HARY B KORIUN

Idealis

Perca | Minggu, 15 Oktober 2023 - 11:00 WIB

Idealis
Hary B Koriun (RIAU POS)

MENJADI idealis itu tidak mudah. Dalam tatanan nyata maupun dalam pikiran. Orang idealis harus siap hidup sendirian, terasing dari hiruk-pikuk banyak hal, dari libido ekonomi hingga banalnya politik. “Harus ada orang yang melawan iblis, meskipun iblis tidak akan pernah mati”, kata Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen  “Patung” yang dimuat di Kumpulan Cerpen Iblis Tak Pernah Mati. Sebuah kalimat penuh makna, bahwa tetap harus ada orang baik, orang idealis, orang yang mau berjuang untuk orang lain, orang yang mau mengorbankan hidupnya untuk melawan ketidakadilan dan ketidak benaran. Meski itu hanya dalam pikiran.

Dalam catatan hariannya yang kemudian diterbitkan menjadi buku Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie menulis: “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”.  

Baca Juga : Pers Bebas

Dia membenci  gaya hidup hidup pejabat di pemerintahan Soekarno –dia melihat ada orang kelaparan dan harus memakan kulit mangga, hanya beberapa ratus meter dari Istana Negara--  namun setelah Soekarno tumbang, dia mengkritik teman-temannya  yang menyeberang ke kekuasaan, Soeharto. Pendiriannya yang tak pernah kompromi membuat dia dikucilkan, bahkan oleh kawan-kawan seperjuangan sendiri yang akhirnya menikmati kemewahan secara politik dan ekonomi.

Banyak orang yang memilih jalan idealisme yang akhirnya terbuang dari masyarakatnya sendiri. Namun, mereka tetap dikenang dan dicatat dalam sejarah. Dan jika pun tidak tercatat, mereka tetap punya teman-teman yang akan selalu mengingatnya.

Tahun 2020, Dr Wannofri  Samry menerbitkan buku puisi berjudul Yang Memelihara Kecoak dalam Kepala. Isinya adalah puisi-puisinya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Puisi-puisi tersebut memperlihatkan kematangan seorang Wannofri, baik sebagai manusia maupun sebagai akademisi. Wannofri memperlihatkan bahwa dia sudah “selesai” dengan diri sendiri. Persoalan-persoalan personal tentang kesepian, kerinduan, kegundahan, dan sebagainya, nyaris tak ada dalam puisinya. 

Seperti halnya jurnalisme yang harus selalu berpihak pada kebenaran dan pihak-pihak yang dimarjinalkan, dunia akademisi juga dituntut selalu berada pada posisi netral, dan jika harus memihak, maka kebenaran adalah yang harus dipilih. Sebagai seorang sejarawan yang juga dituntut harus netral dalam mengungkapkan kebenaran, puisi-puisi ini telah memperlihatkan hal itu. Ini bisa dipahami dari latar belakang Wannofri yang pernah menjadi jurnalis dan kini menjadi seorang akademisi di bidang sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas, Padang. Ketiga hal itu, terlihat, tetap dijaga lelaki kelahiran 50 Kota dan besar di Payakumbuh, Sumatra Barat, ini.

Baca Juga : Al azhar (2)

Idealisme yang ada dalam pikirannya dan kemudian ditulis dalam larik-larik puisinya ini menjelaskan banyak hal. Jika dikohorelasikan dengan babakan kronologis waktu, Wannofri tetap berada pada posisinya dari awal: kritis dan tak goyah oleh waktu. 

Jika diikuti perjalanan kepenyairannya, kita akan tahu hal itu. Sejak masih mahasiswa dan puisi-puisinya termuat dalam banyak media seperti Media Indonesia, Mutiara, Kompas, Singgalang, Haluan, Semangat, Padang Ekspres, Riau Pos, Menyimak, Lampung Pos, Jurnal Puisi, Jurnal Nasional, Republika dan yang lainnya, dan kemudian juga dibukukan dalam antologi bersama seperti  Rantak 8: Antologi Puisi Penyair dari Sumatera Barat (1991), Rumpun: Antologi Penyair Muda Sumatera Barat (1992), Antologi Penyair Sumatera Barat (1993), Puisi Indonesia 1997 (1997), Mahaduka Aceh (2006), Patah Tumbuh Hilang Berganti (2015), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia (2015), Yogya dalam Nafasku (Puisi Indoensia Malaysia) (2016),  Matahari Cinta Samudra Kata  2016),  Antologi Jazirah 1 (2018), Jazirah 2 Segara Sakti Rantau Bertuah  (2019) dll, terlihat konsistensi yang tak pernah berubah: kritis pada persoalan sosial sebagai akibat dari pemerintahan yang abai kepada masyarakatnya. 

Meski kuliah dan kemudian menjadi dosen sejarah di almamaternya, Wannofri tak bisa lepas dari sastra. Terutama puisi. Dia menulisnya sejak masih di bangku SMA, saat kuliah, dan tak berhenti hingga kini ketika dia sudah bergelar doctor ilmu sejarah. Bagi Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumbar ini, puisi sudah tak terpisahkan dalam hidupnya. Di almamaternya, dia memperjuangkan beberapa matakuliah yang sebenarnya agak “berbeda” dengan sejarah, salah satunya Menulis Kreatif. Dia yang langsung mengampu matakuliah tersebut. Bahan-bahan kuliahnya berasal dari karya-karya sastra –baik puisi maupun prosa— yang punya “bau” sejarah.

“Mahasiswa sejarah juga harus memahami karya sastra,” ujarnya suatu kali.

Wannofri memberi contoh. Sejarawan besar Indonesia, Dr Kuntowijoyo, misalnya, adalah salah seorang prosais kuat, baik cerpen maupun novel. Pemahaman sejarah membuat karya-karya Kuntowijoyo begitu kuat dan kaya. Dia menyebut beberapa karya satra Kunto seperti novel Pasar dan Mantra Penjinak Ular, atau cerpen-cerpen seperti “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, “Pistol Perdamaian”, “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”, “Khotbah di Atas Bukit”, dll. Di luar sastra, Kunto telah menulis puluhan buku tentang sejarah sosial yang menjadi bacaan wajib mahasiswa seperti Sejarah Sosial, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Radikalisasi Petani, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura, dll.

Wannofri bukanlah Soe Hok Gie atau Hariman Siregar dalam dunia aktivis mahasiswa, atau WS Rendra yang sangat dikenal garang dalam persoalan ketidakadilan sosial dalam puisi-puisinya. Namun dalam puisi-puisinya, dalam ketenangan diksi dan kalimatnya, Wannofri telah memberinya ruh, yang bisa menjelaskan babakan waktu perjalanan sejarah bangsa ini tanpa harus menulis karya sejarah penuh angka-angka tahun dan fakta-fakta yang kadang selalu menjadi perdebatan.

Baca Juga : Teguh

Puisi-puisi dalam bukunya itu memperlihatkan kegundahan seorang Wannofri  pada kondisi sosial masyarakat hari ini yang lama menjadi perenungannya. Kerusakan multidimensional yang terjadi karena ketidakadilan sosial, kebanalan politik, hingga pandemi virus yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan semua orang.

Puisi-puisi Wannofri bisa menjadi perenungan dan refleksi kita bersama dalam memandang dan merasakan sendiri sebagai masyarakat sebuah bangsa yang belum bisa belajar dari sejarah dan semua persoalan yang pernah terjadi, meski tanpa menghilangkan rasa optimisme bahwa ke depan semuanya akan lebih baik.***


 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook