DARI PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA VIII PATTANI

Berjumpa dengan Saudara Sehati

Seni Budaya | Minggu, 06 Desember 2015 - 08:30 WIB

Berjumpa dengan Saudara Sehati
Peserta PPN VIII di Prince of Songkhla University, Thailand Selatan.

Puisi untuk Rakyat

Inilah agaknya puisi ke depan. Tidak bermain di dunianya sendiri lagi. Tetapi sudah bersama rakyat. Militer. Semua kalangan. Serupa yang diungkapkan Nik Rakib. “Kita harus berusaha memasyarakatkan puisi lebih bermakna dan memberi kesan dalam penyatuan jiwa antara penyair dengan rakyat,” sebagaimana tertuang juga dalam resolusi PPN VIII.

Baca Juga :Mendikbudristek Apresiasi Pemprov Riau Lakukan Upaya Pelestarian Kebudayaan

Acara baca puisi PPN VIII ini bergerak dari Utara Pattani Raya beringsut ke Selatan. Pertama sekali diselenggarakan di sebuah gedung pemerintahan milik Districk Bacok di Provinsi Narathiwat, yang berbatasan dengan Kelantan. Seberang Kamboja di Teluk Thailand. Di situ yang hadir bukan saja dari kalangan seniman, tetapi juga masyarakat umum. Gedung yang cukup besar diisi beragam manusia. Sebagian besar menunjukkan mereka beridentitas Muslim-Muslimah. Berbaju koko atau berkopiah bagi kaum lelakinya. Berbaju kurung dan bertudung bagi kaum wanitanya. Mereka pun tampaknya antusias menyaksikan tampilnya penyair demi penyair di atas panggung.

Negeri-negeri yang dijelangi peserta PPN VIII ini memang seluruhnya Melayu dan mayoritas Islam. Provinsi Narathiwat (Islam 67,8 persen), Provinsi Pattani (Islam 80 persen), dan Provinsi Yala (Islam 68,9 persen). Semuanya, termasuk Songkhla, dulunya pada abad 12 tergabung dalam Kerajaan Pattani Raya. Penduduk muslim Thailand lebih suka menyebut negeri mereka ini dengan Fathoni Darussalam. Dari rujukan legenda, asal nama Pattani dari kata “petani” dan satu lagi “pantai ini”.

Pada hari kedua selepas dari Darunsat, peserta PPPN VIII dibawa mengunjungi Kota Kuno Langkasuka. Kerajaan Melayu Kuno abad yang didirikan abad dua, di Yarang, 15 kilometer dari Pattani. Yang ada di kota tua ini cuma bekas situs candi, bersusunkan bata-bata merah berada di sebuah komplek di tengah hutan, serupa Muara Takus di Kampar Riau. Hanya, jalan raya semuanya bagus beraspal hotmix dan lebar, termasuk jalan menuju ke Langkasuka. Walaupun jalan-jalan ini tampaknya jarang dilewati kendaraan – malah banyak jalan sangat sepi, tetapi semuanya bagus, mulus dan lurus-lurus, tidak ada lubang tidak pula bergelombang. Jauh lebih elok daripada Lintas Timur Sumatera yang selalu banyak dilalui kenderaan dan selalu pula banyak lubang serta bergelombang.

Awalnya ingin dilangsungkan juga baca puisi di sini oleh Nik Rakib. Sebagaimana eloknya baca puisi di Candi Muyara Takus. Tetapi dengan pertimbangan waktu, akhirnya kendaraan beranjak pulang ke Narathiwat dan lewat Magrib berhenti di sebuah rumah makan yang cukup besar, di antara deretan rumah makan lainnya. Di sinilah, di rumah makan Nari Kerabu Janggut di Narathiwat, berlangsung kembali acara baca puisi. Lagi-lagi, cukup mengalir.

Maman S Mahayana yang duduk di meja sudut, yang sudah selesai makan, alih-alih spontan berdiri dengan lantangnya bersuara. “Saudara-saudara teman penyair Nusantara. Hari ini, bertepatan PPN VIII. Saudara kita Asrizal Nur berulang tahun. Marilah kita ucapkan selamat dan merayakannya. Dengan hadiah pembacaan puisi.” Lalu kritikus sastra Indonesia itu memanggil satu persatu tampil membacakan puisi. Tanpa alat pengeras suara. Memang lantang dan nyaring jadinya. Puisi telah membuat semuanya serasa semakin dekat dan erat.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook