Sastrawan Raudal Tanjung Banua yang dikenal sebagai penulis prosa perjalanan, datang ke Riau untuk dua acara yang diselenggarakan di Pekanbaru. Dia bercerita pengalamannya ketika singgah di banyak tempat dan ditulisnya dalam karya cerpen maupun laporan perjalanannya.
RIAUPOS.CO - CERITA pendek (cerpen) adalah karya fiksi/sastra genre prosa yang banyak ditulis dan diminati pembaca. Meski pendek –banyak orang mengistilahkan sebagai bacaan “sekali duduk”-- namun cerpen punya warna dan kekuatan tersendiri. Kekuatan itu bisa menggerakkan banyak orang untuk terus menulis, terus membaca, dan melakukan hal-hal yang dianggap penting dalam hidupnya.
Para prosais besar dunia yang juga menulis cerpenis seperti Ernest Hemingway, Anton Chekov, Leo Tolstoy, dan lainnya, menjadikan cerpen sebagai salah satu kekuatan karyanya yang meskipun sudah ditulis puluhan tahun lalu, tetapi tetap dibaca dan dibicarakan hingga hari ini. Di Indonesia, para prosais yang dikenal dalam menulis cerpen seperti Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram Jamil, Danarto, Eka Kurniawan, dan lainnya, memiliki kekuatan dan ciri masing-masing dalam karyanya yang membuat cerpen-cerpen mereka abadi dalam ingatan pembaca.
Raudal Tanjung Banua adalah salah seorang cerpenis yang memiliki kekuatan dan kekhasan. Banyak yang mengatakan seakan-akan Raudal hanya hidup untuk cerpen. Sepanjang karirnya sebagai seorang sastrawan di awal 1990-an ketika dia merantau dari kampungnya dan menjadi “murid” Umbu Landu Paranggi di Bali, Raudal tunak dalam dunia cerpen, baik sebagai penulis maupun aktivis. Dia salah seorang penggagas Kongres Cerpen Indonesia (KCI) yang diselenggarakan di berbagai kota seperti Bandarlampung, Pangkalpinang, Jambi, Tanjungpinang, hingga Ternate. Sayangnya, kegiatan ini belakangan sudah vakum. Selain itu, Raudal juga penggagas dan pendiri Jurnal Cerpen, sebuah penerbitan berkala yang menerbitkan cerpen dan berpusat di Yogyakarta. Sayangnya juga, Jurnal Cerpen sudah berhenti terbit. Persoalan dana, biaya cetak yang tinggi, pasar dan distribusi yang rendah, dan sulitnya mendapatkan naskah yang berkualitas menjadi faktornya. Jurnal Cerpen edisi terakhir terbit pada 2015, setelah edisi ke-14.
Pada Januari 2023 ini, Raudal datang ke Pekanbaru atas undangan kelompok jaringan kebudayaan dan hukum, yakni Global Mata Angin, UNI, dan ASN Law Office untuk berbicara tentang “Sastra dan Perjalanan”. Kegiatan ini berlangsung pada 17 Januari. Andiko Sutan Mancayo, seorang pengacara yang sangat menyukai sastra yang juga pemilik ASN Law Office, yang mengundangnya. Dalam kegiatan itu dia didampingi penyair dan aktivis Buddy Utamy bersama sastawan dan akademisi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning (Unilak), Pinto Anugrah. Setelah itu dia memberikan Kelas Menulis Kreatif di Suku Seni Riau.
Di depan peserta diskusi, Raudal menjelaskan tentang mengapa dia tertarik menulis karya-karya perjalanan. Dia mengaku sejak awal tahun 2000-an mulai menyukai travel writers, catatan perjalanan, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis. Tiap kali dia bepergian atau diundang ke sebuah acara di berbagai pulau dan provinsi di Indonesia, dia selalu menyempatkan menuliskan pengalaman berkeliling daerah terkait. Tulisan-tulisan tersebut banyak dimuat sebagai tulisan feature yang dimuat di Koran Tempo, Jawa Pos, dan media lainnya.
“Namun dalam perkembangannya, saya melihat genre travel writers ini berpotensi untuk dikembangkan dalam proses kreatif cerita pendek, bahkan juga novel, atau prosa secara umum. Bahasa sastrawi, detail setting atau latar, menjadi tantangan untuk dihidupkan. Sejak itulah cerpen seri ‘kota-kota kecil’ mulai saya tulis,” katanya kepada Riau Pos yang beberapa kali menjumpainya selama di Pekanbaru.
Paling tidak sudah terbit dua buku kumpulan cerpennya yang berkisah tentang perjalanan, yakni Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018) dan Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020). Keduanya diterbitkan oleh Penerbit AKAR Indonesia yang dikelolanya bersama istrinya, Nur Wahida Idris. Penerbit itu juga menjadi awal gagasan terbitnya Jurnal Cerpen yang juga digagas oleh cerpenis Joni Ariadinata.
Selain buku-buku tersebut, Raudal juga sudah menerbitkan beberapa kumpulan cerpen dan puisi seperti Gugusan Mata Ibu (2004), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Api Bawah Tanah (2007/puisi) dan banyak buku lainnya. Di awal hingga pertengahan tahun 2000-an, karya-karya Raudal memang banyak dimuat di berbagai koran arus utama di Indonesia seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Riau Pos, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, dan berbagai majalah yang memuat cerpen dan puisi. Ketika itu --hingga saat ini-- sepertinya tak ada media “bisa” menolak berbagai genre tulisannya.
***
RAUDAL mengakui, novel Kota-Kota Imajiner-nya Italo Calvino ikut mendorong dan memotivasi dirinya untuk menulis prosa perjalanan, khususnya yang berkaitan dengan latar kota. Hanya saja, kalau Italo Calvino kota-kota yang ditulisnya imajiner, dia menulis tentang kota-kota faktual dan realitas, meski unsur-unsur imajinatif dalam membayangkan kota tetap sangat membantu dan bernilai fungsional.
Setiap datang ke sebuah tempat, Raudal akan menyusuri hal-hal referensial dan berbaur dengan hal-hal yang tampak seperti bangunannya, pasar, pelabuhan, kedai kopi, dst. Intinya mencatat dan merasakan aura dan atmosfir sebuah kota. Itu juga yang dilakukan saat datang ke Riau. Dia sempat keliling Pekanbaru melihat dari dekat peninggalan-peninggalan bersejarah di kota ini seperti Pasar Bawah, Majid Raya Senapelan dan Rumah Singgah Tuan Kadhi yang dibangun semasa Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah (1766-1780), dan yang lainnya. Dia juga pergi ke komunitas Suku Talang Mamak di Indragiri Hilir selama beberapa hari.
Saat menuju Rengat, dia mengamati kota-kota yang dilewati di sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera mulai Pangkalankerinci, Sorek, Lirik, Air Molek, Pematang Reba, Belilas, dll. Menurutnya, kota-kota itu hidup seiring geliat ekonomi, otonomi, dan tradisi perantauan. Belilas misalnya, menggeliat hidup karena ada kawasan transmigrasi, Lirik karena minyak, Air Molek karena banyaknya perantau Minang dan Jawa. Termasuk Rengat sendiri yang memiliki sejarah panjang, mengingatkannya pada kepenyairan nasional; Sutardji Calzoum Bachri yang lahir kota itu, juga ayah Chairil Anwar yang bekerja dan tewas di Rengat.
“Tapi dalam era otonomi, Rengat malah menuai ironi. Pemekaran wilayah membuat perannya sebagai ibu kota wilayah Indragiri yang sangat luas, harus berbagi peran dengan Kota Telukkuantan dan Tembilahan sebagai kabupaten baru. Perannya surut. Pelabuhan dan jalur sungai tutup. Makin sempurna kesepiannya ketika pusat pemerintahan dipindahkan ke Pembatang Reba,” ujar lelaki kelahiran Lansano, Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Sumbar) ini.
Bagi Raudal, setiap berada di kota-kota yang disinggahinya, dia akan mengulik informasi sedetil mungkin. Itu bisa saja tentang sejarahnya, kehidupan orang-orangnya, budaya dan alkuturasi budaya yang terjadi, hal-hal yang unik yang tidak ada di kota lain, hal-hal mistik dan di luar nalar, dan yang lainnya, yang semuanya akan menjelaskan tentang denyut nadi kota tersebut. Itu semua menjadi bahan baku baginya dalam membangun sebuah cerita, baik nanti dalam bentuk feature maupun cerpen atau puisi.
Ada kota-kota kecil yang selalu terbayangkan olehnya, dan belum pernah dijumpai tapi terus-menerus mengisi kepala. Dan itu memberi kesan mendalam, seperti Kota Nopan, Rimbo Bujang, Bukateja, dll. Sebagian kota itu sudah dijumpainya, tapi kesan imajiner yang sudah lewat tidak hilang.
“Kota yang langsung saya jumpai dan berkesan seperti kota rawa Nagara Daha di Kalimantan Selatan, kota di atas rawa dan tempat pertemuan sungai penting. Ada juga Namlea, kota di Pulau Buru yang dihidupkan oleh Beb Vuyk dalam sebuah novelnya,” jelas lelaki yang banyak mendapatkan penghargaan sastra ini.
Khusus di Riau, Raudal masih penasaran dengan beberapa tempat atau kota kecil yang belum didatanginya. Misalnya, dia ingin menjelajah jalur rantau tradisional Minangkabau dari Kiliran Jao, Kuantan, Peranap, Batu Rijal, Baserah, dll. Termasuk kemungkinan jalur sungai. Di pesisir ada Bagansiapiapi yang sedianya mau didatangi tetapi urung. Tempat-tempat tersebut selalu ada dalam ingatan dan angannya yang suatu hari nanti ingin dia datangi
***
DI depan peserta Kelas Menulis Kreatif Suku Seni, Raudal memberikan pengalamannya sebagai salah seorang cerpenis yang masuk papan atas dunia sastra Indonesia, 20-22 Januari. Di Suku Seni, dia memberi pelatihan penulisan cerpen, sedangkan penyair asal Payakumbuh (Sumbar), Iyut Fitra, memberikan materi penulisan puisi.
Raudal menekankan kepada para peserta yang ikut dalam kegiatan tersebut, jika ingin menjadi cerpenis yang baik harus banyak membaca cerpen para penulis yang relatif berkualitas bagus, termasuk membaca alam dana persoalan-persoalan sekitarnya, terus berlatih, tak gampang menyerah, dan juga tak cepat puas. Menurutnya, di Riau banyak bahan yang bisa dijadikan sebagai cerpen karena persoalan kompleks yang ada di tanah Melayu ini.
“Selain rajin membaca, penulis juga rajin melakukan observasi. Dan itu tentu tak berada di satu tempat saja, artinya harus rajin melakukan perjalanan juga,” jelasnya.
Ketua Suku Seni yang juga satrawan Riau, Marhalim Zaini, mengaku beruntung Raudal bisa datang ke Riau dan ikut memberi pelatihan yang jadwalnya sama dengan kedatangan Iyut Fitra. “Jadi, peserta pelatihan, baik dari Suku Seni maupun peserta dari umum, beruntung bisa mendapat materi dari dua maestro cerpen dan puisi ini,” ujar Marhalim saat menutup pelatihan.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru