MENGEMBARA BERSAMA RIAU RHYTHM

Budaya Melayu dan Pengembaraan

Seni Budaya | Minggu, 07 April 2019 - 10:20 WIB

 Budaya Melayu dan Pengembaraan

Dalam workshop itu, Rino Dezapati (direktur sekaligus komposer Riau Rhythm) menjelaskan bahwa karya-karya mereka merupakan musik baru yang disusun berdasarkan musik tradisional Melayu Riau. Ritme, bentuk, dan interval melodinya sebagian besar bersumber dari tradisi Melayu. Pemilihan alat-alat musiknya sendiri didasarkan atas latar musikal para pemusik yang di antaranya pemusik orkestra, tradisional, populer, dan etnomusikolog. Diakui oleh Rino, menggabungkan anasir-anasir musik klasik Eropa, tradisi, dan popular merupakan tantangan tersendiri.

Menutup workshop, Rino menjelaskan mengenai aspek vokal repertoar Riau Rhythm yang mengeksplorasi tradisi lisan di Riau, seperti mantra dan kisahan lisan. Lalu mereka menampilkan dua karya sebagai contoh penciptaan berdasarkan tradisi lisan tersebut, yaitu “Svara Jiva” dan “Sound of Svarnadvipa”.

Baca Juga :Lembaga Adat Melayu Riau Provinsi Kembali Tebarkan Kegiatan di Kabupaten

Pada akhirnya, lawatan ini merupakan rintisan penting pengenalan budaya Melayu pada publik luar negara. Walaupun tidak membawakan musik tradisi, tetapi repertoar-repertoar Riau Rhythm telah menghidangkan kepingan-kepingan budaya dan tradisi Melayu Riau itu sendiri.

Portugis dalam Ingatan Komunal Melayu Riau

Di petabumi Provinsi Riau ini, pernah berdiri sejumlah kerajaan dan atau pusat-pusat kekuasaan yang berpengaruh; mulai dari era Hindu-Budha (seperti Kerajaan Kandis, Muara Takus, Pekaitan di Rokan, dll.), sampai kepada kerajaan-kerajaan era Islam yang semula merupakan konfederasi Kerajaan Melaka (kemudian Johor), seperti Inderagiri, Gunung Sahilan, Tambusai, Siak, dan lain-lain.

Ingatan mengenai kerajaan-kerajaan ini berjalin dengan ingatan tentang kedatangan bangsa asing, baik sebagai pedagang maupun penjajah. Portugis adalah satu di antaranya. Mereka menaklukkan Kerajaan Melaka pada 1511, dan bertahan sebagai penguasa di kawasan Selat Melaka hingga dikalahkan oleh Belanda pada 1641. Sejak kekalahan itu, Portugis dapat dikatakan hilang dalam sejarah Melayu di kawasan ini. Namun, ternyata jejak-jejak keberadaannya masih tertinggal dalam lipatan ingatan komunal Melayu Riau. Di antara jejak-jejak itu adalah sebagai berikut.

Kata ‘Riau’. Dalam kisahan lisan Melayu, kata ini sering dikaitkan dengan kata ‘rio’ (Bahasa Portugis) yang bermakna sungai. Tafsir ini dikaitkan dengan episode setelah Portugis menaklukkan Melaka pada 1511. Sultan Mahmud Syah Melaka kemudian berundur ke Bintan dan menyusun sisa-sisa kekuatan dan membangun benteng pertahanan. Dalam periode ini, konon armada Portugis datang mengejar Sultan Mahmud dengan menyusuri Sungai Carang di Bintan, yang disebutnya sebagai ‘rio’. Dikatakan, sejak itu Sungai Carang juga dikenal sebagai Sungai Riau. Namun, ada juga cerita lisan lain yang mengatakan kata ‘riau’ untuk tempat itu dipopularkan oleh orang-orang Bugis pada akhir abad ke-18, yaitu dari kata ‘riuh’ ((lihat Vivianne Wee, 1985), yakni menggambarkan kesibukan dan keramaian aktivitas perdagangan yang ramai.

Sultan Mahmud Marhum Kampar yang makamnya di Pelalawan menjadi artefak peninggalan sejarah yang membawa kita ke pintu ingatan tentang kisah-kisah Portugis dan penaklukan Melaka.

Makam Narasinga II di Inderagiri. Dikisahkan bahwa Raja Narasinga II melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka. Suatu kali, Raja Narasinga II berhasil menawan salah seorang panglima perang Portugis, Jenderal  Verdicho Marloce (pengejaan Melayu untuk nama Portugis yang kemungkinan adalah Frederico). Panglima perang Portugis ini kemudian menjadi pembantu raja. Setelah keduanya wafat, mereka dimakamkan berdampingan; makam Raja Narasinga II yang beragama Islam bercorak Islam, sedangkan makam Jenderal Verdicho Marloche bercorak Nasrani (agama yang dianutnya hingga wafat).

Ekspedisi Magellan yang menjadi bagian penting dalam ingatan Melayu karena dalam ekspedisinya mengelilingi dunia, ia didampingi oleh seorang Melayu –orang Melaka dari Sumatera– sebagai navigator, bernama Panglima Awang (yang juga disebut dengan nama Enrique atau Henry). Pada 1521, ekspedisi sampai di di Kerajaan Mactan (kini: kota Lapu-lapu) Filipina; Magellan ditawan dan terbunuh. Setelah kematian Magellan, Antonio Pigafetta (seorang ilmuan asal Venesia Italia yang ikut serta dan mencatat laporan perjalanan ekspedisi ini) masih menyebut tentang keberadaan Enrique yang bersama 18 orang yang selamat kembali sampai Spanyol. Bagaimanapun, Enrique atau Panglima Awang, merupakan salah satu jejak Portugis yang memberikan kebanggaan tersendiri, bahwa dalam ekspedisi pertama mengelilingi dunia itu navigatornya adalah orang Melayu. Selain itu juga terkait dengan pengetahuan tentang laut dan navigasi—yang secara kultural ditempa dan dipupuk oleh lingkungan—membawanya sebagai sosok unggul dalam ekspedisi penting pada masa itu.

Kata-kata pinjaman dari bahasa Portugis. Dalam buku Loan-words in Indonesian and Malay yang ditulis oleh Russel Jones (2008), terdapat banyak kata-kata dari bahasa Portugis yang mungkin sudah dianggap sebagai kata-kata asli (milik kita), di antaranya yaitu: bangku: banco; butang (kancing baju): buto; gancu: gancho; gardu: guarda; garpu: garfo; gubernur: governador; gudang: gudo; jendela: janella; kereta: carreta; limau: limo; meja: mesa; meski(pun): mas que; nenas: ananas; pelor, peluru: pellouro; pena: pena; pepaya: papaya; pita: fita; renda: renda; sabun: sabo; sekolah: escola; sepatu: sapato; serdadu: soldadu; setinggar: espingarda; dll.Ajo Potuka(l). Sejumlah epik lisan masyarakat Melayu Riau di sekitar Sungai Rokan dan Sungai Kampar menyebut ada tokoh cerita bernama Ajo Potuka(l). Dalam kisahan-kisahan tersebut, tokoh ini adalah sekutu antagonis yang berusaha menghalangi protagonis yang sedang mengembara di lautan untuk merebut kembali bakal jodohnya yang ditawan oleh antagonis.***

Reporter: FEDLI AZIS

Editor: Rindra Yasin









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook