Banyak media arus utama yang menutup halaman sastranya dan mudahnya mengunggah di media sosial membuat kualitas karya sastra menjadi menurun. Termasuk di Riau.
RIAUPOS.CO - SEBUAH pertanyaan menggeletik sekaligus ironi muncul: masih adakah sastra Riau hari ini? Ini kemudian menjadi obrolan di media sosial grup terbatas yang memang tidak hendak mencari solusi, tetapi menjadi pemikiran bersama tentang bagaimana kondisi sastra Riau terkini.
Sekadar mengulang kaji, sastra Riau punya sejarah panjang sejak lama. Sejak generasi Raja Ali Haji, kelompok penulis Rusydiah Klab, Soeman Hs, M Kasim hingga ke kegerasi Sutardji Calzoum Bachri, Rida K Liamsi, BM Syamsudin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza, Sudarno Mahyudin, Idrus Tintin, Hasan Junus, Taufik Ikram Jamil hingga Fakhrunas MA Jabbar. Sekadar menyebut nama generasi, lalu muncul generasi Olyrinson, Murparsaulian, Marhalim Zaini, Syaukani Al Karim, hingga ke generasi terkini seperti Cikie Wahab, Boy Riza Utama, Ahmad Ijazi, May Moon Nasution, M Arif Husein, Alvi Puspita, WS Djambak, Romi Afriadi, dll.
Secara nasional, di masa lalu, sastrawan Riau bukan hanya dikenal dalam “pergaulan satra” saja, tetapi karena karya-karya mereka juga mampu menembus ketatnya persaingan sastra koran di media massa dan berbagai lomba tingkat nasional bergengsi. Taufik Ikram Jamil, BM Syamsudin, Ediruslan, Fakhrunas, Abel Tasman, dan beberapa nama lain, silih berganti karyanya dimuat di media besar Jakarta, terutama Kompas. Ediruslan dan Taufik Ikram juga sering memenangi lomba novel di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), meski bukan pemuncak utamanya. Dari situlah kemudian mereka masuk dalam “pergaulan sastra” sastra nasional. Mereka diundang mengikuti berbagai iven sastra, baik ikut festival, pertemuan sastra, dan sebagainya.
Belakangan, generasi terkini setelah mereka, nama Marhalim Zaini termasuk yang mencuat ke permukaan. Selain karyanya tembus di berbagai media besar, dia juga dikenal luas oleh masyarakat sastra Indonesia dan ikut ke berbagai iven sastra. Begitu juga dengan Olyrinson yang sering memenangkan lomba, cerpen maupun novel.
Marhalim menilai, secara umum kondisi dunia sastra di Riau saat ini tak terlihat bergairah dan tidak sedang baik-baik saja jika dilihat dengan standar kualitatif. Baik produksi karya, geliat komunitas sastra, produksi wacana, maupun iven sastra. Menurutnya, standar karya sastra yang terus jadi perdebatkan apakah karya itu disebut karya sastra tinggi atau populer, bisa menggunakan standar teoritis dengan membuka buku-buku teori soal keutuhan dan kebaruan dalam karya sastra.
“Tapi kalau pakai standar saya, yang bisa disebut sastra itu ya teks yang hidup, yang bernyawa. Saya pernah menulis kolom judulnya, ‘Teks Mati, Puisi Tak Bahagia’. Ini juga perihal bahasa yang bernyawa dalam sastra,” kata Ketua Suku Seni Riau ini kepada Riau Pos, Selasa (22/8/2023).
Marhalim menilai, dengan sudah jarangnya media sastra dan rubrik sastra di media cetak, berpengaruh pada produktivitas penulis yang menurun, kompetisi menurun, apalagi honornya tak ada. Ruang menguji karya, menurutnya, tinggal lomba-lomba yang “berbobot”. Media tidak lagi jadi ruang uji, tapi ruang publikasi semata. Iklim bersastra juga akan berubah, atau berbeda. Ini pun kelak, perlahan mengubah cara pandang penulis sendiri terhadap ruang publikasi. Menurutnya, buku akhirnya memang jadi alternatif, khususnya terkait eksistensi. Meskipun tidak banyak cetak, atau mungkin cuma satu dua orang yang baca, tapi di media sosial terus diekspose sendiri untuk branding.
Sementara itu, mudahnya penulis sekarang menyebarkan tulisan melalui platform, media daring, atau media sosial, memiliki dampak, baik positif atau negatif. Positifnya peluang terbukanya ruang publisitas semakin luas sebetulnya. Dan kian terbaca juga bagi pembaca kritis untuk menilai secara langsung, ini karya berkualitas atau asal-asalan. Negatifnya ya makin banyak yang narsis.
Sutradara dan penulis naskah Opera Melayu Tun Teja ini tetap mengapresiasi munculnya penulis-penulis muda Riau saat ini. Menurutnya potensi-potensi baru meskipun masih malu-malu, terlalu kalem dan kurang energik. “Jadi kesannya malah lambat progresnya,” jelasnya lagi.
Dalam hal lomba karya sastra di Riau yang ada tapi tidak banyak, Marhalim tetap mengapresiasinya dan tetap memberi dampak bagi perkembangan sastra Riau, meski tidak terlalu signifikan. Sebab, kalau sekedar lomba tanpa pembinaan lanjutan, gerakan lanjutan, tetap saja stagnan. Yang menang dan berkembang akhirnya tidak beranjak dari orang yang sama. Marhalim juga memaklumi dengan semakin berkurangnya penulis Riau yang mampu menembus belantara sastra Indonesia. Menurutnya saat ini iklimnya memang berbeda. Gempuran medsos dan media daring mempengaruhi hal itu. Paradigmanya sudah bergeser. Meskipun dari dulu hingga kini, yang menembus media nasional juga tidak banyak. Malah kini semakin surut.
Hal itu terjadi, menurutnya, karena beberapa faktor, salah satunya komunitas sastra. Dari jumlah komunitas yang sedikit, juga tidak jelas visinya, sehingga tak jelas juga gerakannya. Komunitas sastra mestinya lebih bisa mencari pola-pola baru agar lebih segar dan memiliki jaringan. Hal lainya juga terjadi karena kurangnya festival sastra di Riau. Menurutnya perlu festival sastra yang dibuat secara terus-menerus, tak musiman, dan konsep festival yang memang harus membaca kebutuhan kekinian dan punya visi yang jelas.
Masalah lain yang membuat sastra Riau tak berkembang dengan baik adalah miskinnya kritik sastra. Menurutnya ini persoalan klasik dan penyakit lama. Bahkan, katanya, sekarang semakin parah. Kritik juga menjadi bukan lagi kebutuhan masyarakat, bahkan untuk penulisnya sendiri. Namun masih untung ada mahasiswa yang menjadikan karya sastra sebagai skripsi atau tesis.
Dalam kondisi begini, menurut penulis kumpulan cerpen Amuk Tun Teja ini, lembaga kebudayaan pemerintah seperti Dinas Kebudayaan perlu ada untuk menaja berbagai iven sastra. Sebab, kalau lembaga pemerintah tersebut berfungsi dengan baik, kontribusinya akan sangat besar dalam bagi perkembangan sastra di Riau.
“Hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah terus berkumpul, membangun sinergi, berkolaborasi, terus membuka pikiran dan tidak jumud. Kemudian, jangan puas dengan narsisisme, terus berkarya dan bergerak, dan bersama-sama membangun ekosistem sastranya,” jelas Ketua Asosiasi Seniman Riau (Aseri) ini.
Terpisah, cerpenis Olyrinson menganggap sastra Riau saat ini agak memprihatinkan karena kalah dengan dunia pertunjukan, seperti teater atau musik. Masalahnya adalah tidak ada roh untuk menghidukan sastra itu secara tulus. Para sastrawan sibuk untuk memperjuangan hidup. Bekerja, cari nafkah ke sana-sini, membuat perkumpulan yang ujung-ujungnya komersial, karena tidak ada wadah atau badan yang menjamin kehidupan layak bagi sastrawan.
Menurut penulis buku kumpulan cerpen Sebutir Peluru dalam Buku ini, tidak adanya media sastra dan banyak media cetak yang tak memiliki rubrik sastra atau ada tetapi tak memberika honor setimpal, berdampak pada kreativitas penulis. Penulis kehilangan wadah untuk menampung karya mereka. Juga mereka kehilangan semangat bersaing. Apalagi sastrawan yang memang menggantungkan hidup dari menulis, jelas menjadi sebuah pukulan telak. Sastrawan butuh makan, jadi daripada mati lebih baik bekerja dan lupakan mimpi jadi penulis.
Memang, dengan banyaknya media daring yang membuka ruang atau rubrik sastra seperti saat ini, media sosial, juga platform, sebenarnya ruang menulis tetap ada, tetapi jika untuk menggantungkan hidup dari sana, tetap sulit. Sebab media daring memberikan honor kecil, medsos dan platform malah banyak gratis. Dengan begitu, kata Oly, tulisan tidak lagi mempunyai daya saring karena tidak ada redaktur yang menilai. Lebih celaka lagi, katanya, ini mempercepat membunuh buku konvensional yang pada gilirannya akan membunuh literasi.
Oly merasa senang karena masih ada lomba-lomba penulisan sastra di Riau. Menurutnya itu tetap membantu membangkitkan kreativitas, menciptakan iklim dunia menulis, membangkitkan semangat bersaing, dan tentu saja membantu secara ekonomi dengan hadiah yang disediakan. Oly juga menyoroti kurangnya festival sastra di Riau yang bisa membuat penulis kehilangan semangat bersaing, membuat kreativitas tumpul, malah bisa membuat produktivitas karya bisa mati suri.
“Sebenarnya potensi penulis Riau cukup bagus. Sayangnya mereka kekurangan mentor untuk mengasah dan memberikan penilaian atas karya mereka. Media lokal yang bisa menjadi tempat latihan untuk menembus media nasional, juga kurang mendukung,” kata lelaki yang juga sudah meluncurkan kumpulan cerpen keduanya, Saat yang Tepat untuk Menangis, itu.
Oly juga menyoroti perkembangan komunitas sastra di Riau saat ini. Menurutnya, dunia komunitas sastra di Riau mengalami kemunduran karena banyak yang tidak murni mendorong anggotanya atau calon penulis baru, tetapi sudah mempertimbangkan unsur bisnis. Hal ini dibarengi dengan kurangnya perhatian lembaga pemerintah yang mengurus masalah kebudayaan –termasuk sastra— dan minimnya kritikus sastra yang menjadi persoalan klasik di Riau sejak dulu.
“Saya berharap lembaga pemerintah, komunitas, juga dewan kesenian yang ada di Riau, ikut membantu menumbuhkan kembali semangat untuk menulis,” jelas lelaki yang diberi julukan “Sastrawan Lomba” ini karena dulu sering memenangkan lomba, baik di Riau maupun nasional ini.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru