Terpaksa, kali ini, sayalah yang harus geser tempat duduk. Saya sudah suruh Maria geser, tetapi dia tidak mau. Dia, masih dengan boneka babi di tangan kiri, terus menerus berbisik entah kepada siapa. Sementara antrean mengular, ia asyik berdialog tunggal. “Wahai setan, hidupkan... Hidupkan anjing-anjing yang dulu mau mengejarnya!”
Saya, demi apa pun, tak merespon kegilaannya. Dari pertama kami bersama, saya tahu Maria sudah sinting dan suka berbisik sendiri; kadang kepada setan, kadang pula pada malaikat. Jika orang bertanya kenapa kamu tidak berbisik pada Tuhan, anak itu jawab: Tuhan tidak ada.
Ibu berkali-kali bilang, “Jangan ganggu Maria! Bereskan dulu otaknya kalau kamu mau ajak main!”
Saya berpikir soal robot mainan yang tidak mungkin bisa dibereskan. Saya pernah dibelikan robot oleh Bapak di hari ulang tahun kesembilan setahun lalu, dan itu rusak di tangan Maria. Saya sudah peringatkan dia bahwa itu punya saya. Saya lelaki, maka saya main robot. Dan kamu, Maria, kamu perempuan, maka kamu main boneka. Tapi dia tak mau dan melawan. Dia rebut mainan robot-robotan saya dan membantingnya sehingga rusak.
Ibu putuskan, otak anak ini rusak, paham? Saya mengangguk. Tapi saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membayangkan, suatu hari nanti, saat Maria sedang tidur, saya diam-diam masuk kamar dan membawa gergaji. Saya gergaji tempurung kepalanya, lalu saya perbaiki otak Maria. Siapa tahu ia tidak lebih rumit dari sebuah robot.
Niat itu memang sesekali muncul dan menganggu tidur saya. Sampai mimpi buruk beberapa kali menyambangi berupa genangan darah di kamar Maria dan tempurung kepala itu kambang persis perahu di tengah danau keramat. Saat bangun, saya kira saya memang harus melakukannya. Saya bayangkan Maria benar-benar sembuh dengan cara ini. Saya tidak tahu cara apa lagi yang bisa dilakukan demi membereskan otaknya yang rusak.
Maria sungguh kacau dan membikin repot banyak orang. Di rumah, tidak ada yang mau berteman dengannya selain saya. Melihat Maria, bahkan anjing-anjing peliharaan Om Rudolf, tetangga kami, tidak sudi dekat-dekat. Mereka semua tertunduk-tunduk dan lari ke tempat jauh. Saya tahu anjing-anjing itu lumayan galak kepada saya dulunya; pernah saya dikejar sampai beberapa ratus meter. Maria yang bodoh dan tolol mencoba melindungi saya dari mereka.
Katanya, “Anjing-anjing neraka, pergilah!”
Dia ambil berbongkah batu dan menyikat empat anjing itu. Satu di antaranya mati dan lainnya menyerang. Tak kalah gesit, Maria buru-buru mengambil pisau di saku dan melempar persis ke jidat satu ekor anjing, yang kemudian kejang-kejang dan ikut mati. Dua anjing tersisa, sejak itu, entah kenapa, seperti dirasuki roh pengecut bila melihat saudaraku yang gila lewat. Tetapi itu harus dibayar dengan rusaknya relasi antara Ibu dan Om Rudolf. Padahal, kami serumah tahu, kepada lelaki itulah kadang Ibu berutang beras.