JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Realisasi dan akses kelola program Perhutanan Sosial tahun 2023 telah mencapai 6.4 juta hektare yang melibatkan 9.642 Surat Keputusan (SK) dan telah memberikan manfaat langsung bagi 1.287.710 Kepala Keluarga (KK).
Selain itu, penetapan hutan adat seluas 251 ribu hektare yang melibatkan 131 SK, memberikan kontribusi positif bagi 75.785 KK. Program Perhutanan Sosial merupakan sebuah inisiatif pemerintah yang menjadi program prioritas nasional terus menjadi fokus utama dalam upaya pemanfaatan hutan lestari demi kesejahteraan rakyat.
Hal ini sesuai pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai jaminan hak dan akses tanah melalui perhutanan sosial yang menjadi landasan bagi program ini untuk menyelesaikan permasalahan penguasaan lahan melalui legalisasi akses kelola hutan oleh masyarakat.
”Tujuannya sangat mulia, affirmative policy, yang pertama adalah mengenai kesenjangan keadilan akses, dulu sebelum tahun 2015 akses banyak dikelola oleh swasta BUMN proporsinya masyarakat tidak lebih dari 4 persen, sekarang dengan perhutanan sosial itu akan dengan 12,7 juta hektare akan menjadi 30 persen untuk mengelola hutan yang ada di Indonesia,” kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bambang Supriyanto dalam acara Refleksi Kinerja KLHK Tahun 2023, di Jakarta, Kamis (28/12/2023) kemarin.
Bambang menjelaskan, program perhutanan sosial adalah sebuah sistem pengelolaan hutan lestari di mana kelompok masyarakat atau masyarakat hukum adat itu menjadi pelaku utama untuk mengelola hutan negara atau hutan adat untuk kesejahteraan masyarakat dalam tata kelola sinergi antara ekonomi, ekologi dan sosial dalam 5 skema hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat.
Perhutanan sosial bukan hanya sekadar solusi untuk persoalan tenurial, tetapi juga diharapkan menjadi katalisator untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Program ini diantisipasi dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan, serta menciptakan sentra ekonomi lokal dan daerah.
Saat ini, sudah terbentuk 10.249 kelompok usaha perhutanan sosial, yang mencakup berbagai kelas seperti platinum, gold, dan silver, dengan total transaksi ekonomi mencapai Rp1,08 triliun. Keberhasilan perhutanan sosial juga tercermin dalam berbagai model pengelolaan, termasuk pola agroforestry, silvofishery, dan silvopastura. Selain memberdayakan masyarakat melalui sektor hasil hutan, program ini juga berhasil menangani 570 kasus tenurial yang terjadi, menunjukkan perannya sebagai solusi konflik lahan di tingkat tapak.
”Program ini juga ditopang dengan pemerataan ekonomi, ada namanya pendampingan dengan tata kelola kelembagaan, tata kelola hutan dan tata kelola ekonomi itu harapannya masyarakat yang miskin bisa dientaskan, masyarakat mampu mengelola kawasan hutan dengan baik, pemerintah menyediakan akses permodalan dalam bentuk KUR maupun skema lainnya termasuk juga untuk oftakkernya sehingga desa menjadi desa yang bertumbuh gini ratio antara desa dan kota menjadi kecil, tidak ada urbanisasi tetapi ruralisasi itu yang akan terjadi ke depan,” jelasnya.
Senada dengan itu, Sekretaris Direktorat Jenderal PSKL, Mahfudz menyebut dalam aksi nyata inovasi kebijakan dalam percepatan pengelolaan Perhutanan Sosial seiring diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tanggal 30 Mei 2023 Tentang Peraturan Presiden Tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Langkah ini bertujuan untuk memfasilitasi kolaborasi dan sinergitas antara berbagai pihak dalam mencapai target distribusi akses kelola perhutanan sosial termasuk dukungan kepala daerah yang dapat memasukan Program Perhutanan Sosial kedalam RPJMD sehingga APBD bisa memungkinkan untuk pendanaan perhutanan sosial begitupun dengan dana desa yang sekarang sudah dimungkinkan untuk menopang dana untuk perhutanan sosial.
”Dari 12.000 desa, jika bandingkan kurva tahun 2015 dengan tahun 2023, desa–desa menuju maju, berkembang dan mandiri. Pada tahun 2015 desa tertinggal dan desa sangat tertinggal masih banyak dan pada tahun 2023 menjadi sedikit ini merupakan prestasi yang luar biasa,” terang Mahfudz.
Perhutanan sosial tidak hanya memberikan dampak ekonomi, tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai dengan sustainable development goals (SDG’s). Kontribusi program ini melibatkan pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, kesetaraan gender, penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, hingga penanganan perubahan iklim.
Melalui praktik pengelolaan perhutanan sosial, Mahfudz berharap Indonesia dapat memberikan kontribusi nyata dalam pengendalian perubahan iklim. Program ini tidak hanya berfokus pada mitigasi, tetapi juga adaptasi melalui pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dan peningkatan stok karbon hutan.
Sebagai upaya nyata untuk mewujudkan visi ini, kata dia, pemerintah mengembangkan Integrated Area Development (IAD) berbasis Perhutanan Sosial di berbagai daerah.
“Kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan melalui program Perhutanan Sosial,” pungkasnya.
Laporan: Yusnir
Editor: Edwar Yaman