupan pada 28 Oktober 2023, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda. Penutupan ini ditandai dengan diskusi  Dawat Penulis Perempuan Riau di siang hari dan beberapa penampilan dan seremonial pada malam harinya di Taman Budaya Provinsi Riau. Dalam diskusi ini, dua sastrawati Riau menjadi pembicara, yakni Murparsaulian dan Alvi Puspita. Dalam diskusi tersebut, keduanya membicarakan hal yang nyaris sama, yakni tentang sejarah para penulis perempuan Riau (termasuk Kepulauan Riau [Kepri] hari ini).

Dengan kertas kerja berjudul “Sidik Jari Para Penulis Perempuan Riau, Aisyah Sulaiman bukan Maya Angelou” Murparsaulian menjelaskan tentang jarang munculnya penulis perempuan ke permukaan sastra Indonesia.  Alasannya sangat feminis. Menurutnya, hal itu terjadi karena dunia kritik sasta didominasi laki-laki. Kemudian, editor sastra di media dan pengajar sastra (akademisi) kebanyakan juga laki-laki. Selain itu, sedikit Perempuan yang berada dalam struktur yang menangani bidang kesastraan. Yang muncul adalah bias patriarki masih membayangi acuan yang dianggap baik dan bernilai tinggi dalam dunia sastra sementara perempuan masih dianggap hanya bisa melakukan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga.

“Jangankan di Riau dan Indonesia, di dunia, salah satunya di Amerika Serikat, karya perempuan baru terungkap pada tahun 1980-an ketika banyak kritikus dan akademisi sastra dari kaum perempuan,” kata Mur.

Dominasi sastrawan laki-laki baik di Eropa maupun di AS sudah berlangsung sangat lama. Lalu pada 1980-an muncullah kritikus-kritikus perempuan yang mulai mengangkat permasalahan ini. mereka mencoba menemukan kembali perempuan-perempuan penulis yang ‘’terkubur’’. Ternyata begitu besar nilai kehidupan yang disumbangkan oleh para penulis perempuan itu. Lalu muncullah penelitian dan kritik sastra tentang karya penulis perempuan. Seperti apa tradisi kepenulisan kaum perempuan, apakah memiliki gaya atau pola-pola tertentu? Atau merujuk kepada tematik khusus semisal kerterkungkungan, terkotak-kotak, pemberontakan sosial dan sejenisnya. Ternyata menarik  meneliti karya-karya penulis perempuan ini dalam kesastraan dunia. Ada tema-tema yang tidak sempurna dituliskan oleh para laki-laki, misalnya pengalaman melahirkan, kedalaman perasaan, kasih sayang yang mendalam, dan perasaan terdalam perempuan yang hanya bisa ditulis dengan baik oleh perempuan.

Menurut Mur, hal yang sama  juga dialami para penulis perempuan Riau. Jika dilihat jejak merekam jejak kreativitas penulis perempuan Riau sejak abad 17 hingga sekarang, setidaknya bisa ditarik garis lurus, karya penulis perempuan Melayu Riau masih kalah jumlah dengan karya penulis laki-laki.  Mulai dari Raja Asiyah Sulaiman, yang diberi gelar sebagai penulis ulung perempuan Melayu oleh Ding Choo Ming bertajuk Raja Aisyah Sulaiman, Pengarang Ulung Wanita Melayu. Kata ulung yang disematkan kepada Aisyah ini tidaklah berlebihan karena karya-karyanya sangat berpengaruh kepada perkembangan kesastraan di zamannya. Walaupun secara digital tidak banyak jejak yang dapat dipungut dari proses kepengarangannya. 

Tidak seperti kebanyakan perempuan lainnya, selain mengarang Aisyah membantu suaminya Raja Khalid Hitam dan terlibat secara langsung dalam menyusun strategi menentang penjajahan Belanda di Riau Lingga. Menurut Mur, Aisyah  tak kalah menarik dengan penulis-penulis perempuan dunia lainnya seperti Maya Angelou, Agatha Christie, Virginia Wolf, Margareth Atwood, JK Rowling dan lainnya. Perjuangan hidup dan karya-karyanya patut untuk diberi apresiasi yang istimewa.  Jika Maya Angelou --penulis perempuan kulit hitam kewarnegaraan Amerika adalah seorang aktivis hak azasi manusia-- Aisyah adalah seorang budayawan, ahli politik dan diplomat. Karena itulah ia diburu oleh Belanda, sehingga banyak tulisannya yang dimusnahkannya sendiri sebelum sempat terbit untuk menghindari persengketaan dengan Belanda.

Ada lagi penulis perempuan yang sama-sama berasal dari Riau Lingga, namun bukan dari kalangan bangsawan, yaitu Khatijah Terung. Tak kalah berani penulis satu ini juga mencoba mengangkat isu gender dengan membuat kitab Kamasutra Melayu berdasarkan sudut pandang perempuan bertajuk ‘’Perhimpunan Gunawan bagi Laki-laki dan Perempuan’’. Kebebasan berekspresi bukan sebagai kendala bagi penulis perempuan untuk menyampaikan ide dan gagasannya dalam tulisan. Jauh sebelumnya Aisyah dan Khatijah telah bicara tentang gender dan seksualitas, bagaimana status sosial perempuan, bahkan urusan ranjang sekalipun. 

“Karena itulah, jika kita membaca karya Maya Angelou, Ayu Utami, atau Dee Lestari yang memasukkan unsur seksualitas dalam karya mereka, Aisyah Sulaiman dan Khatijah Terung sudah melakukannya sejak lama. Namun bedanya dari bahasa dan cara penyajian. Dua perempuan Melayu ini tampil dengan santun dan kemasan kiasan lokalitas kebudayaan Melayu. Gambaran seksualitas yang dikiaskan adalah sebagai pesan moral dalam karyanya,” jelas perempuan kelahiran Rokan Hulu ini. 

Proses perjalanan sastera perempuan tidak dapat lepas dari kendala-kendala yang mereka hadapi, terutama berkaitan dengan ukuran bahasa atau konvensi, gaya penulisan, editing, publikasi, dan promosi. Banyak sejarah kesastraan di berbagai negara yang tidak merekam penulis perempuan termasuk dua pengarang perempuan di atas yaitu Raja Aisyah Sulaiman dan Khatijah Terung. Karya pengarang-pengarang perempuan ini baru dalam bentuk naskah stensil yang belum dibukukan, sehingga banyak yang hilang. Karena lemahnya dokomentasi dan publikasi, kita di zaman ini juga sulit mendapatkan karya-karya penulis perempuan pada abad lampau (17-18), seperti Raja Zaleha binti Raja Haji Ahmad yang menulis Syair Abdul Muluk yang dikarang bersama Abangnya Raja Ali Haji (1846), Raja Safiah (Syair Kumbang Mengindera), dan Raja Kalzum (Syair Saudagar bodoh). Nama-nama di atas adalah penulis perempuan dari kalangan bangsawan. Ada sederatan nama penulis perempuan yang bukan dari kalangan bangsawan antara lain Encik Kamariah (Syair Sultan Mahmud), Salamah binti Ambar (Syair Nilan Permata), dan Badariah Muhammad Tahir (Adab al-Fatat/terjemahan).  

Kini, gairah para penulis perempuan masih terasa denyarnya di legu-legah dunia kesastraan di Riau. Para perempuan penulis Riau setelah generasi Aisyah Sulaiman (walaupun terdapat rentang waktu yang panjang) antara lain; Tien Marni, Herlela Ningsih lalu generasi setelahnya seperti Dien Zurindah, Kunni Masrohanti, Murparsaulian, Cahaya Buah Hati, DM Ningsih, Verrin Ys,  Sugiarti, Siti Salmah, Hening Wicara, Cikie Wahab, Budy Utamy, Alvi Puspita dan generasi kini seperti Pusvi Defi, Jeli Manalu, dll.

Dijelaskan oleh mantan wartawan Riau Pos ini, publikasi karya penulis perempuan Melayu modern saat ini secara umum tidak terkendala. Apalagi dengan perkembangan dunia digital yang semakin pesat. Semua orang bisa saja mempublikasi karyanya di media online atau media sosial masing-masing. Berbeda misalnya dengan angkatan sebelumnya, penulis masih harus bersaing untuk bisa memublikasikan karya-karya di media cetak, apalagi media nasional seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Republika, majalah Horison dan sebagainya. Seiring waktu, penulis nampaknya tidak begitu memerlukan media konvensional lagi untuk mempublikasikan karyanya. Walaupun di satu sisi seperti ada pengakuan ketika karya penulis diterbitkan di media nasional yang harus bersaing dengan penulis lainnya. Tema-tema yang diangkat pun kini beragam. Tidak bisa diambil benang merah isu feminisme saja. Bisa saja mengangkat tema lingkungan, kritik sosial, budaya, dan isu-isu terkini. 

Kunni Masrohanti misalnya, mengambil unsur tradisi dan budaya Melayu dalam puisi-puisinya yang terangkum dalam buku kumpulan puisinya seperti Sunting dan Calung Penyukat.  Di era generasi sebelum Kunni, penyair perempuan yang hadir feminim adalah Tien Marni. Namun walaupun bergaya feminim, Tien Marni terkadang juga garang dalam karya puisinya. Ia juga hadir dengan kritik-kritik sosial. Tidak jauh dari generasi Tien Marni, ada nama penyair perempuan Herlela Ningsih.  Di sisi lain, tema keperempuanan dan gejolaknya terlihat dalam karya-karya sastera DM Ningsih. Tidak hanya menulis puisi, perempuan ini juga menulis cerpen, bahkan novel. Emosi perempuan dalam berbagai masalah bisa dilihat dari karya-karyanya. 

Tidak jauh dari generasi DM Ningsih, ada penulis perempuan yang tampil dengan kemampuannya membuat ilustrasi bukunya sendiri. Katakanlah seperti komik anak. Walaupun di awal kepenyairannya, ia masih tampil dengan menulis puisi atau cerpen, namun beberapa waktu belakangan ini, ia mulai menunjukkan dirinya sebagai penulis komik anak. Dia adalah Cikie Wahab. Buku-bukunya juga sudah tersebar dalam bentuk digital dan sudah beredar luas. Salah satu bukunya berjudul Hei, Alga adalah pemenang harapan Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019. 

Lalu ada nama Siti Salmah yang  konsen kepada sastera anak dan mendirikan Komunitas Literasi Salmah Creative Writing dan Rumah Baca SCW). Ia juga aktif di panggung pembacaan puisi, baik di Riau maupun di luar Riau. Buku tunggalnya antara lain Pulang Ke Rahim Emak (kumpulan puisi), Periuk berlubang (Kumpulan puisi) dan Fika Kaukah itu (Cerita Anak). Tema yang diangkat Siti Salmah cendrung kepada tradisi dan budaya Melayu. Jauh sebelum Siti, ada Budy utamy, seniman dan penulis yang kemudian lebih banyak berkutat di dunia seni aktivisme. Dia menerbitkan buku puisinya berjudul Rumah Hujan. Lalu di luar Pekanbaru, ada beberapa penulis yang aktif dan terus berkarya seperti Pusvi Defi (Pelalawan) atau Jeli Manalu (Rengat).

Seiring waktu, kata Murparsaulian, seperti tidak ada lagi batas antara penulis perempuan dan laki-laki, karena itu tantangan yang dihadapi para penulis perempuan khususnya di Riau adalah, konsistensi berkarya dan meningkatkan kualitas atau mutu tulisan. Bagaimana perempuan terus mengasah diri agar karya-karyanya tetap dibaca dan mendapat tempat tidak hanya di Riau, namun di tingkat nasional bahkan dunia sekalipun.

“Perempuan harus bisa terus beradaptasi, termasuk perkembangan platform digital yang kian cepat. Bagaimana harus terus bisa mempublikasikan karya yang bermutu sehingga dikenal lebih luas,” jelasnya lagi.***


Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook