Semangat inilah yang menjadi berbeda dari penyair muda lainnya, yang bersilat di jalan bahasa, berkelit dengan tema gubismedan nihilisme yang akut. Mario menulis, "Ekaristi;
Pagi yang Cacat":
Mengugurkan anamnesis.
Kami berdiri di jalanan
Menyaksikan diriMu dikorbankan.
Di bawah salib,
TubuhMu yang jasad,
Kami koyak kelak
Dengan rasa lapar paling purba.
Ekaristi dalam tradisi Katolik menjadi penting, karena ritual ini merupakan sakramen utama, dari enam sakramen lain. Wafat dan kebangkitan Kristus, dalam Ekaristi dirayakan dengan meriah. Dalam bahasa Mario, Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh hidup orang Kristen. Sebagai sakramen Ekaristi, adalah tanda dan sarana persatuan dengan Allah dan persatuan antar sesama umat manusia. Ekaristi hendaknya juga menjadi pengantarkan umat Kristen kepada makna keselamatan.
Sebab kontribusi inilah, tradisi dan kekayaan Alkitab, menjadi hidup dan bermakna di mata masyarakat luas, karena ajaran-ajaran itu tidak lagi stagnan di kalangan umat Kristen semata, tetapi menjadi pengetahuan dan kekayaan kita bersama.***
Saifa Abidillah, mahasiswa Perbandingan Agama, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Suka, dan aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).