MENGEMBARA BERSAMA RIAU RHYTHM

Budaya Melayu dan Pengembaraan

Seni Budaya | Minggu, 07 April 2019 - 10:20 WIB

 Budaya Melayu dan Pengembaraan

Para pembicara menekankan bahwa lebih dari hasrat kekuasaan dan kejayaan, pengembaraan manusia untuk menemukan wilayah baru juga dirangsang oleh rasa penasaran untuk mengungkap yang belum diketahui. Misalnya, dalam penjelajahan Magellan, seorang anak Melayu, Panglima Awang, adalah sosok utama karena berperan sebagai navigator dalam keberhasilan ekspedisi mengelilingi dunia tersebut. Dialog ini membangkitkan ingatan kolektif tentang Panglima Awang, nama tokoh dalam novel karya Harun Aminurrashid (1963) berjudul sama. Tokoh ini diilhami dari tokoh Enrique (Enrique de Malacca, Enrique dari Melaka) dalam catatan Pigafetta (1874) tentang ekspedisi Magellan mengelilingi dunia. Enrique disebut sebagai navigator Magellan dan tokoh yang membuat Raja Spanyol yakin untuk menyokong penuh ekspedisi Magellan. Keyakinan ini dilandasi oleh pengetahuan Enrique tentang navigasi di Nusantara dan kemampuannya sebagai penerjemah.

Awang Menunggang

Baca Juga :Lembaga Adat Melayu Riau Provinsi Kembali Tebarkan Kegiatan di Kabupaten

Gelombang: Riau Rhythm dan Pengembaraan     

Konser Riau Rhythm sempena lawatan itu juga diadakan di Academia Almadense (Akademi Seni Almada), pada malam harinya (setelah dialog). Konser malam itu berturut-turut menghidangkan repertoar “Bono – Pencalang”, “Puti Indira Dunia”, “Svara Jiva”, “Awang Menunggang Gelombang”, “Pantun Atui”, “Lukah Gile”, “The Sound of Svarnadvipa”, dan “Dentang Denting Dentum”. Repertoar “Awang Menunggang Gelombang” adalah karya baru yang pertama kali ditampilkan di dalam konser itu. Repertoar ini merupakan eksplorasi kreatif Riau Rhythm atas kisah-kisah tertulis dan lisan tentang seorang pendekar dan pengembara Melayu bernama Panglima Awang, yang kemudian menjadi navigator penjelajahan Magellan.

Riau Rhythm adalah kelompok musik yang lahir dan betah ‘berumah’ di persebatian tanah-air Melayu Riau; ‘rumah berlaman luas’ dengan lanskap kultural aneka ekspresi, baik yang warisan maupun yang baru. Di laman luas itulah Riau Rhythm mengembara: merenangi dan menyelami gejala-gejala, bukan hanya tradisi musikal, tapi juga bidang luas ingatan komunal melalui tradisi lisan yang hidup dalam ekspresi-ekspresi kolektif Melayu Riau. Pengembaraan ke ruang ingatan komunal itu misalnya secara eksplisit terlihat pada karya-karya berjudul “Bono – Pencalang”, “Puti Indera Dunia”, “Pantun Atui”, dan “Lukah Gile”, yang seluruhnya bersumber dari tradisi lisan Melayu Riau.

Sebagaimana halnya tradisi musikal, ingatan komunal yang direkam oleh tradisi lisan Melayu Riau bagi Riau Rhythm adalah ‘ruang jelajah’ yang menghasilkan ‘data’ untuk dibawa memasuki proses interpretasi dan re-interpretasi. Di titik ini, bekal ilmu dan pengalaman musikal mereka bekerja. Maka, watak penciptaan modern yang dimulai sewaktu ‘menjelajahi ruang ingatan komunal itu’ kemudian menjadi lebih ketara lagi pada proses interpretasi dengan segala sifat subyektif-individualnya. Demikianlah, ketika dihidangkan di panggung, hasilnya bukanlah bentuk-bentuk salinan, pengulangan, ataupun modifikasi dari ekspresi-ekspresi komunal yang sudah ada.

Kisah-kisah lisan tentang kedurhakaan di balik fenomena bono Sungai Kampar dibawa masuk ke dalam bunyi-bunyi musikal, baik yang muncul dari instrumen maupun dari vokal penyanyi. Kata-kata yang didendangkan penyanyi tidak digunakan sebagai ‘alat berkisah’ atau kendaraan verbal untuk mengantarkan pesan dan pengertian, tetapi seperti mantra yang didendangkan, mewujud menjadi bagian dari keutuhan harmoni musik. Demikian pula repertoar “Puti Indera Dunia”, “Pantun Atui”, dan “Lukah Gile”; termasuk karya baru “Awang Menunggang Gelombang”. Dengan cara itu, Riau Rhythm berusaha membawa sebagian dari anasir tradisi lisan Melayu Riau keluar dari sifat lokal-partikularnya menuju ruang global-unversal; semacam merintis jalan untuk merayakan etos glocalism (global-lokalisme): watak manusia baru di alaf ini yang menggeliat bangkit menggapai kesejagatan minda dari bumi tempatnya berpijak.

Anasir tradisi lisan tidaklah tunggal; dan memang Riau Rhythm bukanlah kelompok yang menempatkan dirinya sebagai transformer yang ‘berjuang’ untuk mempertahankan kehidupan utuh sesuatu tradisi lisan warisan di ruang dan waktu yang berubah cepat. Namun, pengembaraan ke dalam inti tradisi Melayu Riau seperti yang mereka tunjukkan, bisa menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan tentang pilihan sikap masa kini terhadap warisan masa lampau. Dan tentang sikap itu, Riau Rhythm pun menyatakannya kepada publik di tempat-tempat mereka mengadakan pertunjukan luar negeri, terutama bila mereka berkesempatan memberikan workshop.

Di Portugal, Riau Rhythm mengisi sesi workshop musik di sebuah sekolah musik di Lisabon. Workshop dilaksanakan pada 25 Maret 2019, diikuti 30 siswa dan pengajar Escola Superior de Music de Lisabon (ESML; Sekolah Tinggi Musik Lisabon). Setelah dibuka dengan penampilan dua karya Riau Rythm, “Awang Menunggang Gelombang” dan “Sri Perca”, mereka memaparkan latar belakang kedua karya tersebut dan instrumen yang digunakan. Peserta sangat tertarik pada bentuk dan cara memainkan alat musik gambus selodang yang digunakan oleh Riau Rythm. Peserta juga ingin tahu mengenai musik yang dibawakan oleh Riau Rythm, karena mereka melihat alat-alat musik tradisional dan modern dipakai secara bersamaan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook