Dia mengaku tidak mudah karena harus terus belajar dan berproses secara terus-menerus. “Berhasil menembus ketatnya persaingan di media besar nasional, menjadi pengalaman berharga bagi saya. Saya senang sekali, tentunya, karena karya saya akhirnya mendapat atensi dan apresiasi dari redaktur sastra (puisi, red) dan juga penyelenggara/kurator sebuah antologi,” ujar Boy kepada Riau Pos, Kamis (8/9/2022).
Ketika buku kumpulan puisi tunggalnya, Hindia, Sebentang Peta Kumal (masuk nominasi Buku Sastra Terbaik Pilihan Tempo, 2020) terbit, dia juga tak bisa menahan kebahagiannya. Menurutnya, buku tersebut adalah anak ideologinya yang selama ini ada dalam pikirannya dan diperjuangkan untuk bisa lahir (terbit). Dia mengaku, belajar dari para penulis yang memiliki karya baik, seperti sasrtawan Marhalim Zaini, Olyrinson, dan Budy Utami di Komunitas Paragraf, telah membentuk pola pikirnya, yang akhirnya menemukan tapak tangan sendiri. Puisi-puisinya cenderung bertema sejarah dan sosial.
“Saya sangat bergembira sebab akhirnya karya-karya yang selama ini ‘tercecer-terserak’ di media massa, kemudian bisa terhimpun dalam sebuah buku. Saya berterima kasih kepada banyak orang yang saya anggap sebagai guru dan mentor, yang telah membantu saya sejauh ini,” ujar mantan editor di Riaupos.co ini.
Menurut Boy, komunitas bisa membantu membangun dirinya dalam berkarya. Itu terkait dengan dorongan untuk menulis dan berkarya lebih baik. Diskusi, sekecil dan seremeh apa pun temanya, selalu dapat memantik keinginan untuk menulis. Sebab di komunitas, selain belajar memahami karya bersama, juga mendapat arahan tentang buku-buku yang penting untuk dibaca, baik karya sastra, filsafat, sosial, dan sebagainya yang menjadi pendukung dalam melahirkan karya.
“Pada akhirnya, saya tidak mencari apa-apa di sini. Menulis telah membantu saya untuk menemukan cara yang tepat dalam mengungkapkan isi pikiran dan suara hati saya dengan baik. Tentu lewat karya,” jelas penyuka karya-karya Eric Arthur Blair alias George Orwell dan Chairil Anwar tersebut.
Terus Belajar
Windi Syahrian Djambak atau WS Djambak, adalah salah satu nama baru yang kini cukup diperhitungkan. Memilih genre prosa (cerpen dan novel), puisi dan esai, ASN di Kementerian kelautan dan Perikanan UPT Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang sebagai Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir dengan wilayah kerja di Riau ini telah menerbitkan novel Duduk Meraut Ranjau, Tegak Meninjau Jarak (2019).
Belakangan, cerpen-cerpen alumnus Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Riau (Unri) ini berhasil menembus ketatnya persaingan media arus utama nasional, yakni Kompas dan Republika. Cerpen-cerpennya juga termuat di Singgalang, Tulis.me, asyikasyik.com, Apajake, dan Lensa Sastra. Sedangkan puisi-puisinya termuat dalam beberapa antologi seperti Aceh 5:03 6,4 SR (2017), Gugus Waktu (2019), Lelaki yang Mendaki Langit, Pasaman Rebah ke Pangkal (2019), Suara yang Lindap dan Malam yang Senyap (2020), dan Ombak, Camar, dan Kerinduan (2021). Selain itu Windi juga menulis esai dengan berbagai tema yang menang dalam beberapa lomba, baik sastra maupun umum.
Dia pernah bergabung dengan Komunitas Forum Aktif Menulis (FAM). Tahun 2020, ia mengikuti Kelas Menulis Daring yang diampu oleh Muhammad Subhan. Dalam kurun waktu 2020-2022, beberapa karyanya berkesempatan dimuat oleh beberapa media (lokal dan nasional). Dia juga pernah berpartisipasi secara langsung pada ICAST Fest yang ditaja ISBI Bandung (2020) dan Festival Seni Multatuli (2021).
Dia mengaku, meski menyadari pentingnya komunitas dan peran mentor dalam proses kreatif sebagai ekosistem yang memancing semangat dalam berkreasi, namun tetap saja baginya dorongan dalam diri sendiri adalah faktor utama produktivitas dalam berkarya. Melalui komunitas menulis tersebut juga, ia merasa peminatan berdasarkan ketertarikan lebih menjurus kepada menulis cerpen dan esai, meski juga meminati puisi.
Pekerjaannya yang sering dihabiskan di laut membuat dia benar-benar mencintai laut. Hal itu menjadi inspirasi dalam beberapa karyanya, salah satunya cerpen “Ikan untuk Bapak” yang dimuat di Kompas pada 2021 lalu.
“Dimuatnya cerpen tersebut memantik saya untuk terus belajar dengan membaca karya-karya yang baik. Alhamdulillah setelah itu dua cerpen saya dimuat di Republika,” jelas lelaki kelahiran 19 September 1989 di Padangpanjang ini.
Windi mengaku tak secara khusus memfavoritkan salah seorang atau beberapa penulis, namun dari beberapa buku fiksi dan sastra yang pernah dibacanya. Setidaknya ada beberapa buku yang begitu membekas dan memengaruhi gaya menulisnya yakni Si Jamin dan Si Johan (Merari Siregar), Burung Kayu (Niduparas Erlang), Tambang Nanah (Hary B Koriun), Kawi Matin di Negri Anjing (Arafat Nur), Orang-orang Oetimu (Felix Nesi), Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Negri 5 Menara (A Fuadi). Selain itu juga menyukai kumpulan puisi Hindia, Sebentang Peta Kumal (Boy Riza Utama), Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (Marhalim Zaini), Olang 2 (Dheni Kurnia), Air Mata Musim Gugur (Fakhrunnas MA Jabbar), dan masih banyak yang lain.
“Saya merasa masih baru. Saya akan terus membaca buku yang baik. Dalam orientasi menulis, saya juga belum memilih hal yang khusus, misalnya surialis atau realis. Tetapi saya ingin menulis dengan pesan moral yang bisa ditangkap oleh pembaca,” jelas Windi lagi.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru