DARI PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA VIII PATTANI

Berjumpa dengan Saudara Sehati

Seni Budaya | Minggu, 06 Desember 2015 - 08:30 WIB

Berjumpa dengan Saudara Sehati
Peserta PPN VIII di Prince of Songkhla University, Thailand Selatan.

Museum Islam Nusantara

Hari ketiga, acara dimulai dengan mengunjungi Museum Simpanan Alquran Lama Nusantara Narathiwat, kemudian ke Masjid Gresik, dan berakhir di Prince of Songkhla University – tempat dilangsungkan acara penutupan PPN VIII 2015. Museum Simpanan Alquran Lama Nusantara terletak d Komplek Pondok Pesantren Madrasah Ahmadiah Islamiah lantai satu, Desa Sala Anak Ayam, Bacho, Provinsi Narathiwat. Sebutan Ahmadiah diambil dari nama pendiri pondok pesantrean ini, Ustadz Ahmad. Tidak ada kaitannya dengan aliran Ahmadiah.

Baca Juga :Mendikbudristek Apresiasi Pemprov Riau Lakukan Upaya Pelestarian Kebudayaan

Keterangan peserta PPN VIII ke museum ini langsung disambut dan dilayani pimpinannya, Ustadz Muhammad Lutfi Haji Samin, seorang lulusan perguruan tinggi Islam di Yordania. Di pesantren yang kadang-kadang disebut"Pondok Sala Anak Ayam" dan dengan bangunan tiga lantai ini, ada sekitar 800 santri tingkat sekolah menengah yang sedang menempuh ilmu-ilmu keislaman.

Penyair-penyair peserta PPN VIII antusias mendengarkan penjelasan Muhammad Lutfi dan mengitari ruangan museum yang ruangan cukup sederhana ini. Mereka memoto nyaris setiap manuskirif  yang bertuliskan tangan dan bertintakan beragam getah kayu, berupa campuran getah damar, getah terea, dan dawat India atau dawat cina, serta dilebur dengan haram kayu dan teras kayu leban itu. Hiasan pada sisi-sisi kitab-kitab lama pula menggunakan tinta-tinta dari bahan buah-buahan dan bunga-bunga. Sedangkan alat tulisnya menggunakan bulu ayam, bulu burung merak, lidi landak, buluh dan pohon batang kabung.

Di museum yang merupakan bagian pesantren seluas sekitar 15 hektar tersimpan Alquran tulisan tangan kuno ini dalam jumlah cukup banyak. Berasal dari Andalusia (Spanyol), Arab, Thailand, dan negeri Nusantara lainnya, sebagian besar dari Aceh-Pasai. Jumlahnya 72 Alquran dan beberapa puluh kitab kuno lainnya dalam bahasa Arab-Melayu, yang berusia mulai 200 tahunan hingga 700 tahunan.

Di ruangan musem cuma seukuran ruang belajar itu, di antaranya terdapat Alquran berukuran mini. Mushaf  berukuran 17 cm x 11 cm dengan tebal 2 cm ini ditulis Ibnu Almarhum Al-Marfu Maula Muhammad Al-Bassari, tahun 987 Hijriyah, yang hingga sekarang, usia Alquran yang ditulis di atas kertas dan sampul dari kulit binatang telah berumur lebih dari 450 tahun.

Tapak pertama penulisan Alquran kuno dimulai oleh seorang ulama besar Kerajaan Aceh Pasai, Syekh Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasan bin Muhammad Hamid Al-Raniry Al-Quraisy, yang mendapat tugas dari Sultan Malik Al-Saleh. Syekh Nuruddin ketika itu menduduki jabatan sebagai Mufti kepercayaan Sultan Iskandar II, penguasa Aceh abad 16 Masehi.

Menurut Lutfi, syekh ini banyak sekali menulis kitab dengan tulisan tangan dalam tiga bahasa: Arab, Melayu, dan India. Karya-karyanya yang paling dikenal antaranya Bustanus Salathin, Taman Segala Raja, yang merupakan rujukan raja-raja di Tanah Melayu, serta Kitab Sirathal Mustaqim yang menjadi pedoman kalangan ahli tasawuf. Ulama besar Syaikh yang wafat tahun 1658 M itu meninggalkan 29 kitab karangannya.

Walaupun terlihat sederhana sekarang ini, menurut Muhammad Lutfi,  ongkos perawatan Alquran klasik memerlukan anggaran cukup besar, sekitar 2,5 juta baht (sekitar Rp.943.728.124. (hampir 1 miliar rupiah) setiap tahunnya. Biaya sejumlah itu selain bantuan dari Departemen Seni Rupa Thailand, bantuan utama juga datang dari Perpustakaan Sulaiman Al-Qanuni di Istanbul, Turki. “Dalam satu dua tahun ke depan di sini akan dibangun Museum Melayu Islam Nusantara. Bantuan dari pemerintahan Turki,” kata Muhammad Lutfi.

Setelah mengunjungi museum terbilang unik, beberapa peserta utama sekali dari Singapura dan Brunei, seperti Nuraini Din dan Cg Karmin menyatakan akan kembali lagi ke sini, mengecek dan mengorek lebih dalam ilmu-ilmu Islam yang terpendam. Bisa saja ke depan, inilah Museum Melayu Islam terpenting di Nusantara setelah dibangun megah oleh pemerintah Turki.

Beranjak ke Masjid Gresik.

Beranjak dari Sekolah Ahmadiyah, peserta PPN VIII menuju ke Masjid Gresik. Masjid ini nama sebetulnya Masjid Sultan Mudzaffar Syah. Masjid ini dibangun tahun 877 Hijriyah, atau kini berusia 559 tahun dalam perhitungan tahun hijriyah. Masjid bersejarah ini terletak tepatnya di Jalan Moo 2 Baan, Kru Se, Tanjong Lulo Muang, Provinsi Pattani, sekitar 7 km dari ibu kota Pattani. Atau sekitar tiga jam perjalanan dari Aomonoa Resort  Narathiwat, pinggiran kampung tepian pantai yang menghala ke Kamboja di Selat Thailand, tempat peserta PPN VIII menginap.

Masjid ini populer dengan sebutan Masjid Gresik sebab dulu banyak orang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berdatangan ke sini, terutama dari Gresik. Para pendatang itu kemudian memberi nama-nama kampung-kampung baru sama dengan kampung-kampung di negeri asal mereka. Selain Gresik, ada juga nama Kampung Bogor, Kampung Jambi, dan Kampung Makassar.

Masjid ini pernah beberapa kali dibakar dan memakan korban akibat huru-hara ketika terjadi bentrokan antara tentara Thailand dengan jemaah masjid. Tampak dari luar, sepertinya masjid ini terbiarkan dan tidak terpakai sama sekali. Batubata merah tampak “telanjang”, dan bekas terkelopak-kelopak di sana sini. Sepertinya juga tidak ada atapnya. Ketika sampai di depan pintu masuknya yang terletak di samping barulah tampak ada aktivitas jemaah di dalamnya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook