DARI KAMPUNG MERAMBAH SASTRA NASIONAL

Dua Penulis Riau Terbitkan Kumpulan Cerpen

Seni Budaya | Minggu, 27 November 2022 - 11:28 WIB

Dua Penulis Riau Terbitkan Kumpulan Cerpen
Dua buku kumpulan cerpen karya dua cerpenis Riau, Jeli Manalu dan Romi Afriadi, yang kini sudah ada di pasaran. (HARY B KORIUN/RIAU POS)

Dua penulis yang tinggal jauh dari kebisingan kota besar seperti Pekanbaru, Jeli Manalu (Inhu) dan Romi Afriadi (Kampar), menerbitkan kumpulan cerpen dalam waktu bersamaan.  Penerbitnya pun tidak dari Riau. Membangun eksistensi sastra bisa dari manapun.


RIAUPOS.CO - DUNIA penulisan cerpen Riau terus menggeliat. Upaya para cerpenis Riau untuk terus mengaktualisasikan dirinya dalam membangun eksistensi, terus dilakukan. Beberapa dari mereka terus berjuang menembus belantara cerpen (sastra) Indonesia dengan mengirimkan karyanya ke media-media nasional. Juga mengikut lomba-lomba yang diadakan berbagai lembaga tingkat nasional.


Banyak cerpenis muda bermunculan. Mereka yang masih “bermain” di seputaran media di Riau atau yang sudah berhasil menembus media nasional, baik media yang belum dikenal maupun media arus utama (mainstream). Beberapa nama dari mereka –anak-anak muda dari segi umur atau lama berkarya— misalnya MZ Billal, Joni Hendri, M Arief Husein, Romi Afriadi, Jeli Manalu, Windi Syahrian, dan beberapa nama lainnya (sekadar menyebut nama).

Dengan nama-nama “baru” seperti mereka, Riau yang dikenal memiliki sejarah yang panjang dalam dunia cerpen modern sejak M Kasim dan Soeman Hs ini, nampaknya akan terus eksis. Dalam dunia cerpen, Riau juga punya nama-nama yang diperhitungkan secara nasional sejak lama. Misalnya Fakhrunnas MA Jabar, BM Syamsudin, Taufik Ikram Jamil, Ediruslan PE Amanriza, Abel Tasman, Olyrinson, Marhalim Zaini, Musa Ismail, M Badri, Pandapotan MT Siallagan (kini pindah ke Sumatra Utara), hingga ke generasi Cikie Wahab, Ahmad Ijazi Hasbullah, dan yang lainnya.

Yang menarik, beberapa nama muda itu proses berkaryanya tidak di Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi, tetapi di beberapa daerah. Billal –yang sedang mempersiapkan kumpulan cerpen Sebuah Tempat di Tepi Lelap-- dan Jeli Manalu, misalnya, berasal dari Indragiri Hulu (Inhu), dan Romi Afriadi malah tinggal di sebuah desa yang lumayan jauh dari ibu kota Kabupaten Kampar, yakni Desa Tanjung, Kecamatan XIII Koto Kampar. Tapi yang menarik, mereka tetap bisa “berbicara” lewat cerpen-cerpen mereka secara nasional dan bisa bergaul dengan para sastrawan nasional dengan baik. Teknologi informasi berbasis internet memungkinan pertemanan di media sosial terjadi.

Mereka juga belajar menulis cerpen dari banyak pengarang yang sudah mapan lewat grup-grup menulis daring atau di media sosial. Pola ini nampaknya lumayan baik karena selain belajar secara teknis menulis cerpen, mereka juga diajari cara disiplin menggunakan bahasa: mulai dari pilihan kata, kalimat, hingga paragraf, dan penggunaan ejaan yang benar. Pemahaman dasar inilah yang kemudian dikembangkan mereka sendiri dengan belajar lanjutan secara otodidak, termasuk membaca karya-karya penulis yang sudah mapan. Romi, Windi, dan yang lainnya mengakui itu.

Jeli Manalu
Jeli Manalu saat berkunjung ke Komunitas Suku Seni di Pekanbaru. (ISTIMEWA)

“Pengalaman saya, ikut grup dan kelas-kelas menulis itu adalah pintu untuk masuk, belajar dasarnya. Setelah itu saya yang mengembangkan sendiri dengan membaca karya-karya penulis yang sudah mapan dan bagus,” jelas Windi dalam sebuah percakapan.

Jeli dan Romi, yang hampir bersamaan merilis buku kumpulan cerpennya pada akhir 2022 ini, punya pengalaman masing-masing dalam menekuni dunia menulis cerpen ini. Bagi Jeli, Kucing Penunggu Susteran adalah buku kumpulan cerpen keduanya setelah Kisah Sedih Sepasang Sepatu. Sedang Romi, buku Darah Pembangkang adalah kumpulan cerpen perdananya.

***

JELI Manalu menjadikan dunia menulis cerpen untuk senang-senang dan hiburan. Dia melakukannya tidak ada ekspektasi lebih untuk dianggap sastrawan  atau ini-itu. Tetapi dia tetap serius belajar. Baik dari cerpen-cerpen berkualitas yang dia baca, tetap ikut grup-grup menulis, juga mempelajari pola media yang akan dikirimi karyanya. Dia percaya, setiap karya punya jodohnya masing-masing.

Jalan berliku ditempuhnya dalam persiapan penerbitan buku kumpulan cerpen keduanya ini.  Sekitar Maret 2020, dia hampir menerbitkan buku kumpulan cerpen kedua  yang terdiri dari 15 cerpen: ISBN sudah ada, kover juga sudah siap. Waktu itu membuat judul Semangkuk Sup Bayam untuk Tuhan. Cerpen yang dipakai untuk judul buku itu sebelumnya tayang di Majalah Majas. Namun, dikarenakan pandemi Covid-19, buku ini gagal terbit.

Tahun 2021 dia kembali menyusunnya dengan menambahkan 5 cerpen terbaru sehingga genap 20, dengan judul buku terbaru Kucing Penunggu Susteran karena judul Semangkuk Sup Bayam untuk Tuhan  tidak bisa dipakai lagi dengan beberapa alasan. Dia kemudian mengirimnya ke sebuah penerbit dan ditolak, lalu kirim lagi ke penerbit lain ternyata setelah menunggu lama dia baru tahu penerbit tersebut sedang non-aktif. Tak patah semangat, di kirimlagi ke dua penerbit lain, dan ditolak lagi. Hingga September 2022, dia mengirimkannya ke Penerbit Lovrinz di Cirebon. Hanya menunggu sebulan lebih buku ini akhirnya selesai dicetak. Semuanya dikerjakan oleh penerbit. Syarat dari penerbit pun tidak berat untuk menerbitkan bukunya. Dia hanya membeli buku dari penerbit untuk kemudian dijual sendiri.

“Jika dihitung persiapan dari awal, memerlukan waktu sekitar 4 tahun hingga buku ini terbit,” katanya kepada Riau Pos, Kamis (24/11/2022).

Dari 20 cerpen yang ada dalam buku itu, 19 di antaranya pernah dimuat di media massa, cetak dan online. Hanya satu yang diunggah  di Facebook, yakni cerpen “Kota Ini Tetap Saja Dingin”. Tema cerpen-cerpen itu beragam. Ada yang tentang keluarga, kehidupan sosial, pencarian akan Tuhan dengan perspektif baru, cinta, juga kehidupan masa depan.

Jeli merasakan keras dan sulitnya bertarung menembus media massa. Dia bahkan sering patah hati. Namun hal itu tak pernah membuatnya berhenti mencoba dan terus belajar.  Untuk terbit di sata media, dia harus mempelajari tema yang diminati si media. Mempelajari penulis mana saja yang terbit di sana. Karena dengan mengetahui hal itu, menurutnya, dia bisa mengerti gaya atau ide-ide cerita seperti apa yang kemungkinan akan dilirik redaktur.

Sebagai ibu rumah tangga yang tak bekerja di kantor atau pekerjaan lain, Jeli punya banyak waktu untuk menulis, sambil menjaga toko kelontongnya. Dia berusaha menjaga api menulisnya agar tidak paham dengan berbekal cinta. Mencintai dunia menulis cerpen ini. Dengan rasa cinta itu, kata wanita 39 tahun ini, akan selalu muncul energi untuk terus menulis.
“Kamu akan selalu punya energi melakukan apa saja yang kamu cintai,” katanya berfilsafat.

Menurut Jeli, dia menulis bukan karena ingin disebut sebagai sastrawan, baik sastrawan Riau maupun sastrawan Indonesia. Hingga kini dia hanya berusaha fokus untuk meningkatkan kualitas tulisannya. Di dalam buku kumpulan ini, juga tak ada cerpen yang secara spesifik mengangkat tema tentang lokalitas Riau. Menurut dia, tema lokalitas itu menarik, tetapi dia masih harus banyak memahami tema tersebut. Untuk itu, dia sedang menyiapkan sebuah novel yang setting-nya di Rengat, Inhu. Draf novel tesebut sedang dikerjakan dan hampir rampung.

Jeli sadar, dunia menulis tidak selalu indah seperti perjalanan pengarang Harry Potter, JK Rowling, yang menjadi salah satu wanita terkaya di Inggris hanya dari royalti buku dan filmnya. Ribuan bahkan jutaan penulis harus bekerja keras dan berdarah-darah dalam memperjuangkan bukunya agar mendapatkan “penghargaan” dari masyarakat alias dibeli. Hingga kini, buku keduanya ini masih belum memuaskan di pasaran. Selama ini, selain penerbit, promosi hanya dilakukannya sendiri, di media sosial maupun dari teman ke teman. Terkadang teman-temannya juga sekadar mengucapkan selamat.

“Mungkin karena faktor ekonomi, ya? Namun menurut saya, paling utama dikarenakan minat baca masyarakat kita jauh sangat kecil ketimbang negara-negara lain,” kata perempuan dua anak ini.

Jeli belajar menulis dari nol. Pertama kali pada akhir 2013. Dia mengaku memang agak terlambat. Dia belajar menulis bukan dari tradisi membaca. Masa itu masih sebatas baca dua tiga buku, namun majalah dan tabloid lebih sering. Tahun 2014 dia mulai ikut belajar menulis gratis dan berbayar di Facebook. Jeli juga membaca dan mempelajari cerpen-cerpen penulis dari internet. Di samping itu dia mengaku mulai rajin beli buku hingga saat ini punya perpustakaan pribadi. Satu-dua cerpen hasil belajar dijadikam antologi bersama teman-teman. Tahun 2016 cerpen pertama dia terbit di koran. Tahun 2018 sudah menerbitkan kumpulan Kisah Sedih Sepasang Sepatu, juga menjadi peserta di Festival SaPa di Jakarta. Tahun 2019 menjadi peserta di Festival Literasi Yogyakarta.

Hingga kini, cerpen-cerpen sudah dimuat di berbagai media, yakni di Media Indonesia, Sumut Pos, Analisa, Lombok Pos, Padang Ekspres, Haluan, Banjarmasin Pos, Rakyat Sultra, Suara NTB, Medan Bisnis, Majalah Litera, Majalah Utusan, Majalah Majas, Majalah Simalaba, Bacapetra, Detik.com, Cendawa News, Jurnal Ruang, Apajake.id, Ideide.id, Sastra Media, Margrib.id, Nusantara News, Buletin Sastra Pawon, dll.

***

DI sebuah kedai kopi tak jauh dari perbatasan Pekanbaru-Kampar, Romi Afriadi berbincang dengan salah seorang penulis lainnya, Windi Syahrian, pada Sabtu (19/11/2022). Untuk sampai Pekanbaru, dia harus melakukan perjalanan 4-5 jam dari kampung halamannya di Kampar. Dia datang di akhir pekan itu untuk menjumpai beberapa temannya, juga beberpa pemesan bukunya yang ingin bertemu penulisnya secara langsung.

Romi tidak tinggal di kota besar seperti Pekanbaru, atau ibu kota Kabupaten Kampar, Bangkinang. Dia tinggal jauh di sebuah desa di Kecamatan XIII Koto Kampar, yakni Desa Tanjung. Bisa memakan 2-3 jam lagi dari Bangkinang. Namun dia pernah tinggal di Pekanbaru saat kuliah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri  (UIN) Sultan Syarif Kasim (2010-2016). Setelah lulus, dia memilih pulang ke kampungnya, menjadi guru MTs Rahmatul Hidayah sambil melatih anak-anak bermain sepakbola di SSB Putra Tanjung.

Romi Afriadi
Romi Afriadi berfoto dengan buku kumpulan cerpennya, sa­at bertemu dengan beberapa pembeli bukunya di Pekanbaru.

Romi mengaku memutuskan untuk fokus belajar menulis dengan serius sejak akhir tahun 2019. Masih sangat baru. Sepanjang tahun 2020, semangat menulisnya cukup terjaga, dan sejauh ini jadi masa paling produktif dalam sejarah kepengarangannya yang dianggapnya baru seumur jagung tersebut. Romi menulis berawal dari kegelisahan karena bingung hendak menyampaikan gagasan, ide, atau suara lewat apa.

“Saya bukan pejabat atau tokoh terkenal, bukan anak orang kaya yang omongannya dengan mudah didengar orang banyak. Maka, saya memilih jalur menulis untuk menyampaikan itu semua. Faktor suka membaca juga mendorong saya untuk menulis. Membaca dan menulis tentu saja dua pekerjaan yang beriringan. Semakin banyak membaca, semakin banyak kemungkinan untuk menulis. Dua pekerjaan yang jika dikomparasikan akan bermakna mengisi dan menuang. Dalam riwayat yang masih pendek ini, saya masih ingin bergelisah dengan tulisan dalam waktu yang lama,” ujar Romi kepada Riau Pos.

Salah satu alasan mengapa cepat membukukan cerpen-cerpennya  itu adalah agar tak tercecer dari ingatan. Cerpen-cerpen tersebut hampir semuanya pernah dimuat di media. Ada 16 dari 18 cerpen yang telah dimuat di media, baik media online maupun cetak. Dua cerpen yang belum pernah dimuat adalah “Di Sini, Semut-Semut pun Tak mengenal Agama”, dan “Perempuan Korek Api”. Dua cerpen itu pernah dikirim ke beberapa media, tapi tak kunjung mendapatkan tempat. Menurutnya, itu bisa jadi karena dua hal: belum layak, atau tema cerpennya yang terlalu kontroversial.

Cerpen-cerpen yang dibukukan dalam Darah Pembangkang ini terentang dalam masa penulisan antara 2020-2022, sekitar dua tahun. Keinginan menerbitkan muncul pertama kali pada awal tahun 2021. Saat itu dia mulai cari-cari penerbit yang kiranya cocok dan mau. Akhirnya dia bertemu dengan Penerbit Interlude. Bersama Cak Kandar selaku pengelola Interlude, dia membincangkannya berbulan-bulan. Keinginan terbit lebih cepat sempat tertunda beberapa kali. Karena pandemi  Corona melanda, dan juga momentum yang belum pas. Hingga akhirnya awal November ini rampung dicetak dan diedarkan.
Romi mengaku, bertarung menembus media selalu mengembirakan, meski pada kenyatannya dia lebih sering tersisih. Menurut pengakuannya, dia bukan penulis yang mendewakan cerpen-cerpen yang bertebaran di media, namun mengirim ke media bermakna baik untuk mengukur kemampuan menulis seseorang.

“Bayangkan saja, berapa tulisan yang masuk ke email redaksi tiap pekan, lalu pada pekan tertentu nama kita terpampang menyisihkan banyak nama lain. Tampil di media, bagi saya sebagai pelecut semangat untuk kian giat menulis,” ujar Romi lagi.
Dalam buku ini, hampir semua cerpennya memiliki benang merah kisah tentang pembangkangan atau perlawanan. Itu pula yang mendasari dia mengapa memilih judul Darah Pembangkang. Tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam buku ini merupakan orang-orang yang memberontak karena patah hati melihat ketidakadilan dunia yang mereka hadapi. Entah itu tersebab cinta, pendidikan, adat, keluarga, maupun agama.

Bagi Romi, buku perdana ini adalah tanda sebagai masa awal belajar menulis. Buku ini punya arti besar bagi perjalanan kepengarangannya. Pada masa depan, di ingin terus menulis lebih banyak.

“Saya tak ingin berhenti di titik yang telah saya mulai hari ini.”

Romi mengaku, jika ada kritikus atau orang mengatakan bahwa karyanya tidak penting, menurutnya tak masalah. Tugas seorang kritikus memang begitu. Itu juga akan membuat dia ingin menulis lebih baik ke depannya, dan membuat kritikus itu meralat pernyataannya.

“Tapi ngomong-ngomong, apa ada kritikus sastra di Riau saat ini?” ujarnya sambil tertawa.
Romi juga tak peduli jika dia tak dianggap ada dalam peta sastra di Riau. Sebagai penulis pemula, Romi sadar diri. Dia ingin buktikan dengan karya, dengan begitu, komunitas sastra di Riau akan membicarakan namanya dengan sendirinya suatu saat kelak. Beberapa cerpen yang ditulisnya dan ada dalam buku ini bercerita tentang lokalitas Riau, terutama di Kampar yang merupakan tanah kelahirannya. Itu bisa dilihat pada cerpen-cerpen “Darah Pembangkang”, “Batu-Batu Lapar”, dan “Tumbal Batu”. Ketiganya sedikit banyak terpengaruh oleh kejadian yang terjadi di kampung, Desa Tanjung.

Sebagai orang yang selama ini ikut memasarkan buku-buku sastra lewat media sosial,  dia sadar menjual buku di negeri ini memang susahnya minta ampun, apalagi buku sastra yang memang cuma punya sedikit pasar. Hingga kini, penjualan buku kumpulan cerpennya ini juga masih belum memuaskan. Masih sedikit, baik dari sisi penjualan maupun perbincangan. Namun dia cukup senang mendapati tanggapan dari orang yang tidak diduga, orang yang sebelumnya tidak dia kenal. “Entah faktor apa yang membuat mereka untuk ikut memesan, yang jelas, hal semacam ini membuat saya ingin terus menulis. Saya yakin, sebuah buku pasti punya takdir sendiri,” katanya me­ngakhiri.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook