Oleh Saifa Abidillah
HIDUP di seminari, sama seperti kita hidup di pesantren, santri yang belajar kitab-kitab klasik, menempa Bahasa Arab-Inggris, sekolah formal dan madrasah, di tengah-tengah kegiatan itu, sebagian santri yang tertarik dengan sastra, ia diam-diam akan menulis puisi, cerpen, dan esai. Di pesantren seperti Annuqayah misalnya, sastra hidup subur, juga bentuk-bentuk kesenian lain, sepert drama, teater, seni kaligrafi dan musik ala santri, mengakar kuat di luar minat santri sebagai penegak agama. Banyak para penulis yang lahir dari pesantren ini, baik para akademisi dan sastrawan. Di publik kita kenal misalnya M Faizi, Sofyan RH Zahid, dan Raedu Basha.
Di seminari, Mario F Lawi ditempa banyak hal, terkait dengan api-iman yang patut dijaga. Jika mengacu pada esai M. Aan Mansur, “Mario”, ada 5 hal yang diperhatikan dalam pembinaan calon imam; Scientia (ilmu pengetahuan), Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), Sapientia (kebijaksanaan), dan Solidaritas (persaudaraan).Di pesantren kita juga mendapat suplai pengetahuan yang sama, toh barangkali dengan porsi realisasi yang berbeda-beda. Di pesantren, santri ditempa untuk menempuh pendidikan yang telah disediakan oleh lembaga, dari PAUD sampai Perguruan Tinggi (Scientia), Kitab-kitab Klasik (Sanctitas), Klinik (Sanitas) fungsinya beda dengan di seminari yang dikhususkan untuk calon para imam. Pejalaran Akhlak atau Etika (Sapientia) kepesantrenan, dan (Solidaritas) antar santri sebagai pengganti keluarga.
Meski santri tidak menulis sebagaimana Mario tulis "untuk menghidupi apa yang saya imani” kata Mario, santri berperan mengangkat tradisi-tradisi intelektual muslim, dan bertemakan nilai-nilai Quranik ketika telah keluar dari pesantren. Kita tidak menemukan semangat religiusitas atau kesadaran misi kepesantrenan dikalangan santri hadir pada tema-tema puisi mereka, “rindu dan cinta” menjadi tema paling mudah bagi penulis pemula dikalangan santri. Sedang Mario, Ia menggali tradisi-tradisi lokalitas mistik NTT (Jingitiu), dan pengetahuan Biblis yang dalam.
Mario menjadi pusat perhatian publik karena tema-tema puisinya yang lekat dengan ajaran-ajaranmistik Kristen, menebar pesona “iman” dan disajikan dengan diksi-diksi yang tidak rumit untuk dicerna.Semisal, kita sentil salahsatu puisinya yang kritis akan persoalan-persoalan ketuhanan; ”Speculum”, Saya telah melawan takdir/ Kini saya nantikan, seberapa/ keras kepalakah Engkau, Tuhan. Tuhan Yesus dalam puisi ini, seolah sama seperti kita (manusia) yang keras kepala, dan itu sangat menjengkelkan.