ANAK-ANAK MUDA RIAU DI PANGGUNG SASTRA INDONESIA (BAGIAN 1)

Generasi Terkini dan Masa Depan Sastra Riau

Seni Budaya | Minggu, 11 September 2022 - 11:37 WIB

Generasi Terkini dan Masa Depan Sastra Riau
Boy Riza Utama saat memilah amplop berisi buku yang akan dikirim kepada pembelinya di Pekanbaru, beberapa waktu lalu. (HARY B KORIUN/RIAU POS)

Di panggung sastra Indonesia, Riau memiliki sejarah panjang yang tak bisa dinafikan. Sastrawan dan karya sastra Riau terus lahir. Juga terus tumbuh dan ber­pe­ngaruh.

(RIAUPOS.CO) - UNIA sastra Riau terus menggeliat dan tak pernah kehilangan bibit. Di masa lalu, Rusydiah Club yang antara lain digawangi oleh Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam, dan Raja Abdullah, pernah begitu masyhur. Raja Ali Haji adalah salah satu nama yang menjadi tonggak sastra Indonesia yang berpusat di Pulau Penyengat (kini Kepulauan Riau) tersebut.


Selain mereka, dunia sastra Riau di masa lalu juga punya dua nama yang di kemudian hari dianggap sebagai pencetus lahirnya cerpen dan sastra  modern Indonesia. Mereka adalah Muhammad Kasim dan Soeman Hs. Teman Duduk (1936) adalah kumpulan cerpen pertama yang terbit di Indonesia dan  menjadi tonggak cerpen modern Indonesia. Di samping itu, ia juga menulis novel, Muda Teruna, yang diterbitkan pada tahun 1922. “Bertengkar dan Berbisik” adalah judul cerpen yang terbit pada tahun 1929. Kemudian “Bual di Kedai Kopi”  juga sebuah judul cerpen yang terbit pada tahun 1930. Dia juga menerjemahkan karya asing berjudul Niki Bahtera terjemahan dari In Woelige Dagen.

Sementara itu, kepengarangannya Soeman Hs muncul karena mendapat dorongan dari Muhammad Kasim. Dari bual-bual sesama guru yang kebetulan sama-sama berasal dari Sumatra Utara yang tinggal di Riau tersebut, Soeman Hs mulai saat tinggal di Siak yang ketika itu masih di bagian dari Bengkalis. Tahun 1930-an merupakan masa jaya kepengarangan Soeman Hs. Karya-karyanya antara lain Kasih Tak Terlerai (novel,  1930), Mencari Pencuri Anak Perawan (novel, 1932), Percobaan Setia (novel, 1932), Kawan Bergelut (kumpulan cerpen, 1939), dan Tebusan Darah (novel, 1939).

Di era setelah itu, Riau yang masuk dalam Provinsi Sumatra Tengah setelah kemerdekaan sebelum berdiri sendiri menjadi Riau (sebelum dan sesudah memisahnya Kepri menjadi provinsi) tetap menjadi salah satu daerah yang melahirkan banyak penulis. Nama Hasan Junus, Sy Bahri Judin, Roestam S Abroes, Armawi KH, Rida K Liamsi, Ediruslan PE Amanriza,  hingga ke generasi Fakhrunnas MA Jabbar, Kazzaini Ks, Dheni Kurnia, Abel Tasman, Husnu Abadi, Taufik Ikram Jamil dll (sekadar menyebut nama).

Pada masanya, Ediruslan adalah salah satu sastrawan paling produktif. Dia menjadi sastrawan Riau yang paling sering memenangkan Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), meski bukan pemenang utama. Paling tidak ada empat novel yang menjadi pemenang tersebut, yakni Nahkoda (1977, hadiah harapan), Ke Langit (1978, hadiah perangsang kreasi), Koyan (1979, hadiah penghargaan), Panggil Aku Sakai (1980, hadiah harapan), dan Dikalahkan Sang Sapurba (1998, juara kedua).

Setelah itu, generasi “muda” sastrawan Riau bermunculan. Ada yang berani bertarung ke tingkat nasional seperti para senior terdahulu, atau hanya berkarya di tingkat lokal. Mereka yang bertarung secara nasional merasakan betul bagaimana harus jatuh-bangun menembus media nasional dan penerbit mayor. Nama-nama seperti Marhalim Zaini, Olyrinson, Budy Utami, M Badri hingga Cikie Wahab, Maymoon Nasution, Boy Riza Utama, Jeli Manalu,  dan lainnya, mendapat panggung secara nasional karena karya-karya mereka tersiar di media-media nasional. Pertarungan “menghadapi” ribuan karya yang bersaing untuk dipilih redaktur sastra untuk dimuat di halaman sastra media nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika, dan yang lain, memerlukan keuletan dan kerja keras yang tak kenal menyerah.

Namun, bukan berarti nama-nama lain seperti Murparsaulian, Kunni Masrohanti, Sobirin Zaini, Hang Kafrawi, Jefry al Malay, Alvi Puspita dan yang lainnya, tidak bekerja keras dalam membangun eksistensi diri dan karyanya. Mereka juga bertungkus-lumus membangun eksistensi dengan cara-cara tersendiri, baik lewat karya, panggung, maupun kegiatan sastra seperti festival yang dibuat dan diikuti.

 

Generasi Terkini
Pertarungan di tingkat nasional memang bukan satu-satunya membangun eksistensi diri dan karya. Namun, paling tidak, dengan berani bertarung di wilayah yang lebih luas dan berhasil menembusnya, akan membantu “publikasi” kepada dunia luar bahwa eksistensi sastra Riau masih terus hidup dan tetap memunculkan nama orang-orang yang bekerja keras di bidang itu.

Hal itu dirasakan oleh Boy Riza Utama, penyair muda yang telah menerbitkan buku kumpulan puisi Hindia, Sebentang Peta Kumal (2020). Mulai belajar menulis puisi sejak 2013, pemuda kelahiran Bukittinggi, 4 Mei 1993 ini berhasil menembus belantara media nasional seperti Kompas, Koran Tempo, Riau Pos, Majalah Pusat, Buletin Sastra Pawon, Majalah MAJAS, Buruan.co, Bacapetra.co, Mata Puisi, dll. Karyanya juga dimuat di berbagai antologi seperti Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit (2014), Bendera Putih untuk Tuhan (2014), Pelabuhan Merah (2015), Epitaf Kota Hujan (2018), dan Lurus Jalan ke Payakumbuh (2020). Boy juga hadir di Payokumbuah Literary Festival pada tahun 2018.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook