Setelah nantinya UMP ditetapkan, maka UMP tersebut selanjutnya akan menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMP). Di mana penetapan UMK harus lebih besar dari UMP. ‘’Kalau mau disahkan, UMK harus lebih besar dari UMP penetapannya,’’ sebutnya.
Baru 25 Provinsi Sepakati UMP 2023
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri menyampaikan, hingga Senin (28/11) pukul 17.00 WIB, sudah ada 25 Gubernur yang menetapkan UMP tahun 2023 berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022.
Ke-25 provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku.
Putri tak menyebut detail angka UMP untuk masing-masing daerah. Dia hanya menekankan, bahwa pihaknya optimis para gubernur dapat menetapkan UMP hingga batas akhir yang ditentukan. Yakni, 28 November 2022. ”Saat ini (kemarin sore, red) kami masih menunggu gubernur lain dalam menetapkan UMP tahun 2023,” ujar Putri saat dikonfirmasi, Senin (28/11).
Disinggung mengenai kemungkinan keterlambatan, Putri enggan menanggapi. Dia hanya menyampaikan, bahwa pihaknya terus berupaya membangun komunikasi dengan para pemerintah daerah guna mempercepat proses penetapan UMP 2023-nya berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022.
Dari data yang dikumpulkan, sejumlah gubernur memang telah mengumumkan besaran kenaikan UMP-nya tahun depan. Misal, Banten 6,4 persen, Jogjakarta 7,65 persen, Jawa Timur sebesar 7,85 persen, Jawa Barat 7,88 persen, Jawa Tengah 8,01 persen, Bali 7,81 persen, hingga DKI Jakarta sebesar 5,6 persen. Angka-angka tersebut jauh di bawah tuntutan buruh. Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tegas menuntut kenaikan UMP 2023 sebesar 13 persen.
Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan, kenaikan UMP dan UMK di seluruh Indonesia harusnya sebesar inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi/kabupaten/kota di tahun berjalan. Bukan menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan atau Year on Year.
Menurutnya, jika menggunakan data September 2021 ke September 2022, hal itu tidak memotret dampak kenaikan harga BBM yang mengakibatkan harga barang melambung tinggi. Sebab, kenaikan harga BBM terjadi pada Oktober 2022. ”Kami menolak nilai prosentase kenaikan UMP dikarenakan di bawah nilai inflansi Januari-Desember 2022. Yaitu sebesar 6,5 persen plus pertumbuhan ekonomi Januari -Desember yang diperkirakan sebesar 5 persen,” tuturnya.
Selain itu, lanjut dia, yang lebih miris lagi adalah kenaikan UMP 2023 DKI Jakarta. Hanya 5,6 persen di bawah nilai inflasi. Hal ini menunjukkan ketidakpedulian gubernur DKI Jakarta atas nasib kaum buruh.(sol/mia/jpg)