ANTON WP (PENIKMAT SASTRA DAN DUNIA LITERASI)

Peran Editor dalam Dunia Sastra

Seni Budaya | Minggu, 15 Oktober 2023 - 11:48 WIB

Peran Editor dalam Dunia Sastra
Anton WP

BERBEDA dengan pengarang atau penulis yang namanya banyak kita kenal, editor sebagai tokoh di belakang layar dalam dunia penerbitan memang tak banyak diketahui publik. Bila diminta menyebutkan nama penulis, paling tidak satu nama pastilah dapat disebutkan seseorang. Namun, ketika seseorang ditanyakan nama editor yang diketahuinya, kebanyakan akan mengalami kesulitan menjawabnya.

Dalam dunia penerbitan seperti koran, majalah, buku, bahkan media daring, editor memiliki peran yang sangat penting. Editor bukan hanya bertugas memperbaiki salah tulis atau saltik dalam sebuah naskah. Editor bertanggung jawab dalam menyunting sebuah tulisan agar pembaca dapat memahami apa yang ingin disampaikan seorang penulis. Ada peran besar editor dalam tulisan yang enak dibaca dan mudah dipahami yang kita temui dalam buku dan media massa. 


Selain memperbaiki dan memastikan sebuah tulisan dapat dibaca dan dipahami dengan mudah, editor juga bertugas mencari dan menerbitkan naskah-naskah bermutu yang dapat diterima oleh khalayak pembaca. Oleh karena itu, seorang editor harus memiliki kemampuan menulis dan menguasai tata bahasa yang baik. Seorang editor juga dituntut memiliki kreativitas dan mampu berpikir logis serta teliti dalam mengoreksi sebuah naskah.

Dalam hubungannya dengan penulis, seorang editor perlu memiliki kemampuan komunikasi dan diplomasi yang baik agar dapat mencapai kesepahaman. Terlebih lagi, jika berhadapan dengan pengarang yang memiliki ego tinggi, yang tak ingin tulisannya “diacak-acak” oleh seorang editor. Inilah yang biasanya terjadi dalam dunia penulisan fiksi, terutama sastra.

Seorang sastrawan menghasil sebuah karya melalui proses “berdarah-darah” yang seringkali memakan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan. Segenap pikiran dan imajinasinya dicurahkan untuk menghasilkan sebuah karya. Setelah menyelesaikan naskah awal, seorang pengarang pun melakukan penyuntingan secara mandiri hingga menghasilkan naskah akhir yang dianggapnya merupakan karya terbaik yang dapat diciptakannya. 

Tentu saja dapat dipahami jika seorang pengarang kemudian merasa tidak suka bila karyanya dicampuri terlalu jauh oleh orang lain, dalam hal ini seorang editor. Dapat kita bayangkan bagaimana kesalnya seorang pengarang ketika ratusan lembar yang ditulisnya, yang telah menguras tenaga dan pikiran serta menghabiskan waktunya, harus dihilangkan begitu saja.  

Di panggung sastra dunia, dikenal seorang editor terkemuka dari New York, Amerika Serikat, bernama Maxwell Perkins. Editor bernama lengkap William Maxwell Evarts Perkins ini lahir pada 20 September 1884 dan meninggal pada 17 Juni 1947. Max, begitu ia biasa dipanggil, adalah editor yang menemukan pengarang-pengarang terkenal dunia seperti Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald, Marjorie Kinnan Rawlings, dan Thomas Wolfe.   

Lulusan Universitas Harvard ini mengawali kariernya sebagai reporter di The New York Times dan kemudian menjadi editor di penerbit Charles Scribner’s Sons. Sebagai editor muda Max suatu ketika menemukan sebuah naskah dari seorang pengarang yang belum dikenal. Dia tertarik dan harus memperjuangkan naskah itu untuk diterbitkan. Setelah dieditori olehnya, terbitlah karya pertama F. Scott Fitzgerald berjudul This Side of Paradise. Dari Fitzgerald kemudian Max mengenal bakat baru lainnya, Hemingway.

Sebuah film tentang editor legendaris ini dirilis pada 2016. Film berjudul Genius ini dibuat berdasarkan buku karya A. Scott Berg berjudul Max Perkins: Editor of Genius.  Aktor Colin Firth didapuk memerankan Maxwell Perkins dan Thomas Wolfe diperankan oleh Jude Law.

Fokus cerita film ini adalah hubungan Max yang berkepribadian introver dengan Wolfe yang ekstrover. Dikisahkan pada suatu hari Max membaca naskah novel berjudul O, Lost karya Wolfe. Max tertarik dengan naskah ini dan memutuskan untuk menerbitkannya dengan syarat Wolfe harus mau bekerja sama dalam penyuntingan naskah yang terdiri dari 333.000 kata dan setebal 1114 halaman itu. Setelah mengalami proses penyuntingan selama setahun, Max dengan pensil merahnya mencoret kalimat-kalimat Wolfe yang tak perlu dan membabat ratusan halaman. Akhirnya terbitlah sebuah novel berjudul Look Homeward, Angel setebal 544 halaman. Novel debut ini sukses terjual 15 ribu eksemplar dalam sebulan.

Dari film yang berhasil masuk dalam Festival Film Internasional Berlin ke-66 ini, kita dapat menyaksikan peran editor bagi seorang pengarang bukan hanya sebagai penyunting naskah yang melantur dan bertele-tele, melainkan juga sebagai teman diskusi yang memberikan semangat ketika sang pengarang mengalami kebuntuan dalam menuliskan ide-idenya. 

Peran besar Max ini kemudian menimbulkan pertanyaan khalayak apakah Wolfe akan mampu menghasilkan karya-karya besarnya tanpa campur tangan sang editor. Memang Max tak akan dikenal tanpa pengarang yang ditemukan dan dibesarkannya, tetapi sang pengarang berutang budi pada jasa Max dalam menyunting dan membabat kata-kata dan halaman-halaman yang tak berguna. 

Tanpa peran editor seperti Max, tentu karya-karya Ernest Hemingway, Scott Fitzgerald, Marjorie Kinnan Rawlings, dan Thomas Wolfe yang dikenal dunia sekarang ini akan berbeda sama sekali. Belum tentu karya-karya itu sukses dan mendapat sambutan hangat dari pembaca. 

Memang harus diakui keberhasilan suatu karya sastra bukan hanya karena ide dan kemampuan merangkai kata dari sang pengarang, melainkan juga ada andil dari sang editor. Kita tak dapat menentukan mana yang berperan lebih besar. Yang jelas keduanya sama-sama memiliki peran tersendiri. 

Tentu saja ini menjadi suatu tantangan bagi editor karya sastra di tanah air. Pandangan umum bahwa peran editor hanya sekadar memeriksa penulisan yang salah dan mengoreksi kata-kata agar sesuai dengan ejaan yang benar sudah harus dibuang jauh-jauh. Editor-editor kita yang mungkin selamanya tak akan dikenal oleh publik itu harus berusaha meningkatkan perannya dan mau bertungkus lumus bersama pengarang yang dieditorinya dalam menghasilkan sebuah karya bermutu yang akan terus dikenang.  

Maxwell Perkins sendiri selama hidupnya tak pernah ingin dikenal publik. Dia berpendapat seorang editor memang sebaiknya anonim atau tak dikenal. Ketika dalam suatu kesempatan ia ditanya mengapa tidak menulis karyanya sendiri, dia menjawab: “Karena saya seorang editor.”***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook