DARI PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA VIII PATTANI

Berjumpa dengan Saudara Sehati

Seni Budaya | Minggu, 06 Desember 2015 - 08:30 WIB

Berjumpa dengan Saudara Sehati
Peserta PPN VIII di Prince of Songkhla University, Thailand Selatan.

Napak Tilas Pattani Raya

Selepas acara pembukaan hari pertama, para peserta dibawa menapak tilas Pattani Raya masa lampau. Menuju ke sebuah masjid tua berusia hampir 400 tahun. Namanya Wadi Al-Husein. Dibangun pada tahun 1044 Hijriyah atau 1624 Masehi. Sampai saat ini usia masjid tersebut sudah mencapai sekitar 393 tahun menurut perhitungan hijriyah atau 391 tahun perhitungan masehi.

Baca Juga :Mendikbudristek Apresiasi Pemprov Riau Lakukan Upaya Pelestarian Kebudayaan

Masjid yang unik di Desa Due Lok ini didirikanoleh tokoh ulama masa itu, Wan Husein. Seluruh bahan bangun terbuat dari kayu besi malabar. Tidak sebatang paku pun digunakan untuk penyambung atau perekat bangunan. Seluruh sambungan saling kait-kelindan. Terkunci padat antarsesama kayu. Hebatnya, tidak lapuk dihujan tidak lekang dipanas. Semakin bertambah usia, semakin direndam-radang hujan-panas, justru semakin membuat sambung kait-kelindannya semakin padu-padan.

Di sini para rombongan PPNVIII, yang ditemani Nik Rakib beserta beberapa dosen dan mahasiswa-mahasiswi Prince of Songkla University, selain melakukan shalat Asyar, diberi kesempatan seluas-luasnya “mendalami masa lalu” Pattani dengan peninggalannya yang sangat terjaga walaupun negeri ini terus-menerus dikecamuki dengan perang. Sekarang pun masih darurat militer. Sebagaimana di tempat-tempat lain, di Pattani Raya, di kawasan ini pun tampak ada militernya lengkap dengan senapannya.

Di sekitar Masjid Wadi Al-Husein tampak masih ada hutan belukar. Di samping masjid ada sungai kecil yang jernih. Tampak beberapa anak sedangkan berenang. Dulu sungai kecil ini digunakan tempat mengambil wudhu. Sekarang tempat sudah dibuat permanen, satu banguan di sii masjid .

“Terasa di kampung-kampung kita. Seperti suasana Kampar dan Rokan,” celetuk Samson Rambah Pasir, penyair Indonesia dari Batam, Kepulauan Riau.

Bedanya mungkin Desa Due Lok ini, sama seperti perkampungan tradisional lainnya di Thailand Selatan, selalu tampak tertib, rapi, dan bersih, jika dibandingkan desa-desa di Indonesia yang kadangp-kadang bangunannya selalu berserakan dan kumuh. Pasar-pasar tradisionalnya juga tampak sama saja. Cuma, lagi-lagi, mereka tidak berserakan. Selalu sedap dipandang.

Walaupun diatur mengalir dan santai, tetapi sesungguhnya jadwal cukup padat. Selepas dari Masjid Wadi Al-Husein sore itu, malam harinya di tengah hujan deras, di lapangan terbuka – kecuali tempat pemusik dengan penontonnya yang beratap – ada lagi acara bersama pemerintahan setempat di arena Aomanao Resort.

Selain sambutan dari kepala daerahnya dalam bahasa resmi Siam, yang diterjemahkan oleh Phaosan Jahwe ke dalam Bahasa Melayu baku, juga ada dua persembahan silat tradisional tempatan. Silat yang mirip-mirip dengan silat pangean di Riau, musik hidup tradisional. Dari pihak tamu, peserta PPN VIII cuma mempersembahkan puisi lagu rakyat dari Melayu Champa Vietnam, yang dipersembahkan Nik Mansour bersama Riou Eva. Pasangan Vietnam ini banyak kali diberikan kesempatan tampil, karena mereka agak berbeda dengan Melayu Nusantara lainnya.

Dalam kesempatan ini Mansour menjelaskan tentang Islam Melayu Champa di Vietnam. Islam di sana, menurutnya, ada sunni sebagaimana di Nusantara lainnya. Ada juga Islam Bani, serupa yang dianut Riuo Eva. Kitab sucinya ajaran Islam bercampur dengan ajaran Budha.  Pada bulan puasa Ramadan ada juga puasa. Tetapi imamnya saja. Makmumnya tidak.

“Jadi kalau bulan puasa imamnya paling sedap. Sebab para makmumnya yang memasak dan mengantar macam-macam makanan kepada imamnya yang puasa,” tambah Nik Rakib.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook