DISKUSI KOMUNITAS PARAGRAF, “MUDAHKAH MENJADI SASTRAWAN?”

Sastrawan dan Gambaran Kualitas Karya

Seni Budaya | Minggu, 17 Desember 2023 - 11:44 WIB

Sastrawan dan Gambaran Kualitas Karya
Para peserta diskusi “Mudahkah Menjadi Sastrawan?” foto bersama dengan pembicara yang juga salah satu pendiri Komunitas Paragraf, Olyrinson (baju putih, tengah), di Warung Soto “Stasiun Pulau Aia, 1976” Pekanbaru, Sabtu (9/12/2023). (KOMUNITAS PARAGRAF UNTUK RIAU POS)

Seseorang disebut sastrawan karena kualitas karyanya, bukan asal berkarya sastra. Menurut Olyrinson, label sastrawan diberi oleh orang lain, bukan oleh diri sendiri.


RIAUPOS.CO - DI zaman digital yang semuanya serbamudah dan cepat, membuat banyak orang juga dengan mudah menjadi penulis. Bahkan langsung mendaku dirinya sebagai sastrawan karena sudah menulis karya (yang dianggap) sastra. Ketika tak mampu menembus media arus utama dan penerbit buku mayor, para penulis dengan mudah akan memuatnya ke media daring yang kurasinya longgar, atau bahkan di media sosial. 


Untuk menerbitkan menjadi buku, mereka tak perlu menunggu kurasi penerbit besar. Para penulis itu dengan mudah akan menemukan penerbit indi yang prosesnya cepat dan mudah, tanpa editorial yang ketat. Tak harus banyak yang diterbitkan, cukup 5-10 eksemplar. Biayanya terjangkau, dan kemudian sudah punya buku. Atau malah bisa menerbitkan sendiri dengan membuat penerbitan sendiri. Dengan karya yang dimuat di media daring yang tak ketat kurasinya, atau media sosial pribadi yang tanpa kurasi, serta menerbitkan buku sendiri, sang penulis sudah bisa mengatakan dirinya sebagai seorang sastrawan. Kita tak bicara soal kualitas lagi, karena, katanya, itu urusan kritikus. Tapi, masalahnya, dunia kritik sastra juga sedang tidak baik-baik saja.

Kondisi seperti ini berbeda dengan ketika dunia internet dan digital belum seperti sekarang. Dalam diskusi bertajuk “Mudahkah Menjadi Sastrawan?” yang diselenggarakan Komunitas Paragraf di Warung Soto “Stasiun Pulau Aia, 1976”, Pekanbaru, Sabtu (9/12/2023), sastrawan Olyrinson menjelaskan betapa susahnya menjadi penulis yang diakui di lingkaran sastra, baik daerah maupun nasional, di masa itu. Bahkan, ketika itu, karya-karyanya sudah dimuat di berbagai media di Jakarta. Juga memenangkan beberapa lomba, baik cerpen maupun novel.

Diskusi tersebut dihadiri lebih 20 peserta. Mereka antara lain beberapa anggota Komunitas Paragraf seperti Cikie Wahab, Windi Syahrian, dan Redovan Jamil. Beberapa penulis dan sastrawan Riau juga hadir seperti Murparsaulian, Siti Salmah (Salmah Publishing), Budi Saputra, Anton WP, dan Andreas Mazlan. Juga beberapa peserta dari Pelatihan Menulis Balai Bahasa Provinsi Riau seperti Dedi Syaputra, Rio Rozalmi, Depri Ajopan, Arif, Syamsidar, Fitriani Dwi Kurniasari, Tina Harianti, dan beberapa mahasiswa S-2 Bahasa Indonesia Unri. Diskusi berlangsung santai sambil minum kopi dan makan soto.

“Saya tak pernah bercita-cita menjadi sastrawan. Saya hanya menulis prosa, cerpen dan novel. Persoalan saya dianggap sastrawan atau tidak, itu tak penting bagi saya. Tetapi di luar saya, banyak orang yang sangat ingin dilabeli sebagai sastrawan dan dia sangat bangga dengan hal itu,” ujar lelaki yang sudah menulis lima novel dan dua buku umpulan cerpen ini.

Di masa remajanya, cerpen-cerpen dan cerbung Oly sering dimuat di majalah Hai, Anita Cemerlang, Gadis, Ceria Remaja, maupun Aneka Ria. Juga majalah wanita seperti Kartini atau Femina. Pada masanya, majalah-majalah tersebut menjadi barometer penulis remaja. Beberapa penulis yang semasa dengan Oly antara lain Gola Gong, Donatus A Nugroho, Kurnia Effendi, Gus Tf Sakai, Tika Wisnu, Agnes Majestika, Wita Alamanda Simbolon, Ella Fatimah, dan sekian nama lainnya. Di antara mereka ada yang beralih menulis sastra serius, juga ada yang namanya hingga kini tak terdengar lagi.

Di masa itu, kata Oly, persaingannya tidak mudah. Majalah Hai yang editornya dikepalai oleh sastrawan senior Arswendo Atmowiloto, punya standar tinggi untuk karya genre bacaan remaja laki-laki. Majalah Gadis yang editornya dikomandoi Farick Ziat cenderung ke bacaan remaja perempuan, sedangkan Anita Cemerlang, Aneka Riau atau Ceria Remaja lebih plastis, untuk semua remaja. Untuk itu, bisa tembus karyanya ke majalah-majalah tersebut menjadi kebanggaan tersendiri. Hampir semua majalah di atas setiap tahun mengadakan lomba menulis cerpen atau cerbung/novelet. Karya Oly sering menjadi salah satu pemenang dalam setiap iven tersebut.

Seiring waktu, setelah itu, Oly meninggalkan genre remaja dan beralih ke sastra serius. Dia jarang mengirimkan karyanya ke media arus utama di Jakarta atau daerah lain, tetapi cerpen-cerpennya juga dimuat di majalah Horison dan lainnya. Dia lebih sering menang dalam lomba-lomba yang diadakan berbagai media atau lembaga. Dia langganan sebagai pemenang dalam lomba yang diadakan Dewan Kesenian Riau (DKR), CWI-Kemendikbud, Krakatau Award, dll. Hampir semua cerpen yang dibukukan dalam Sebutir Peluru dalam Buku (2011) dan Saat yang Tepat untuk Menangis (2018) adalah cerpen-cerpen pemenang lomba.

“Tetapi, apakah saya otomatis diakui sebagai sastrawan di Riau dan Indonesia? Tidak. Di zaman itu, seperti ada aristokrasi yang sulit ditembus. Kata ‘sastrawan’ sepertinya hanya untuk orang-orang tertentu, kastanya begitu tinggi. Tapi itu tak jadi masalah bagi saya,” ujar lelaki kelahiran Payakumbuh, Sumatra Barat, ini.

Hal itu tak menyurutkan keinginannya untuk terus menulis. Karya-karyanya terus lahir. Cerpen-cerpennya terus lahir dan dimuat di berbagai antologi seperti Rembulan Tengah Hari (2004), Magi dari Timur (2004), Pertemuan dalam Pipa (2004), Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama (2004), La Runduma (2005), Keranda Jenazah Ayah, Robohkan Lagi Pagar Itu Datuk, Seikat Dongeng tentang Wanita, dll.

Saat ini, katanya, menjadi sastrawan bisa mudah sebab setiap orang yang merasa punya kemampuan menulis dan sudah menghasilkan karya, merasa berhak menyandang dan melabeli dirinya sebagai sastrawan. Di lain sisi, belum ada tolok ukur yang jelas bagaimana menjadi sastrawan. Tapi, menurut Oly, sastrawan atau bukan, tidaklah penting. Menurutnya lagi, sastrawan itu memiliki beban moral yang besar sebab memiliki tanggung jawab yang besar.

Oly dengan tegas mengatakan bahwa sastra adalah pencerahan, sebab itu dibutuhkan intelektualitas yang tinggi untuk bisa menjadi sastrawan dan perlu ada standar yang tepat bagi seseorang untuk mencapai tahap tersebut. Sastrawan itu tidaklah sesuatu yang bersifat statis, melainkan terus bertumbuh. 

Maka, katanya,  untuk menjawab pertanyaan yang menjadi tema, Oly mengatakan, menjadi sastrawan itu bisa mudah jika ada proses transformasi dari seorang sastrawan senior kepada juniornya. Untuk itu dibutuhkan komunitas untuk mewujudkan hal tersebut. Sebab, yang mahal dari sebuah karya sastra yang dilahirkan oleh sastrawan adalah proses kreatif. Proses kreatif yang berbeda pada setiap orang bisa menjadi ajang pembelajaran yang baik bagi calon-calon sastrawan dan mempersingkat proses dalam menjadi sastrawan. Selain itu, komunitas bisa juga berperan dalam mengurasi karya sebelum dikirim ke media massa. 

Oly juga menambahkan bahwa salah satu peran komunitas adalah untuk menjauhkan dari eksklusivitas sastra yang dulu kerap terjadi.  Kendati demikian, Oly menyebutkan bahwa segalanya kembali ke niat. Sebab, menjadi sastrawan bukan hanya sekadar nama yang disematkan, melainkan panggilan hati.

Kepada anak-anak muda yang baru belajar menulis, Oly berpesan agar tak puas dengan pencapaian yang sudah didapat. Jika puas dengan karya yang biasa saja, maka selamanya tidak akan berkembang. Dia memberi contoh, Donatus A Nugroho yang begitu terkenal ketika menulis genre remaja, sekarang hilang dari peredaran karena tidak meningkatkan kualitas karya ke lebih serius. Ini berbeda dengan beberapa penulis seangkatannya seperti Gus Tf Sakai atau Kurnia Effendi yang berkembang ke sastra serius dan hingga kini masih diperhitungkan dalam khasanah sastra Indonesia.

Selain itu, Oly juga menyarankan agar para penulis muda terus mengirimkan karyanya ke media-media yang memiliki editor yang baik dan kuat. Itu terdapat pada media-media arus utama. Sebab, karya yang baik harus dikurasi dengan benar, dengan persaingan yang ketat. Selain itu, lomba yang berkualitas juga menjadi salah satu tempat kurasi yang ketat yang akan menjadi tolok ukur karya.

“Yang melabeli kita sastrawan atau tidak itu bukan kita sendiri, tapi orang lain. Berdasarkan kekuatan karya kita. Dan itu akan muncul jika karya kita lolos kurasi yang ketat di media atau dalam lomba yang bekualitas baik,” ujar Oly lagi.

Dalam kesempatan itu Ketua Komunitas Paragraf, Hary B Koriun, menjelaskan bahwa diskusi tersebut dibuat sebagai upaya awal  Paragraf untuk bangkit dan berkiprah lagi setelah sekian lama vakum. Hary menjelaskan, Paragraf didirikan pada tahun 2007 oleh dirinya, Olyrinson, Marhalim Zaini, dan Budy Utamy. 

Paragraf kemudian tumbuh menjadi salah satu komunitas satra yang cukup disegani Riau dan  Indonesia setelah para anggotanya mampu melahirkan karya yang baik dan dimuat di berbagai media arus utama nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Republika, Koran Tempo, dan beberapa media lainnya. Para penulis Paragraf seperti Cikie Wahab, Refila Yusra, Cahaya Buah Hati, Zurnila Emhar, Jenni Fitriasa, Boy Riza Utama, May Moon Nasution, Hambally Alpha, dll, silih berganti karyanya menghiasi media-media setiap hari Ahad dan memenangkan beberapa lomba, baik tingkat provinsi maupun nasional. Karya-karya mereka juga diperhitungkan secara luas. Selain itu, mereka juga menerbitkan buku yang terkurasi dengan baik oleh penerbit.

Pada masa itu, ujar Hary, Paragraf juga menerbitkan buku kumpulan cerpen dan puisi anggotanya, yakni Kopi Hujan Pagi. Paragraf juga menerbitkan berkala sastra, yakni Jurnal Paragraf. Selain itu, semua pendiri Paragraf  -- Hary sendiri, Oly, Marhalim Zaini, dan Budy Utamy--  juga diundang untuk mengikuti salah satu festival internasional bergengsi, yakni Ubud Writer and Reader Festival (UWRF) di Ubud, Bali. Juga festival-festival sastra bergengsi lainnya yang diselenggarakan berbagai lembaga. Menurut Hary, tidak banyak sastrawan Riau yang diundang ikut UWRF tersebut hingga kini karena kurasinya sangat ketat ketika itu.

“Dengan masa lalu yang menurut saya baik itu, sayang kalau Paragraf akan tidur selamanya. Maka, ketika teman-teman Paragraf yang lain sudah sibuk dengan urusan masing-masing atau sudah berada di tempat jauh, saya ingin Paragraf bangun dari tidur panjangnya dan mulai ikut berkiprah dalam meramaikan sastra Riau dan Indonesia lagi,” ujar Hary.

Dalam waktu dekat, kata Hary, Paragraf akan membuka pendaftaran penerimaan anggota baru untuk sama-sama belajar menulis berbagai genre sastra.***

Laporan EDWAR YAMAN, Pekanbaru
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook