Menanti Kekuataan Satu Peta

Riau | Selasa, 22 Mei 2018 - 11:21 WIB

Menanti Kekuataan Satu Peta
EKS TRANSMIGRASI: Warga Desa Bandar Jaya, Kecamatan Siak Kecil, Bengkalis melihat sisa-sisa bangunan eks transmigrasi yang saat ini dijadikan kebun sawit oleh perusahaan. (SOLEH SAPUTRA/RIAU POS)

“Nantinya permasalahan tersebut akan dikelompokkan berdasarkan kelompok umur perusahaannya. Jadi kami sangat mendukung sekali akan adanya satu peta itu, jika perlu terkait tata guna lahan dibuat satu kebijakan. Jangan sampai pihak dinas kehutanan punya kebijakan sendiri dengan Kementerian LHK dan moratoriumnya, Badan Restorasi Gambut (BRG) punya kebijkan sendiri. Nah, jika ini tidak disatukan maka akan terjadi permasalahan kembali pada akhirnya,” harapnya.

Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldy Jusman mendukung adanya kebijakan satu peta itu untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih lahan dan kehutanan di Riau. Sehingga ke depannya tidak ada keraguan dalam hal penindakan. Seperti adanya pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang menanam di luar HGU hingga masuk ke kawasan hutan, maka ke depannya bisa langsung dihutankan kembali.

Baca Juga :Di COP 28, PSKL KLHK Akui Peran Adat Guna Atasi Perubahan Iklim

”Jadi dari bermacam-macam versi peta yang ada saat ini, dirangkum dijadikan satu versi yang benar dan semua mengikuti peta tersebut. Walaupun saat ini salah, namun dalam perencanaan ke depan dibuat benar sehingga selanjutnya ada acuan yang benar,” sebutnya.

Dengan adanya satu peta yang dapat dijadikan pedoman bersama tersebut, ke depannya siapa pun yang akan membangun maka acuannya pada satu peta tersebut. Sehingga tidak ada lagi menurut versi-versi peta yang telah ada. Karena permasalahan yang ada saat ini, menurutnya buntut dari kebijakan pemerintah pusat dahulu.

“Untuk Riau masalah tumpang tindih lahan ini kacau sekali. Pemerintah pusat yang dulu jadi sumber masalahnya. Contohnya saja perusahaan bekerja sama dengan daerah mengusulkan ke pemerintah pusat, kemudian pemerintah pusat memberi izin. Namun ada pihak lain yang mengajukan izin di tempat yang sama dikeluarkan juga izinnya, akhirnya kacau dan tidak ada kepastian hukum. Dengan adanya satu peta tersebut diharapkan bisa mengurai permasalahan yang ada di Riau ini,” ujarnya.

Untuk diketahui, rancangan kebijakan satu peta muncul pertama kali sejak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Rapat Kabinet  23 Desember 2010. Saat itu, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menunjukkan kepada Presiden SBY peta tutupan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan yang berbeda, di mana hal itu yang mendorong Presiden SBY memerintahkan penyusunan satu peta (One Map Policy).

Selain itu karena Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang dibangun tidak merujuk pada satu sumber rujukan Peta Dasar (Peta Rupabumi). Bisa dipastikan selama Informasi Geospasial Tematik tidak merujuk pada peta dasar yang dibangun instansi yang berkompeten dan berkewenangan dalam hal ini Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) maka Informasi Geospasial Tematik yang dibangun tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook