Bahwa pemerintah benar-benar tak ikut
campur sebagaimana yang dilakukan Orde Baru, juga Orde Lama, adalah hal yang
pantas diapresiasi karena di negara-negara tetangga kita yang selama ini
dianggap maju dunia persnya, seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand,
kebebasan persnya tak seperti kita. Mereka masih menerapkan pers otoritarian,
teori pers tertua, yang memungkinkan swasta memiliki lembaga pers, tetapi
kontrol tetap dilakukan oleh penguasa. Hal yang dilakukan Orde Baru dan Orde
Lama, yang mengontrol pers hingga ke akarnya dengan alasan demi kepentingan
negara. Namun, di luar persoalan tersebut, baik
dari internal persnya maupun pemahaman masyarakat tentang kebebasan pers, belum
mendalam. Banyak media dan wartawan yang belum memahami fungsi kebebasannya
dengan segala konsekuensi. Bahwa kebebasan pers bagi mereka adalah kebebasan
untuk melakukan apa saja, atau memberitakan apa saja tanpa mengenal etika.
Akibatnya, banyak terjadi kasus pers. Masyarakat yang melek pers, ketika harus
berhadapan atau konflik dengan pers, tahu kelemahan institusi pers yang hanya
bermodal semangat tersebut. Sebaliknya, di seberang pagar,
lembaga-lembaga di luar pers, termasuk lembaga pemerintah, juga banyak yang
belum memahami kebebasan pers yang diberikan. Mereka masih menganggap kondisi
sekarang seperti zaman Orba, yang semuanya diatur pemerintah. Benturan di
lapangan sering terjadi.
Dan di luar itu semua, pers ternyata
masih mudah dibelah oleh kepentingan politik. Dalam Pilpres 2014 lalu, atau dalam
pesta-pesta Pilkada, pers dengan mudah dimanfaatkan kelompok-kelompok. Dalam Pilpres 2014 misalnya, muncul dua blok bersamaan dengan adanya dua
blok calon presiden. Kedua-duanya merasa yang paling benar dan tak menyadari
bahwa masyarakat kita sebagian sudah dewasa dalam memahami. Namun, banyak juga
masyarakat yang masih membutakan diri dalam membela kelompoknya, sehingga
sepaham dan sebahasa dengan pers yang menjadi pendukung salah satu kelompok
tersebut. Hal itu masih berlangsung hingga kini, sehingga dalam berbagai
pertarungan politik, pers juga seperti ikut dalam pertarungan politik tersebut.
Bahkan, ada pers yang dengan sadar dan berani membodohi masyarakatnya, misalnya
soal hitung cepat hasil Pilpres maupun Pilkada.