Suatu malam Maria mendobrak pintu kamar saya dan berbisik-bisik bahwa di luar sana, dari sumur, keluar seekor siluman. Saya tidak percaya. Dia menarik saya dan menjerit-jerit. Ibu mati dibunuh anjing laknat, katanya. Saya ke kamar Ibu. Di sana Ibu sudah mati; kamar banjir darah dan lehernya koyak-moyak sebagaimana habis diterkam anjing. Mengambil senter, saya cari-cari anjing itu ke sekeliling rumah, tapi tak ketemu.
“Di mana anjingnya?” tanya saya pada Maria.
“Tidak tahu... Ngg... Tidak tahu.” Ia menggeleng gugup.
“Kamu yang benar dong! Di mana sih?!”
Maria tidak menjawab dan lari. Saya kejar dan saya guncang tubuh gendutnya. Dia bilang, “Kamu anjingnya! Kamu!” Saya jengkel dibilang anjing. Tetapi dia saudara saya. Saya tidak akan melukai. Maria bergidik dan mengusir saya dari kamarnya. Ia menjerit tak keruan sampai tembok kamar nyaris roboh ketika mendorong tubuh saya yang basah oleh keringat. Ia menarik kedua tangan cepat-cepat dan memandangi warna merah di telapaknya.
Saya baru sadar, tubuh saya bukan basah oleh keringat, tetapi darah. Maria terus berteriak, “Kamu anjingnya! Kamu!”
Saya ke dapur dan melihat gergaji itu berlumur darah. Saya minta maaf pada Maria dan memohon agar diizinkan membereskan otaknya. Dialah yang membunuh Ibu, bukan saya. Dialah anjing silumannya, bukan saya.
Dada saya mendadak sakit luar biasa. Ular berbisa dan anjing-anjing liar yang siap menerkam siapa saja di malam hari itu menyeruak entah dari mana. Mereka mengepung kami dari berbagai arah. Maria menutup kuping dan menangis sesenggukan. Saya ambil gergaji, tapi telat. Anjing-anjing lebih dulu merubung saya dan ular berbisa mematuk jidat Maria berkali-kali. Anak itu roboh. Tak lama, darah mengucur deras dari leher saya. Saat itu, saya dengar ibu berkata, “Jangan ganggu Maria! Bereskan dulu otaknya kalau kamu mau ajak main!”
***
Dia, masih dengan boneka babi di tangan kiri, terus menerus berbisik entah kepada siapa. Sementara antrean mengular, ia asyik berdialog tunggal. Tapi di sini, orang tidak peduli. Semua saling berbisik. Saya tidak tahu bagaimana kami kemari. Kepada orang di ujung antrean, ketika saya dan Maria sampai depan, di dekat dua buah pintu, saya bertanya: “Di mana, ya, Om?” Ia tak menjawab dan menuding pintu itu. Di sana tertulis: ‘Surga’ dan ‘Neraka’.***
Gempol, 3-12-15
Ken Hanggara, lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya tersebar di berbagai media lokal dan nasional.