OLEH KEN HANGGARA

Maria Pergi ke Neraka

Seni Budaya | Minggu, 10 Januari 2016 - 01:20 WIB

Mereka tidak percaya dan bilang saya juga gila, tetapi dari jenis lain. Kalau Maria gila dari jenis terang-terangan, tidak segan melukai, atau bahkan mungkin membunuh musuhnya—karena itulah tak ada yang sengaja bikin masalah dengannya—maka saya pengidap kegilaan dari jenis munafik.

Seorang teman tertawa mendengar teori serampangan itu; ia bertanya: “Gila dari jenis munafik itu yang gimana, sih?” Pengaju teori jawab: gila itu adalah gila yang bisa membunuhmu di saat tidur.

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Mereka tertawa dan mulai membahas kerangkeng untuk saya dan Maria. Mestinya sekolah tidak menerima kami di kelas yang dihuni anak-anak normal. Mestinya—begitu kata mereka lagi—saya dan Maria diletakkan di gudang sekolah yang kotor dan penuh tahi tikus, dan dipasung di sana sampai mati. Kalau kami yang mati, menurut salah satu temanku, tidak masalah. Toh juga gila. Mati tidak mati, sama-sama bikin repot.

Saya diam dan tidak membalas ucapan mereka. Tetapi, di dalam dada ini tumbuh ular berbisa, juga anjing-anjing liar yang menggeram dan siap menerkam siapa saja di malam hari. Hewan-hewan itu jahat dan dada saya mendadak penuh oleh rasa sakit.

Saya tidak tahu apakah benar hal-hal semacam ini juga gejala kegilaan. Tidak, saya tidak bicara pada Ibu karena takut melukai hatinya. Di rumah juga tidak ada orang lain selain Ibu dan Maria. Bapak kami mati beberapa bulan lalu, dengan cara yang sangat aneh: dibunuh siluman anjing. Kami—saya dan Ibu—tentu saja tidak berpikir sejauh itu. Tapi Maria sangat yakin dan berusaha membuat saya percaya juga bahwa Bapak mati di tangan siluman anjing.

“Anjing itu keluar dari sumur, kamu tahu? Sumur di belakang rumah kita. Di sana, di bawah sana, di dasar sumur yang gelap dan hitam, ada neraka jahanam. Kita jangan main dekat situ. Nanti kecebur dan masuk neraka!” kata si gila yang buat saya ketakutan setiap malam. Saya takut, sesuatu memang benar-benar keluar dari lubang sumur dan menerkam kami satu per satu: Ibu, Maria, dan saya!

Dan besoknya, kami sekeluarga ditemukan tewas. Tidak ada tangisan, karena di sini tidak ada simpati. Maria terlalu sering membuat kekacauan.

***

Saya membayangkan suatu hari Maria sembuh karena usaha saya mengoperasinya: membuat otak anak itu beres. Mungkin, dengan sebilah gergaji, saya lepas tempurung kepala anak itu, lalu saya ambil otaknya dan membawanya ke bengkel. Di gudang ada alat bertukang. Saya bisa mencari bagian-bagian yang putus di otak itu, semacam kabel atau entah apa, dan saya selotip itu, hingga Maria waras. Lalu dia mendatangi rumah tetangga kami satu-satu dan minta maaf dan tentu saja bilang, “Saya sudah waras!”

Dunia akan berbeda dan tidak ada lagi anjing-anjing setan.

Oh, ibu pasti senang mendengarnya!

Tapi setiap masuk kamar Maria dan melihat wajah tololnya menganga oleh mimpi yang entah apa—saya sering menduga anak itu bermimpi mermeluk anjing-anjing dari neraka—saya pikir Maria bisa mati akibat usaha saya. Kalau dia mati, saya tentu bisa ditangkap dan di penjara, karena saya waras. Ibu akan sedih dan jadi sebatang kara. Dan para tetangga bersorak, “Hore!”

Saya jadi bimbang dan sedih. Bimbang mengambil keputusan ini atau tidak. Sedih karena tahu hari-hari Maria tidak akan berbeda kalau saya tidak mengambil risiko: di rumah, di sekolah, di tempat umum, di mana-mana, ia bikin kacau dan malu. Saya dan Ibu yang menelan akibat, sedang si sinting itu tidak sadar; ia akan terus berbisik entah pada siapa dan terus menari dan bernyanyi dengan boneka babi di tangan. Ia akan begitu sampai kiamat, kalau dia tidak mati. Dan barangkali Maria akan selamanya begitu saat kelak, suatu hari nanti, ia mati dan pergi ke neraka.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook