PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau bersama Dewan Pengupahan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2024 sebesar Rp3.294.625,56, Kamis (16/11) lalu. Selanjutnya, pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemko) se-Riau diminta segera menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau, Imron Rosyadi melalui Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnakertrans Riau, Devi Rizaldy mengatakan, bahwa SK penetapan UMK Riau 2024 sudah diteken oleh Plt Gubernur Riau Edy Natar Nasution. Selanjutnya, SK tersebut dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
“SK penetapan UMP Riau tahun 2024 sudah diteken Pak Gubernur. Selanjutnya laporannya juga sudah disampaikan ke Kemenaker,” katanya. Kemudian, SK penetapan UMP tersebut juga disampaikan ke kabupaten/kota sebagai acuan dewan pengupahan untuk penetapan Upah Minimum Kabupaten Kota (UMK) tahun 2024.
“Pak Plt Gubernur juga sudah meneken surat yang disampaikan ke bupati/wali kota se-Riau untuk segera membahas UMK selambat-lambatnya 30 November. Kemudian menegaskan agar penetapan UMK harus berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Tidak boleh di bawah UMP,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, UMP Riau tahun 2024 ditetapkan sebesar Rp3.294.625,56 atau mengalami kenaikan sebesar Rp102.963,03 dibandingkan UMP tahun 2023 sebesar Rp3.191.662,53. Dari laporan sementara pada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Selasa (21/11), ada provinsi yang menetapkan kenaikan UM Provinsinya (UMP) hanya 1,2 persen atau Rp35.750.
Sebetulnya, dari data yang dihimpun, provinsi yang menetapkan kenaikan UMP-nya di bawah Rp100 ribu cukup banyak. Sebut saja Provinsi Aceh yang UMP-nya hanya naik sebesar 1,3 persen atau Rp47 ribu, dari Rp3.413.666 di 2023 menjadi Rp3.460.672 pada 2024. Lalu, ada pula Sulawesi Selatan yang besaran UMP 2024 ditetapkan sebesar Rp 3.434.298 juta, naik 1,45 persen atau Rp49.153 dari tahun lalu Rp3.385.145.
Meski, ada pula provinsi yang menaikkan UMP-nya hingga 7,5 persen atau Rp223.280. Yakni Maluku Utara. Kemudian, Kalimantan Timur yang menaikkan UMP 2024 nya sebesar 4,98 persen atau Rp159.459, dari Rp 3.201.396 di 2023 menjadi Rp3.360.858. Jawa Timur pun naik sebesar Rp125.000 atau 6,13 persen, dari Rp2.040.244,30 pada 2023 menjadi Rp2.165.244,30 di tahun depan.
Penetapan UMP 2024 yang begitu rendah disayangkan oleh Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar. Ia menilai, kenaikan hanya Rp 35 ribu atau berkisar 1 persen ini tak layak. Bahkan, ia mempertanyakan metode kenaikannya.
”Kalau pakai pasal 26 PP 51/2023 kan inflasinya pasti sudah di atas 3 persen, ditambah pertumbuhan ekonomi kali indeks. Harusnya bisa 4,5 persen. Kalau Aceh misalnya hanya 1 persen, agak bingung saya,” ujarnya, Selasa (21/11).
Dia berharap, seluruh Gubernur melihat kondisi riil inflasi di daerahnya. Khususnya, inflasi kebutuhan pokok buruh yang memang tingkat inflasinya di atas inflasi umum. Seperti misalnya, kebutuhan beras, gula, minyak goreng, dan lainnya yang saat ini inflasinya sudah di atas 5 persen. Apalagi dalam PP 51/2023, indeks tertentu yang disebut alpha ditetapkan sangat rendah oleh pemerintah.
Menurutnya, menetapkan kenaikan UMP di luar PP 51/2023 bukan hal yang salah karena kewenangan sepenuhnya ada di Gubernur. Dia pun turut mengapresiasi keputusan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang berani menetapkan UMP-nya di atas formulasi PP 51/2023.
Sebab, jika dilihat inflasi di Jawa Timur mencapai 3,01 persen, kemudian pertumbuhan ekonomi 4.96 persen. Apabila mengacu PP pengupahan terbaru, dengan mengambil nilai alpha tertinggi sebesar 0,3 maka kenaikan harusnya 3.01 persen + (4.96 persen x 0.3) = 4.496 persen. Namun, Khofifah berani menaikkan hingga 6,13 persen.
”Karena kewenangan menetapkan UMP dan UMK di UU 6 tahun 2023 di tangan gubernur, maka keputusan Bu Khofifah adalah tepat. Kami apresiasi keputusan Bu Khofifah,” ungkapnya.
Keberanian Khofifah ini diduga lantaran hingga kini Jawa Timur belum di PJ-kan gubernurnya. Sehingga, Khofifah memiliki kesempatan untuk menaikkan lebih. Sementara, provinsi yang sudah di-PJ-kan kemungkinan bakal patuh penuh pada PP 51/2023 karena kepentingannya adalah diperpanjang masa jabatannya. ”Sehingga tidak mau melawan pemerintah pusat,” katanya.
Padahal, kata dia, format perhitungan di PP 51/2023 masih berparadigma kenaikan upah nominal bukan mengacu pada kenaikan upah riil. Walhasil kenaikan hanya sekadar angka tidak lantas menjadikan daya beli buruh naik.
”Kalau kata Kemenaker kan pasti naik. Memang naik. Satu rupiah juga naik. Tapi, kenaikan ini bukan pada upah riil buruh. Hanya upah nominal karena daya beli buruh tidak membaik padahal harga-harga sudah naik tajam,” tegasnya.
Anggota Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari sektor buruh Trisnur Priyanto mengungkapkan, dalam penetapan UMP yang diserahkan ke daerah itu adalah penetapan rentang alpanya, bukan formulanya. Pada saat pleno di Jogjakarta, Dewan Pengupahan Nasional dari unsur buruh mengusulkan rentang alpha antara 0,5 – 1. Sementara dari unsur lainnya disesuaikan dengan yang sudah ada di Permenaker No 18/2022 yaitu 0,1-0,3.
”Dengan formula tersebut kenaikan upah itu sudah dipastikan tertinggi itu 5-6 persen. Keberadaan alpha membuat adanya penurunan nilai pertumbuhan ekonomi di daerah, bukan menambahkan kenaikannya,” ungkapnya.
Karenanya, kata dia, buruh tegas menolak PP yang baru disahkan 10 November 2023 tersebut. Mengingat, selama ini buruh/pekerja tidak benar-benar pernah menikmati kenaikan upah. ”Yang ada hanya penyesuaian upah. Kenapa? Karena upah belum naik, masih dalam pembahasan, tapi harga-harga sudah naik duluan. BBM naik, kost/kontrakan naik, dan lain-lain,” keluhnya.
Hal ini yang memberatkan bagi buruh/pekerja. ”Jangankan menabung demi masa depan, upah yang diterima hanya cukup untuk bertahan hidup selama satu bulan bahkan belum tentu,” sambungnya. Tak heran, saat ini dalam beberapa kasus yang ada, ada sejumlah buruh yang sampai terjebak pada pinjaman online demi menutupi kekurangan kebutuhannya.
Terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri menyebut, dari 38 provinsi sudah 26 provinsi yang melaporkan besaran UMP-nya pada pihaknya di hari terakhir penetapan UMP, kemarin sore (21/11). Dia meyakini, seluruh provinsi akan melakukan penetapan sesuai dengan batas yang ditentukan.
Dari laporan tersebut, untuk penetapan UMP terendah ada pada angka 1,2 persen atau Rp 35.750 dan tertinggi 7,5 persen atau RP 223.280. ”Hingga pukul 16.53 WIB, alhamdulillah sudah lebih dari 40 persen. Ini kan masih ada sisa waktu ya sampai nanti malam,” ujarnya dalam temu media secara daring, kemarin.
Diakuinya, dari data sementara, ada dua provinsi yang penetapan UMP 2024-nya tidak sesuai dengan aturan. Ia sendiri enggan menyebutkan provinsi mana saja. Namun yang jelas, pihaknya akan berkonsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait pelanggaran yang ada.
”Tapi yang jelas, kalau tidak sesuai dengan PP, ini kan lebih tinggi dari permenaker tahun lalu, bisa dipahami kalau ada wilayah tidak taat PP itu kan bagaimana ya. Tapi kita serahkan pada kemendagri nanti, mulai dari pembinaan hingga sanksinya,” jelasnya.
Putri pun turut angkat bicara mengenai adanya penolakan terhadap PP pengupahan yang baru ini. Menurutnya, tidak semua serikat pekerja menolak PP 51/2013 yang merupakan revisi dari PP 36/2021. Kalaupun ada yang tidak sepakat, itu dinilainya sebagai bagian dari demokrasi. Pihaknya pun dengan tangan terbuka membuka dialog terkait penolakan tersebut.
Termasuk soal ancaman demo atau mogok massal yang dikemukakan para pekerja/buruh. Dia mempersilahkan selama sesuai ketentuan dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Sementara, mengenai range dari indeks tertentu yang menjadi salah satu variabel perhitungan UMP, Putri menjelaskan, bahwa nilai alpha ini merupakan kontribusi ketenagakerjaan dalam pembangunan ekonomi dalam suatu wilayah. Di mana, angkanya sudah didiskusikan dengan semua pihak termasuk pakar ekonomi. Hingga akhirnya diperoleh range 0,1-0,3.
Kemudian, meski banyak dikeluhkan, dia menjamin, dengan PP ini maka UMP pasti naik setiap tahunnya. ”Kecuali ada tekanan ekonomi, tidak naik tapi sama dengan UM berjalan,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, dia kembali mengingatkan bahwa UMP hanya berlaku untuk pekerja di bawah satu tahun. Semenara, untuk pekerja di atas satu tahun perhitungan kenaikan upah harus menggunakan struktur skala upah atau berdasarkan produktivitas.
Jika merujuk pada hal tersebut, saat ini, jumlah pekerja kategori penerima upah atau formal yang masa kerjanya di bawah satu tahun mencapai 3,8 persen dari angka partisipasi kerja sebanyak 50 juta orang. Artinya, 95,2 persen pekerja lainnya kenaikan upahnya harus menggunakan struktur skala upah. ”Bukan dibayar dengan UM ya, harus lebih tinggi,” tegasnya.(sol/mia/rya/das)
Laporan SOLEH SAPUTRA dan JPG, Pekanbaru dan Jakarta