Persoalan sejarah sastra dan alih wahana sastra Melayu Riau menjadi perbincangan menarik dalam diskusi pertama dan kedua Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) 2023. Seperti apa?
RIAUPOS.CO - PERBINCANGAN tentang sejarah dan kondisi sastra Melayu Riau terkini, menjadi bahasan penting dalam Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) 2023. Dua pembicara, Dr Griven H Putra dan Dr Jarir Amrun, membahasnya dalam sebuah bincang sastra bertajuk “Terang Redup Melayu dalam Karya Sastra Riau: Meneroka Pengaruh Melayu dalam Karya Sastra Riau”. Diskusi ini diselenggarakan hari pertama di Studio Suku Seni, Gading Marpoyan, Siak Hulu, Kampar, Sabtu (16/9/2023).
Dengan makalah berjudul “Sastra dan Melayu, Melayu dan Sastra, Dulu, Kini, dan Esok” Griven memaparkan pemikirannya dengan mengawalinya pada sebuah adagium bahwa sastra bagi Melayu adalah sayur dan garam. Tak menjadi kompleks kemelayuan itu jika tak ada sastra di dalamnya. Kehidupan orang Melayu, kata Griven, tak pernah lepas dari sastra. Denyut napas orang-orang Melayu adalah sastra. Tersebab itulah maka orang-orang Melayu dalam kesehariannya sangat akrab dengan pantun, petatah petitih, syair, gurindam, seloka dan bentuk sastra lainnya.
Pernyataan itu menjelaskan, seolah tidak Melayulah orang itu kalau ia tak bergelimang dengan sastra dalam hidupnya walaupun itu tanpa disadarinya. Mulai dari ayunan, anak-anak Melayu sudah diakrabkan dengan sastra, seperti diayunkan dengan nandung, baghandu, nyanyi panjang, kayat, koba dan tradisi-tradisi sastra lisan lain di belahan negeri Melayu lainnya.
Sejak lama, kata Griven, sastra yang berkembang di Riau adalah lisan dan tulisan. Yang berperan dalam sastra lisan itu adalah tokoh tradisi seperti dukun, bomo, pawang, kemantan, guru silat, dll. Karya sastra mereka dalam bentuk mantra dan petuah. Kemudian ada tokoh adat, yaitu datuk dan para ketiapan. Karya mereka dalam bentuk petatah-petitih pada upacara perkawinan dan nilai-nilai adat budaya kemasyarakatan. Lalu ada ulama. Karyanya dalam bentuk doa-doa bernuansa sastra dan kisah-kisah nabi. Yang keempat ada pengarang anonim. Karya mereka terlihat pada berbagai cerita rakyat dan legenda termasuk asal-usul suatu negeri.
“Sedangkan yang berperan dalam tradisi tulisan di Riau adalah para intelektual yang mulai menulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab atau Arab Jawi/Arab Melayu. Selain itu juga terdapat naskah tulisan campuran Arab dan Latin,” kata Griven.
Griven lalu memaparkan tiga periode perkembangan sastra Melayu, yaitu periode Hindu-Budha; periode awal Islam; dan periode klasik. Periode Hindu-Budha merupakan periode dari abad 7 hingga abad ke-14. Pada periode ini wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaka dalam pengaruh Hindu-Budha. Periode awal Islam merupakan periode masuknya Islam ke Nusantara. Pada masa ini sastra Melayu mulai diislamisasikan, mereka mengenal Islam dengan budayanya. Periode ini di abad ke-14 sampai abad ke-16. Periode klasik sastra Melayu dimulai abad ke-16 sampai ke-19. Di masa ini karya-karya sastra Melayu menunjukkan jati dirinya sebagai sastra bagian dari budaya dunia Islam.
Menurut Griven, Sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin karya Tun Sri Lanang pada 1612 M, sangat berpengaruh pada perkembangan sastra Melayu yang kemudian memunculkan sebuah mazhab sastra Melayu. Mazhab itu, kata Griven, terbagi tiga, yakni masa silam, warna Islam, dan masa kini. Ketiganya punya periodesasi masing-masing.
Wartawan yang juga akademisi, Jarir Amrun, memaparkan pikirannya dengan makalah berjudul “Membaca Karya Sastra Melayu Klasik ke Modern”. Jarir menjelaskan tentang perkembangan sejarah sastra Melayu yang tak bisa dipisahkan dengan sejarah bangsa Melayu sendiri. Dimulai dari Sulaltus Salatin karya Tun Sri Lanang ke Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji, hingga karya-karya Soeman Hs dan Sutardji Calzoum Bachri yang lebih modern.
Pada periode yang sangat panjang tersebut, jelas Jarir, sastra Melayu memiliki banyak naskah yang belum diekspos dengan baik hingga sekarang. Naskah-naskah tersebut banyak berada di perpustakaan di Belanda, juga pada masyarakat yang ada di ceruk-ceruk perkampungan. Upaya pemerintah Malaysia yang melakukan “penyelamatan” terhadap naskah-naskah tersebut dengan membelinya dari masyarakat, pantas diapresiasi. Hal yang diabaikan pemerintah Indonesia.
“Hingga hari ini, banyak naskah Melayu yang belum digunakan dengan baik, padahal itu adalah kekayaan intelektual,” jelas Jarir, pengajar di STAIN Bengkalis yang juga wartawan Riau Pos tersebut.
***
DISKUSI kedua dalam FSMR 2023 digelar pada Sabtu (23/9/2023) dengan tema “Energi Terbarukan Sastra Melayu, dari Secupak Jadilah Segantang: Sebuah Ikhtiar Kreatif Alih Wahana”. Ketua Suku Seni yang juga Direktur FSMR, Marhalim Zaini MA, dan akademisi UIN Suska Riau Dr M Badri, tampil sebagai pembicara. Dengan makalah berjudul “Alih Wahana (Intermedialitas), Energi Terbarukan?”, Marhalim menjelaskan tentan konsep alih wahana dalam dunia sastra.
Menurutnya, alih wahana adalah pengubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Wahana berarti kendaraan, jadi, menurutnya, alih wahana adalah proses pengalihan dari satu jenis kendaraan ke jenis kendaraan lain. Sebagai kendaraan, suatu karya seni merupakan alat yang bisa mengalihkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Contoh kerja alih wahana sastra yang selama ini cukup sering dilakukan adalah puisi menjadi musikalisasi puisi, novel menjadi film atau sebaliknya scenario film menjadi novel, puisi menjadi teater, cerpen menjadi tari, dll.
“Dan tentu akan terus terbuka ruang alih wahana dalam bentuknya yang lebih luas, bisa saja pantun menjadi lukisan, syair menjadi seni media baru, gurindam menjadi performance art, puisi menjadi instalasi seni, dan seterunya,” kata Marhalim.
Dijelaskannya, hakikat alih wahana meliputi beberapa hal, yakni bahwa semua seni adalah media, semua media punya keterhubungan, di dalam teks ada teks-teks lainnya, ada perubahan paradigma bahwa seni tidak berdiri sendiri, dan semua seni itu mutlidimensional atau semua teks kultural itu mixed media (media campuran) atau hemafrodit.
Dia mencontohkan, pada tahun 1978, ada pameran puisi konkret. Beberapa puisi Sutardji Calzoum Bachri (SCB), Danarto dan penyair lainnya dialihwahanakan. Misalnya, puisi “Luka” SCB dialihwahanakan menjadi sebongkah danging segar yang masih berdarah tergantung. Lalu, puisi-puisi I Made Wianta ditulis pada sandal jepit dan karton tisu. Kemudian, sejak 2017, Marhalim mementaskan alih wahana puisinya ke pertunjukan teater. Antara lain “Dilanggar Todak”, “Hikayat Orang Laut”, dan “Agama Sungai”.
Belakangan, banyak puisi yang dialihwahanakan menjadi dimusikalisasi. Sering disebut musikalisasi puisi atau musik puisi. Misalnya karya Ari-Reda yang sering memusikkan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Atau Sanggar Matahari yang spesialis membawakan puisi-puisi penyair Indonesia dalam karya-karya musiknya.
Alih wahana dari teks prosa, baik cerpen maupun novel, ke tari, juga sudah banyak dilakukan. Misalnya novel Anak Bajang Mengayun Bulan karya Sindhunata. Adegannya mengingatkan tontonan Sendratari Ramayana. Yang sudah sering dilakukan sejak lama adalah alih wahana novel ke film. Lebih spesifik proses alih wahana novel ke film ini dikenal dengan istilah ekranisasi (pelayarputihan). Tentu, banyak sekali karya novel yang diangkat ke layar lebar, baik di Indonesia maupun Barat. Juga, beberapa naskah skenario film, dialihwahanakan menjadi novel. Beberapa judul misalnya Ada Apa dengan Cinta? dan Cinta dalam Sepotong Roti.
Bagi sastra Melayu, menurut Marhalim, alih wahana ini penting. Beberapa alasan yang bisa dikemukakan adalah untuk pengembangan sastra Melayu, meningkatkan apresiasi terhadap sastra Melayu, memperluas kerja kolaborasi lintas bidang seni, dan menawarkan estetika atau bentuk-bentuk karya baru dan inovatif.
“Serta memperkuat pemahaman identitas kultural Melayu melalui karya-karya sastra,” jelas lelaki yang menulis hampir semua genre sastra dan teater ini.
Sementara itu M Badri melihat secara spesifik bagaimana Revolusi Industri 4.0 telah mengubah paradigma dalam berkarya. Dalam makalah berjudul “Media Baru dan Energi Kreatif Alih Wahana Sastra Melayu”, dia menjelaskan tentang penggunaan wahana internet sebagai ruang bersastra yang dulu banyak diejek oleh para sastrawan yang “cinta mati” dengan sastra kertas (koran/majalah), kini tak terelakkan lagi. Dulu sastra siber di Indonesia yang dipelopori Cybersastra.com, dianggap angin lalu, dan kini, seiring semakin mengecilnya ruang satra kertas, sastra siber adalah pilihan utama dalam bersastra.
Hal yang sama, menurut alumni S-2 dan S-3 Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut, juga terjadi di laman media sosial yang memungkinkan dijadikan wahana sastra. Banyak cerpen, puisi, novel, dan lainnya yang menggunakan ruang media sosial sebagai tempat “menemukan” pembacanya. Ruang digital seperti Youtube, Instagram, Facebook, Reels, TikTok, dll, juga menjadi wahana baru bagi para sineas untuk menampilkan karyanya. Pun, para deklamator atau pembaca cerpen juga menjadikan ruang internet dan media sosial tersebut untuk menemukan audiens-nya. Misalnya, pembacaan cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” yang dilakukan oleh Dian Sastro dan Abimana Aryasatya, ditonton ratusan ribu orang di media sosial tersebut.
“Menurut saya, ruang-ruang internet dan media sosial tersebut juga harus dimanfaatkan oleh para sastrawan Melayu. Di era digital dan generasi Z seperti sekarang, bukan hanya konten modern yang bisa digarap. Konten-konten budaya tradisional juga sangat memungkinkan mendapatkan ruang di sana,” ujar penulis cerpen “Pipa Air Mata” ini.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru