PEMENTASAN TEATER-PUISI PERCAKAPAN GAMBUS DI TIM

Upaya Mengembangkan Alih Wahana Seni

Seni Budaya | Minggu, 24 Desember 2023 - 11:54 WIB

Upaya Mengembangkan Alih Wahana Seni
Salah satu adegan dalam pertunjukan teater-puisi Percakapan Gambus oleh Suku Seni di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (11/12/2023). (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)

Tim teater Suku Seni manggung di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Mereka mengalihwahanakan puisi ke atas panggung teater.

RIAUPOS.CO - PADA 11 Desember 2023 lalu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyelenggarakan kegiatan Pentas Karya Komunitas Sastra di Taman Ismail Marzuki (TIM). Semua komunitas sastra penerima bantuan pemerintah dari Badan Bahasa diundang dalam acara ini untuk menampilkan karyanya. 


Beberapa sastrawan yang mendapatkan bantuan –dan beberapa yang tidak—juga diundang. Mereka antara lain Isbedy Setiawan, Godi Sumarna, Yose Rizal Manua, Putu Wijaya, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Agus R Sarjono, Imam Soleh, dan  EM Yogiswara. Mereka kebanyakan membacakan puisi dalam kegiatan tersebut, karena hampir semua nama-nama tersebut adalah penyair.

Salah satu komunitas asal Riau yang diundang dalam kegiatan ini adalah Suku Seni. Mereka menampilkan pertunjukan teater-puisi berjudul Percakapan Gambus. Karya ini merupakan alih wahana dari puisi karya Rida K Liamsi dengan judul sama. Joni Hendri yang menulis naskah sekaligus sutradaranya. Sedangkan Kepala Suku Seni, Marhalim Zaini, menjadi produser dan direktur artistik. Suku Seni adalah salah satu dari sekian komunitas di Indonesia yang mendapatkan dana bantuan pemerintah.

Marhalim menjelaskan, dia tidak tahu bagaimana sistem kurasi kegiatan ini. Suku Seni dikontak untuk menjadi salah satu penampil dalam acara ini karena menerima bantuan pemerintah  tahun 2023 yang digunakan untuk penyelenggaraan Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) yang lalu itu. Suku Seni memilih pertunjukan teater-puisi, seperti salah satu program yang dibuat saat FSMR, yakni bagaimana mengembangkan karya alih wahana. Pentas satra ini, katanya, juga sebagai bentuk dari pertanggungjawaban sebagai penerima bantuan pemerintah. Semua komunitas yang diundang menampilkan karya khas mereka. Bukan hanya teater, tetapi juga ada musik, tari, dan yang lainnya.

Menurut seniman serbabisa ini, pilihan puisi pada “Percakapan Gambus” karya Rida K Liamsi ini sepenuhnya dilakukan oleh sang penulis naskah, Joni Hendri. Menurutnya, puisi tersebut  dipilih karena memiliki potensi konflik yang kuat jika akan dialihwahanakan ke teater. Karena drama membutuhkan itu. Selain juga secara tematik sangat relevan dengan dunia Melayu, dunia Kerajaan Melayu, yang dapat mewakili Riau di pentas nasional. 

“Selain itu juga tokoh-tokoh yang disebut dalam puisi Rida, dapat dimanifestasikan langsung ke panggung. Tinggal ini wilayah tafsir harus diperluas sehingga dapat memunculkan gagasan-gagasan baru,” ujarnya kepada Riau Pos, Senin (18/12/2023) lalu.

Ditambahlkannya, proses latihan sebelum keberangkatan ke Jakarta, standar, belasan  kali latihan. Karena pentas ini sebelumnya --dengan model lain-- dipentaskan di Taman Budaya Riau, sebagai salah satu penampil dari Suku Seni sendiri, di acara FSMR, saat dipentaskan di TIM tidak banyak melakukan perubahan. Menurut Marhalim, para pemain dalam pertunjukan ini masih banyak yang baru. Mereka sebetulnya basic-nya tari, sehingga porsi gerak lebih banyak mereka mainkan daripada dialog. Dialog lebih fokus dimainkan oleh Joni Hendri dan Laposa Mirdja. Jadi, kata dia, tidak terlalu sulit mengkondisikannya.

Marhalim bersyukur karena pertunjukan dalam kegiatan ini lumayan mendapatkan apresiasi dri penonton. Penonton, kata dia, sepertinya dikerahkan juga oleh penyelenggara dari sekolah-sekolah, karena banyak siswa yang nonton. Selain juga para pegiat seni dan masyarakat umum.  Menurutnya mereka cukup antusias karena dari pagi sampai sore, penonton masih banyak bertahan. Dan para siswa ini sangat apresiatif. Mereka mengikuti aacara dengan baik. Bahkan ketika Putu Wijaya tampil, dan mengajak secara spontan anak-anak penonton untuk urut naik panggung membantu Putu, mereka berbondong-bondong dengan semangat untuk ikut.

“Pertunjukan ini kami sebut teater-puisi, krena semangatnya memang masih tetap memberi porsi seimbang dari dua genre seni itu. Keduanya menyatu dalam sebuah pertunjukan. Teater memungkian untuk eksplorasi lebih luas karena sifat teater yang terbuka bagi seni lain, semisal tari dan musik. Tari di sini, lebih ke tata gerak untuk bentuk ekspresi lain dari dialog dan suara. Disebut alih wahana juga bisa, karena memang berangkat dari teks puisi karya Rida K Liamsi. Maka di konsep dan poster juga kita sebut dua istilah itu,” jelas Marhalim lagi.

Terpisah, sutradara dan penulis naskah Joni Hendri menjelaskan, puisi “Percakapan Gambus” yang dimuat dalam buku puisi Ombak Sekanak. Yang menarik dari puisi-puisi Rida ini, kata Joni, berangkat dari kegelisahan sejarah Melayu. Sebab banyak tulisan Rida berangkat dari sejarah. Khusus untuk naskah pertunjukan teater-puisi Percakapan Gambus, terfokus pada karakter Tun Fatimah. Kata Joni, dalam lirik puisi tersebut banyak menggunakan tokoh-tokoh  sejarah. Misalnya ada Sultan Mahmud, Hang Nadim, Hang Jebat, Laksaman Paringgi, Tun Fatimah, dan Sang Sapurba. 

Hal itu membuat Joni tergugah untuk mengalihwahankan ke atas panggung. Namun dia tidak memasukan semua tokoh yang ada dalam lirik puisi itu. Hanya mengambil tokoh Tun Fatimah dan Mahmud. Kemudian memunculkan tokoh Tun Ali yang memang tidak ada di dalam teks puisi. Alasan saya memunculkan kembali tokoh Tun Ali, untuk membolak-balikkan sajarah. 

“Kalau dalam sejarah Sultan Mahmud membunuh Tun Ali untuk mendapatkan istrinya yaitu Tun Fatimah. Tetapi di dalam pertunjukan tersebut, Tun Ali membunuh Sultan Mahmud, dengan alasan agar kekuasaan yang timpang harus dibungkam,” ujar Joni, Rabu (20/12/2023).

Dijelaskan Joni, pertunjukan Percakapan Gambus mulai proses sejak penutupan FSMR di Taman Budaya Pekanbaru, akhir Oktober 2023. Dalam waktu sebulan berproses kemudian manggung. Setelah itu, dapat tawaran manggung di TIM. Dia harus mengubah bentuk yang lain dengan pergantian pemain. Awalnya yang main lima perempuan. Kemudian berganti dengan tiga perempuan, yakni Yusdalihafi Rosanti, Ananda Cintha, Khairiah Sari dan dua laki-laki yakni Laposa dan Joni sendiri. 

Dalam waktu delapan hari untuk proses pertunjukan itu, Joni lumayan khawatir. Apalagi beberapa aktor yang masih baru dalam dunia teter yang membuatnya harus bekerja keras untuk memberi materi keaktoran kepada mereka. Yusda dan Cintha, misalnya,  dasarnya adalah penari. Dan karena harus  bermain teater, harus menjalani proses yang berbeda, dari gerak pindah ke vokal. Dia terbantu karena mendapat bimbingan dari Marhalim Zaini yang terus mendampingi saat proses latihan hingga pementasan.

Dari puisi menjadi naskah drama tentu proses yang sangat sulit, Joni harus membaca puisi tersebut berulang-ulang agar bisa membangun dramatuginya, sehingga mempermudah untuk menyutradarinya. Pekerjaan yang sulit, karena dalam teks puisi sangat sulit untuk menemukan di mana letak titik-titik permasalahan, perkenalan, atau konfliknya. Pertunjukan ini tidak seutuhnya menghadirkan keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam sejarah. Hanya menghadirkan beberapa simbol, sesuai teks puisi tersebut. 

Dalam proses pengerjaan naskah maupun penyutradaraan, Joni banyak “melanggar” teori-teori teater. Selama pementasan tak banyak dialog yang diucapkan, tetapi dikonkritkan lewat isyarat-isyarat bahasa puisi. Pertunjukan mencoba mengeksplorasi dari bentuk pertunjukan yang digarap dengan konsep transformasi, dari puisi ke dalam bentuk panggung. Menurutnya, sastra dan teater sangat dekat. Untuk itu, eksplorasi terhadap kedua gendre itu sangat memungkinkan hingga menjadi warna baru di dunia pertunjukan teater hari ini, terutama Riau.

Teater-puisi merupakan sebuah ruang pencarian bagi alumni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) dan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak ini. Mempadupadankan antara puisi dan teater merupakan tantangan tersendiri baginya, termasuk melepaskan ikatan-ikatan definitif kedua genre tersebut, kemudian meleburkannya dalam satu ikatan baru, yakni teater-puisi, istilah yang saling meniadakan menjadi satu entitas baru, yang mungkin belum pernah diberi nama. 

Namun, kata Joni, teks puisi yang awalnya sulit menemukan lentak konflik, dengan adanya ruang teater-puisi, akan memudahkannya atau bisa tergambarkan. Dapat secara jelas mengetahui konflik dan tokoh yang terlibat di dalam puisi sehingga seseorang akan mudah mengikuti kejadian pada teks puisi tersebut. Mulai dari pemaparan, konflik, hingga penyelesaian. Teater-puisi juga sebagai identitas Suku Seni Riau. 

“Sebab sejak awal berdiri Marhalim Zaini sebagai ketua dan pendiri Suku Seni sudah memulai pertunjukan yang berangkat dari teks puisi. Saya hanya mempertahankan identitas itu. Itu juga sebagai alasan saya  kenapa tidak berangkat dari teks lain, seperti cerpen, novel, dan genre lainnya,” tambah lelaki yang kini juga intens menulis cerpen ini.

Joni bersyukur karena pertunjukan yang disutradarainya ini mendapat apresiasi. Menurutnya, antusias penonton saat manggung di TIM luar biasa.  Di luar bagus atau tidaknya, dia melihat anak-anak sekolah yang menonton, juga akademisi dan masyarakat, saat itu sangat gembira dan menikmati. 

“Ini pengalaman saya pertama kali menyutradarai panggung teater di TIM. Ini salah satu panggung yang saya inginkan untuk mementaskan karya saya,” jelas putra kelahiran Pelalawan ini.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook