DUNIA film Indonesia tak boleh melupakan seorang Teguh Karya. Lelaki yang terlahir dengan nama Lim Tjoan Hok dengan nama baptis Steven Lim ini adalah satu dari sedikit sutradara terbaik Indonesia yang pernah ada. Aktor-aktor hebat Indonesia seperti Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, N Riantiarno, Christine Hakim, Niniek L Karim, Hengky Solaiman, Dewi Matindas, Titi Qadarsih, hingga Alex Komang. Semuanya lahir dari rahim Teater Populer yang dia asuh hingga akhir hayatnya.
Teguh adalah sutradara yang lahir dari kekuatan kerja teater. Dia belajar di Akademi Seni Drama Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta, 1954-1956. Lalu masuk Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta. Tahun 1963, Teguh pergi ke Hawaii dan belajar di East-West Center. Pulang ke Indonesia setelahnya, lelaki yang wafat pada 11 Desember 2021 ini mendirikan Teater Populer. Dari kelompok teater inilah banyak aktor lahir yang kelak ikut menguatkan dunia perfilman Indonesia.
Teguh adalah salah satu simbol double minority yang di masa hidupnya penuh tekanan akibat politik Orde Baru yang menempatkan orang-orang Cina peranakan (Tionghoa) dalam garis embarkasi yang tegas yang dibedakan dengan kalangan pribumi. Double minority adalah istilah untuk orang-orang Cina peranakan yang beragama non-muslim, terutama Katholik atau Protestan. Mereka menghadapi tekanan sebagai minoritas etnis dan agama sekaligus. Dan Teguh tetap teguh hidup dengan karyanya di jalur seni yang tak pernah goyah oleh tekanan tersebut.
Di kalangan seniman teater dan film, Teguh justru dianggap sebagai seorang tokoh seniman egaliter yang mendorong dan mengembangkan proses pembauran dalam masyarakat, minimal dalam lingkarannya dan dunia kebudayaan. Dalam kehidupan nyata maupun karya filmnya, Teguh memperlihatkan usahanya untuk berasimiliasi menjadi orang Indonesia tulen meski wana kulit dan ukuran mata tak bisa diingkari. Dalam buku Pernakaan Idealis, H Junus Jahja menulis bahwa upaya yang dilakukan Teguh itu adalah usaha dan maknanya yang paling besar dalam membangun Indonesia yang antirasialis.
Teguh terjun di dunia penyutradaraan ketika melahirkan film Wajah Seorang Laki-laki (1971). Dua tahun kemudian, 1973, untuk pertama kalinya dia mempertemukan dua maestro dunia peran Indonesia, Christine Hakim dan Slamet Rahardjo dalam film Cinta Pertama. Namun, filmnya yang kemudian dianggap laris adalah Badai Pasti Berlalu (1977) yang diangkat dari novel Marga T, dan diperankan oleh Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Roy Marten, serta Rahayu Effendi. Tahun 1979, film November 1928 yang dibintangi Slamet Rahardjo, Rachmat Hidayat, El Manik dan Yenny Rachman, mendapatkan penghargaan 7 Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun yang sama, termasuk sebagai Film Terbaik.
Film lainnya yang fenomenal adalah Pacar Ketinggalan Kereta (1989). Ini film musikal yang oleh sebagian kritikus dianggap memberikan kisah yang ringan, tetapi bermakna mendalam. Film ini diangkat dari novel berjudul Kawinnya Juminten karya Arswendo Atmowiloto. Meraih delapan penghargaan dari sebelas yang dinominasikan, film ini nyaris memenangkan Piala Citra di semua kategori utama. Yang menarik, Teguh menyatukan hampir semua bintang terbaik dan terkenal Indonesia kala itu. Mereka antara lain Tuti Indra Malaon, Rachmat Hidayat, Didi Petet, Alex Komang, Onky Alexander, Nurul Arifin, Ayu Azhari, Camelia Malik, Piet Pagau, dan sekian deretan pemeran lainnya.
Teguh memang suka membuat film drama keluarga. Namun bukan tentang keluarga biasa. Di sana dia membangun sebuah implikasi kebangsaan yang sangat kuat dan besar. Persatuan dan kebebasan adalah kekuatan cerita-ceritanya. Ada quit humanism, kemanusiaan yang diam-diam atau sunyi, yang menguar dari karya teater atau filmnya. Itulah mengapa dia sangat kecewa dengan bangunan keindonesiaan yang rapuh terkait pembauran ketika pada peristiwa Mei 1998. Saat itu, orang-orang Cina peranakan menjadi korban sentimen pribumi-pendatang. Sejak itu dia mengalami stroke dan tak bisa berkomunikasi dengan siapa pun.
Lelaki kelahiran 22 September 1937 dari pasangan Laksana Karya (Tjoan Hok) dan Naomi Yahya di Padeglang, Banten, ini, memilih tidak menikah sepanjang hidupnya. Putu Wijaya , salah satu teman seangkatannya, pernah berujar bahwa Teater Populer adalah “istrinya” dan para anggota teater adalah anak-anaknya. Teguh ingin mencurahkan hidupnya pada dunia kesenian sebagai alat perjuangannya yang menyatukan kemanusiaan dalam sebuah bangsa yang terbebas dari perbedaan oleh etnis dan agama. Meski dia melakukannya dalam sekala kecil --minimal di Teater Populer dan di balik wacana karya-karyanya seperti istilah quit humanism itu—oleh para koleganya dia dianggap berhasil. Meski akhirnya kecewa dalam skala yang lebih besar saat kerusuhan Mei 1998.
Teguh adalah contoh sebuah keteguhan seorang manusia Indonesia yang hidup dalam tekanan karena minoritasnya. Namun, salah satu rekannya, Remy Silado, menganggapnya sebagai seorang nasionalis tulen. Situs Internet Movie Database (IMDb) menyebut Teguh adalah sutradara Indonesia terbaik yang pernah ada.
“Teguh Karya adalah uhu’. Dia menjadi semacam setrum magnet yang gelombang getarannya sanggup membuat para anggota kelompok terus-menerus merasa ‘demam berkesenian’,” kata Slamet Rahardjo tentang mentornya itu.
Selama hidupnya, Teguh Karya tak pernah mengatakan dirinya seorang peranakan idealis yang berjuang keras untuk membangun Indonesia yang kuat yang terdiri dari banyak etnis dan agama ini. Dia hanya mengatakan lewat karya-karyanya bahwa bangunan kuat itu harus dimulai dari rumah kita masing-masing.***