Di kalangan kristiani, sangat jarang kita temukan puisi-puisi yangberapi-api seperti ini, menyuarakan ajaran-ajaran kekristenan dengan intens, seolah jiwa yang dimiliki kakeknya sebagai ketua Jingitiu (agama mistik lokal) sebagai agama suku, mengalir kuat, sejalan dengan cerita-cerita Biblikal, yang disajikan ayah dan ibunya ketika masih kecil, cukup berpengaruh besar pada perkembangan puisi-puisi mutakhir Mario. Ditambah tempaan dunia seminari selama beberapa tahun di situ. Jadi telah cukup jiwa puitik itu ditempa sedekian rupa, jiwa puitik adalah untuk membangun hubungan yang intim dengan Tuhan, bagaimana kita beragama, menghayati, dan menghidupi “iman” umat tidak hanya di lingkungan kita, tapi seluruh penjuru negeri.
Gerakan misi semacam ini sama sekali sulit kita temukan, apalagi pemuda potensial seperti Mario, yang tidak tanggung-tanggung berbicara “hal yang dekat” pada dunia, “Bagi orang yang masih belajar menulis puisi seperti saya, jauh lebih penting menggali apa yang saya pahami dan imani secara baik daripada menggantungkan harapan pada spekulasi-spekulasi yang tidak saya kenal.” Seolah menyampaikan ajaran lebih penting, daripada sekedar berkelit-kelindan dengan akrobat-bahasa yang njlimet dan aneh-aneh.
Dalam buku Ekaristi, dengan sadar Mario menggali kearifan-kearifan lokal dari kepercayaan kakeknya dan memadukannya dengan khazanah alkitab. Dalam buku Lelaki Bukan Malaikat, Sapardi Djoko Damono menulis, “Mario Lawi dengan terampil telah memindahkan inti amanat Kitab Suci ke puisi dan menawarkannya kepada pembaca sebagai penghayatan dan pengalaman baru yang tidak lagi perlu dibatasi oleh keyakinan apa pun.”
Sebagainama juga yang disebutkan dalam pengantar buku Ekaristi, Mario mengatakan, “Menulis puisi, sebagaimana juga beribadah di Gereja, semoga dapat menjadi bagian dari cara saya untuk menghidupi apa yang saya imani. Sebagaimana kakek saya menghayati Jingitiu yang ia imani. Sebagaimana ibu saya menghayati Katolik yang ia imani.”