EDIRUSLAN PE AMANRIZA

Melawan Ketidakadilan lewat Sastra

Seni Budaya | Minggu, 26 Februari 2023 - 11:11 WIB

Melawan Ketidakadilan lewat Sastra
Buku In Memoriam Ediruslan Pe Amanriza yang diterbitkan oleh Tabloid AZAM (kiri),Novel Ke Langit, salah satu karya Ediruslan Pe Amanriza yang menjadi salah pemenang Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)(kanan). (INTERNET)

RIAUPOS.CO - Ediruslan PE Amanriza adalah sastrawan multitalenta yang pernah dimiliki Riau. Karya-karya yang ditulisnya menggambarkan perlawanan atas ketidakadilan yang dilakukan suatu pihak atas nilai-nilai kemanusiaan.

PROVINSI Riau tak pernah kehabisan orang-orang yang tunak di bidang sastra. Pencapaian yang didapatkan pun tak hanya sekadar numpang lewat alias asal bekarya, tetapi mampu berbicara banyak dipanggung nasional maupun internasional. Sejak Riau zaman Belanda, juga saat Riau dan Kepulauan Riau belum terpisah sebagai dua provinsi seperti sekarang, para sastrawan Riau selalu mendapatkan tempat.


Di masa lalu, Rusydiah Club yang antara lain digawangi oleh Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam, dan Raja Abdullah, pernah begitu masyhur. Raja Ali Haji juga menjadi salah satu nama yang menjadi tonggak sastra Indonesia yang berpusat di Pulau Penyengat (kini Kepulauan Riau) tersebut dengan karya yang paling masyhur, Gurindam Dua Belas.

Selain mereka, dunia sastra Riau di masa lalu juga punya dua nama yang di kemudian hari dianggap sebagai pencetus lahirnya cerpen dan sastra  modern Indonesia. Mereka adalah Muhammad Kasim dan Soeman Hs. Teman Duduk (1936) adalah kumpulan cerpen pertama yang terbit di Indonesia dan  menjadi tonggak cerpen modern Indonesia. Di samping itu, ia juga menulis novel, Muda Teruna, yang diterbitkan pada tahun 1922. “Bertengkar dan Berbisik” adalah judul cerpen yang terbit pada tahun 1929. Kemudian “Bual di Kedai Kopi”  juga sebuah judul cerpen yang terbit pada tahun 1930. Dia juga menerjemahkan karya asing berjudul Niki Bahtera terjemahan dari In Woelige Dagen.

Sementara itu, kepengarangannya Soeman Hs muncul karena mendapat dorongan dari Muhammad Kasim. Dari bual-bual sesama guru yang kebetulan sama-sama berasal dari Sumatra Utara yang tinggal di Riau tersebut, Soeman Hs mulai saat tinggal di Siak yang ketika itu masih di bagian dari Bengkalis. Tahun 1930-an merupakan masa jaya kepengarangan Soeman Hs. Karya-karyanya antara lain Kasih Tak Terlerai (novel,  1930), Mencari Pencuri Anak Perawan (novel, 1932), Percobaan Setia (novel, 1932), Kawan Bergelut (kumpulan cerpen, 1939), dan Tebusan Darah (novel, 1939).

Di era setelah itu, Riau yang masuk dalam Provinsi Sumatra Tengah setelah kemerdekaan sebelum berdiri sendiri menjadi Riau tetap menjadi salah satu daerah yang melahirkan banyak penulis. Nama Hasan Junus, Sudarno Mahyudin, Sy Bahri Judin, Roestam S Abroes, Armawi KH, Rida K Liamsi, hingga ke generasi Al azhar, Fakhrunnas MA Jabbar, Kazzaini Ks, Dheni Kurnia, Abel Tasman, Husnu Abadi, Taufik Ikram Jamil hingga ke generasi Marhalim Zaini, dan hari ini.

Ediruslan Pe Amanriza,  adalah salah satu sastrawan paling produktif di masanya. Dia menjadi sastrawan Riau yang paling sering memenangkan Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), meski bukan pemenang utama. Kontribusi Ediruslan bagi sastra Riau tak bisa dinafikan. Di bidang prosa, ia adalah salah satu novelis terporduktif di Riau. Tidak hanya tunak di bidang prosa, Ediruslan yang juga seorang wartawan dan politikus ini banyak menulis puisi. Beberapa puisinya yang terkenal antara lain “Berpisah Juga Kita Akhirnya, Jakarta...”, “Riau”, “Hijrah”, “Surat, 11”, “Lampu”,  dan sebagainya.     


Dalam sebuah diskusi tentang karya-karya Ediruslan di Rumah Suku Seni Riau, Pekanbaru, Sabtu, 30 Maret 2019 lalu,  Reky Arfal, penyair muda yang selama ini tunak Komunitas Paragraf dan Malam Puisi Pekanbaru, yang menjadi pemantik diskusi tersebut, menjelaskan,  kekuatan puisi-puisi Ediruslan ada pada pengalamannya dalam melihat realitas Riau di masanya ke dalam bahasa puisi yang penuh metafor. Dalam puisi “Surat, 11” misalnya, kata Reky, Ediruslan membuat metafor tentang dua ekor burung yang mati di pagar rumah setelah saling patuk sehari suntuk berebut dahan tempat bersarang. Puisi itu sangat dalam maknanya.


“Saya berpikir, begitu halusnya Ediruslan menggambarkan bagaimana rakyat Riau yang harus saling berebut sesama mereka sendiri dan akhirnya mati. Padahal Riau sangat kaya akan sumber daya alam tapi masyarakatnya tak bisa menikmatinya karena sudah jadi rebutan siapa saja yang datang,” ujar Reky, ketika itu.

Reky menyamakan dengan adagium tentang Riau sebagai ladang perburuan siapa pun, yang membuat orang-orang tempatan tak bisa menikmati kekayaan di tanahnya sendiri. Di bagian lain,  Ketua Suku Seni, Marhalim Zaini, menjelaskan, Ediruslan merupakan prosais yang sangat kuat. Novel-novelnya hampir semua menjadi pemenang lomba, termasuk dalam Lomba Menulis Novel DKJ sejak tahun 1970-an.


“Memang, ada kesulitan tersendiri bagi seseorang yang sering menulis tulisan panjang seperti prosa kemudian menulis puisi. Tetapi bagi Ediruslan, itu tak jadi masalah. Dia bisa membuat semuanya dengan baik,” ujar Marhalim kepada Riau Pos, Kamis (23/2/2023).

Di sana terlihat bagaimana idealisme Ediruslan yang selaras dalam kehidupan nyata, meski akhirnya terjun ke dunia politik. Banyak orang yang terjun ke dunia politik yang banal kemudian kehilangan idealismenya. “Tapi Ediruslan tidak, dia tetap kukuh menulis dengan pilihannya. Dia terus  ’melawan’ dengan karyanya,” ujar Marhalim.

Paling tidak ada empat novel yang menjadi pemenang DKJ, yakni Nahkoda (1977, hadiah harapan), Ke Langit (1978, hadiah perangsang kreasi), Koyan (1979, hadiah penghargaan), Panggil Aku Sakai (1980, hadiah harapan), dan Dikalahkan Sang Sapurba (1988, juara kedua).

Hal ini memperlihatkan, selain jadi novelis terporduktif di Riau, Ediruslan juga seorang novelis produktif dan berkualitas dalam peta sasta Indonesia. Dalam sejarah sastra Indonesia, tak ada novelis yang setiap tahun dalam lima  tahun berturut-turut masuk dalam daftar pemenang Lomba Menulis Novel DKJ.

Begitu menyebut nama Ediruslan, kata Marhalim, ingatan kita setidaknya dibawa pada dua hal, Sakai dan Jakarta. Penyebabnya mungkin karena keberpihakan Ediruslan sendiri di banyak karyanya terhadap kehidupan masyarakat Suku Sakai berikut konflik-konflik internal dan eksternalnya. Jakarta, akhirnya memang terseret terus dalam arus keberpihakan Ediruslan itu, karena saat itu, semasa dia hidup, hubungan pusat-daerah masih menjadi isu sentral yang pelik. Novel Panggil Aku Sakai,  Dikalahkan Sang Sapurba, dan Jakarta di Manakah Sri, kata Marhalim, adalah representasinya. Sementara pada arah berlawanan ada puisi  “Akhirnya Berpisah Jua Kita Jakarta”.


“Saya mengganggap gaung keberpihakan itu, bahkan perlawanan itu, masih terngiang hingga kini. Pembaca sastra kita generasi hari ini, mestinya membaca karya-karya beliau jika hendak tahu soal bagaimana posisi Riau masa lalu, untuk membaca keberadaan Riau hari ini,” jelas penulis buku kumpulan puisi Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu yang mendapatk penghargaan dari Badan Bahasa tersebut.

Ediruslan lahir di Bagansiapiapi, Rokan Hilir, 17 Agustus 1947. Menamatkan Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kampung nelayan yang pernah punya nama besar di dunia itu. Pada 1961, ia masuk SDH (tidak selesai), kemudian 1962 masuk SKMA, Bogor (juga tidak selesai). Akhirnya pada tahun itu juga, oleh salah seorang sahabat ayahnya, dia dimasukkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung sampai 1969 (1965-1969).

Dia mengawali proses kreatifnya sebagai pengarang sejak duduk di bangku SMP, tetapi secara sungguh-sungguh baru ia lakukan sekitar tahun 1967. Beberapa sumber menulis, sejumlah karyanya berupa puisi dan cerpen tercatat pernah dimuat di beberapa media massa antara lain di Mingguan Mimbar Demokrasi, Majalah Mimbar Bandung, Harian Sinar Harapan, Haluan, Kompas, Majalah Horison, Zaman, dan Menyimak.

Karyanya dalam bentuk kumpulan puisi yang telah diterbitkannya, antara lain, Vogabon (1975), Surat-Suratku Kepada GN (1981), Nyanyian Wangkang (1999), dan sebuah antologi bersama penyair Taufik Ikram Jamil, Antara Mihrab dan Bukit Kawin (1992). Sedangkan karya-karya dalam bentuk roman atau novel yaitu, Di Bawah Matahari, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Ke Langit, Jembatan (Kekasih Sampai Jauh), Perang Bagan, dan Stasiun di Kaki Bukit. Selain itu, ia juga menerbitkan satu-satunya kumpulan cerpennya, Renungkanlah Markasan (DKR, 1997). Dua novelnya, Jakarta di Manakah Sri dan Di Bawah Matahari, diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia. Sementara roman-romannya yang lainnya diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta dan Yayasan Pusaka Riau.

 Kumpulan esai yang pernah dia tulis adalah Kita dan Pedih yang Sama (1999), yang merupakan kumpulan kolom yang ditulisnya setiap pekan selama tiga tahun berturut-turut di Tabloid Azam, media yang pernah dipimpinnya, baik sebagai pemimpin umum maupun pemimpin redaksi. Sedangkan buku Aduh Riau Dilanggar Todak berisikan sejumlah tulisannya di Majalah Gatra, Jakarta. Dia mendapatkan Anugerah Sagang kategori Seniman Terbaik Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang (1998), dan Seniman Pemangku Negeri (SPN) dari DKR.

Pada tahun 2000, Ediruslan menjadi Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR) dan sekaligus menjadi anggota DPRD Provinsi Riau. Dia juga pernah mengajar di Fakultas Sastra Universitas Lancang Kuning (Unilak), dan Wakil Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Pada tahun 2000, Ediruslan berserta budayawan dan seniman Riau mengalihkan pusat kesenian dari komplek Dang Merdu (sekarang Menara Bank Riau Kepri)  ke Purna MTQ. Pada tahun inilah nama Purna MTQ itu berubah menjadi Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), tempat di mana dia menjadi ketua harian, sesuai dengan nama yayasan mengelola area tersebut; Yayasan Bandar Serai. Ediruslan meninggal pada  3 Oktober 2001 di rumah Sakit Islam Asifah, Sukabumi, Jawa Barat. Dia wafat setelah  melawan kanker paru-paru yang dideritanya selama empat bulan.

Kritikus sastra dari Universitas Indonesia (UI), Maman S Mahayana, seperti ditulis Fedli Aziz, menyebut novel Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba, menggambarkan ketergusuran masyarakat Melayu dari hutan dan lahan perkebunan yang secara tradisi sudah menjadi milik mereka turun-temurun. Mereka memang dikalahkan kekuasaan, tetapi semangat untuk mempertahankan hidup yang tidak dapat dikalahkan oleh apa pun.

“Sebuah potret betapa kekuasaan pusat (Jakarta, red) telah bertindak tidak adil kepada masyarakat Melayu,” kata Maman, yang juga menjadi juri saat novel tersebut menjadi juara II Lomba Novel DKJ 1998 yang kalah dari Saman karya Ayu Utami.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook