Di penghujung 2018, tepatnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Yayasan Hari Puisi Indonesia (HPI) mengumumkan buku puisi terbaik sepanjang tahun tersebut. Dan, buku tersebut adalah buku puisi berjudul Bunatin.
Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru
(RIAUPOS.CO) - ADA ratusan judul buku puisi yang masuk ke meja panitia HPI di Jakarta. Dari ratusan tersebut, dipilih satu buku terbaik dengan hadiah sebesar Rp50 juta. Panitia juga memilih lima buku pilihan lainnya dengan masing-masing buku memperoleh hadiah Rp10 juta. Anugerah buku puisi terbaik ini dilaksanakan Yayasan HPI sejak yayasan ini berdiri tahun 2012 dan diperingati pertama kali pada tahun 2013.
Selain memilih satu pemenang utama, dewan juri yang terdiri dari Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM dan Maman S Mahayana itu, juga memilih lima pemenang buku pilihan. Mereka adalah Damiri Mahmud (Halakah Panggang), Fakhunnas MA Jabbar (Air Mata Batu), Iman Budhi Santosa (Belajar Membaca Peta Buta), Sosiawan Leak (Sajak Hoax) dan Warih Wisatsana (Kota Kita).
Bunatin (Romantisme Mantra Puisi Talang Mamak) , merupakan karya penyair Riau, Dheni Kurnia yang juga merupakan Buya Panggung Toktan, Pekanbaru. Sebagai rasa syukur atas anugerah yang pertama kali diterima penyair Riau ini, Panggung Toktan menggelar hajatan, yakni bedah buku Bunatin serta pesta puisi. Kegiatan yang dilaksanakan di Panggung Toktan ini, Sabtu (26/1) ini dihadiri puluhan penyair. Ada dari Malaysia, Jakarta, Bekasi, Palembang, Sumbar, Medan, Kepulauan Riau dan tentunya penyair-penyair Riau.
Di bawah komando Ramon Damora, penyair Riau yang kini berdomisili di Batam, diskusi berlangsung hangat, ceria dan penuh keakraban. Apalagi tuan rumah, A Aris Abeba, Imam Panggung Toktan yang membuka dan menutup langsung acara tersebut. Maka, diskusi yang dilaksanakan di halaman terbuka Panggung Toktan tersebut, diwarnai senda gurau, kelakar dan canda tawa, tapi tetap serius dan khidmat.
Apa yang disampaikan dua pembicara, yakni Taufik Ikram Jamil alias TIJ sebagai pembedah dan Dr Junaidi sebagai pembanding, semakin membuat peserta diskusi penasaran dengan bunatin dan mantranya yang romantis. Tapi, TIJ dengan tegas menjelaskan, bahwa puisi tersebut bukanlah mantra atau jauh dari mantra yang dugunakan orang pintar pada umumnya atau tidak bisa digunakan sebagai mantra untuk tujuan tertentu.
‘’Puisi-puisi dalam Bunatin ini di luar mantra. Tidak bisa digunakan sebagai mantra. Bunatin adalah puisi, bukan mantra. Tapi 80 persen puisi dalam Bunatin bercerita tentang Talang Mamak dengan segala mantra-mantranya, bercerita tentang Bunatin, perempuan Talang Mamak,’’ beber TIJ.
Diskusi yang diawali dengan pengantar dari masing-masing nara sumber tersebut, dilanjutkan dengan tanya jawab. Antara sesi pertama dan kedua, diselingi pula dengan musikalisasi puisi dari Panggung Toktan dengan judul puisi Bunatin serta pembacaan puisi oleh Hanani. Dilanjutkan kemudian dengan makan siang bersama. Dheni sendiri hanya hadir, tanpa berbicara sediktpun tentang Bunatin.