DUBAI (RIAUPOS.CO) — Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PSKL KLHK) menggelar acara talkshow di Paviliun Indonesia dengan tema bertajuk 'D9 Voices of Forest: Amplifying Local Knowledge In Clim'.
Talkshow tersebut dipandu oleh Apri Dwi Sumarah dengan dan dibuka langsung oleh Sekretaris Direktorat Jenderal PSKL-KLHK, Mahfudz dengan menghadirkan lima pembicara yaitu Direktorat PKTHA-PSKL Yuli Prasetyo ada juga dari aktivis sosial, Perkumpulan HuMa, Bimantara Adjie, Swary Utami Dewi dari Kawal Borneo.
Kemudian, Senior Program Officer on Landscape in a Changing Climate a (RECOFTC), Ms. Regan Pairojmahakij, KFW Frankfurt, Mr. Martin Schorder. Fokus utama talkshow ini adalah peran pengetahuan tradisional dan kearifan lokal dalam menghadapi perubahan iklim, terutama melalui pengelolaan hutan berkelanjutan dan skema perhutanan sosial, seperti hutan adat yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam kesempatan itu, Sekretaris Direktorat Jenderal PSKL-KLHK, Mahfudz menyatakan bahwa pengetahuan lokal adalah bagian integral dari perhutanan sosial, dan peran masyarakat adat serta komunitas lokal sangat esensial dalam pemeliharaan hutan.
Mahfudz menekankan perlunya memberdayakan kelompok ini agar lebih adaptif di tengah tantangan perubahan iklim dan mengupayakan keadilan sosial secara kolaboratif.
"Pentingnya untuk mengupayakan keadilan sosial bagi masyarakat adat dan komunitas lokal secara kolaboratif," kata Mahfud dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (2/12/2023).
Sementara itu, Direktorat PKTHA-PSKL Yuli Prasetyo memberikan gambaran perkembangan kebijakan pemberian recognition kepada masyarakat hukum adat dalam mengelola hutan adat, dengan contoh penetapan hutan adat di Sanggau, Kalimantan Barat.
Sedangkan Bimantara Adjie dari Perkumpulan HuMa mengungkapkan strategi melindungi masyarakat adat dan komunitas lokal dengan mengintegrasikan pengetahuan dari multi-sektor serta mengenali nilai-nilai turun-temurun dalam kelompok tersebut.
Kemudian Swary Utami Dewi dari Kawal Borneo memaparkan praktik inspiratif yang mendukung SDGs dan sejalan dengan upaya adaptasi dan mitigasi, termasuk inisiasi Bamboo Mamas di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Selanjutnya Ms Regan Pairojmahakij dari RECOFTC menyoroti nilai-nilai budaya dan local knowledge dalam penguatan masyarakat adat dan komunitas lokal mengelola hutan, serta pentingnya regenerasi nilai adat oleh generasi muda.
Sementara Mr. Martin Schorder dari KFW Frankfurt menyajikan pandangan internasional terhadap perhutanan sosial dengan menekankan kebijakan pemerintah, program leading by example, dan pengembangan potensi lokal.
Mr. Martin Schorder menyoroti tiga elemen penting dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal.
Dalam kesempatan itu, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bambang Supriyanto juga menekankan bahwa pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal telah berhasil mencapai pencapaian positif, termasuk penambahan tutupan lahan, pendapatan, dan stok karbon.
“Peran hutan sosial sangat penting untuk pencapaian target FOLU net sink 2030 sebesar 140 juta ton CO2 equivalent. Sangat logis dalam COP 28 ini mereka memperjuangkan pengarusutamaan dalam safeguard, nilai ekonomi karbon, dan result-based payment carbon,” jelas Bambang.
"Pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal pada 131 masyarakat hukum adat dan 1,3 juta KK masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan seluas 6,3 juta telah berhasil dengan baik melalui pendampingan, akses pasar/modal dan menghasilkan penambahan tutupan lahan, penambahan pendapatan dan karbon stok sebanyak 31,9 juta ton co2 pada era 2017 sd 2021, jika dibandingkan periode 2006-2016," sambungnya.
Atas itu, Bambang, peran hutan sosial menjadi sangat penting untuk pencapaian target FOLU net sink 2030 sebesar 140 juta ton CO2 equivalent.
"Sangat logis dalam COP 28 ini mereka memperjuangkan pengarusutamaan dalam safeguard, nilai ekonomi karbon dan result based payment carbon," pungkasnya.
Laporan: Yusnir
Editor: Edwar Yaman