HARY B KORIUN

Napoleon (2)

Perca | Minggu, 24 Desember 2023 - 12:18 WIB

Napoleon (2)
Hary B Koriun (RIAU POS)

NAPOLEON Bonaparte adalah paradoks. Dia bisa dianggap seorang jendral terbesar dalam sejarah Prancis maupun dunia, terlepas dari beberapa kekalahan perangnya. Termasuk yang terakhir dalam perang di Waterloo yang membuatnya ditawan Inggris dan dibuang di St Helena hingga meninggal di sana. Namun, “kekonyolannya” dalam perang di Mesir –dia pulang ke Paris dan meninggalkan pasukannya di sana— dan penyerbuan di Rusia, membuatnya banyak diremehkan sebagai seorang ahli strategi perang.

Penyerbuan ke Rusia tahun 1912 –padahal dia sudah bersumpah dengan Tsar Rusia bahwa mereka akan menjadi sahabat abadi— adalah blunder yang akan diingat orang sepanjang massa. Dalam film Napoleon, sutradara Ridley Scott menggambarkannya dengan begitu mudahnya Grande Armee pimpinan Napoleon memasuki Moskow yang kosong. Tak ada tentara di sana, penduduknya juga tak terlihat banyak. Dengan mudah dia menguasai istana Tsar Rusia dan Moskow secara keseluruhan. Namun, esok harinya, istana dan beberapa tempat strategis di Moskow dibakar oleh tentara Rusia.

Baca Juga : Ambigu

Setelah itu, selama lima pekan, Napoleon tetap menunggu pasukan Rusia akan datang kepadanya dan meminta perdamaian. Namun, harapannya itu salah dan tak terkabul. Napoleon kemudian menyadari bahwa dia harus menarik pasukannya kembali ke Paris. Sayangnya, semua sudah terlambat. Musim dingin yang ekstrem, kombinasi serangan tentara Rusia yang sangat memahami strategi perang di atas salju, dan pasokan makanan yang tak cukup, membuat ribuan tentara Napoleon mati sia-sia. Kurang 10 persen tentara Prancis yang bisa keluar dari Rusia dalam keadaan hidup.

Kefatalan kesalahan strategi di Moskow ini membuat beberapa negara Eropa yang selama ini merasa berada dalam tekanan –meski sebelumnya menjadi sahabat baik—seperti Austria dan Prusia –kini berada di wilayah Jerman dan beberapa negara lainnya seperti Lhituania, Polandia, dan beberapa negara lainnya— mulai sadar bahwa Napoleon mulai melemah. Mereka kemudian menggabungkan kekuatannya dan memenangkan perang melawan Napoleon di Leipzig –pernah menjadi ibu kota Jerman Timur— pada Oktober 1813. Kekalahan ini berdampak besar bagi Napoleon. Setahun kemudian dia meletakkan jabatan sebagai Kaisar dan Panglima Perang Prancis. Dia dibuang di Pulau Elba, sebuah pulau kecil yang sekarang masuk wilayah Italia.


Napoleon melarikan diri dari Elba pada 1815 dan kembali ke Paris. Para pendukungnya yang masih setia mengembalikannya pada tampuk pimpinan tertinggi di Prancis. Sayangnya, dia melakukan blunder lagi dengan kembali salah perhitungan setelah seratus hari kembali berkuasa, saat menghadapi aliansi Eropa yang sudah tak suka padanya, yakni Austria, Prusia, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Perang di Waterloo –kini masuk wilayah Belgia--  itulah yang mengakhiri kekuasaannya sebagai salah satu pemimpin besar Prancis.

Banyak orang menyamakan Napoleon dengan Hitler. Jika dilihat dari banyaknya rakyat dan tentara yang tewas selama keduanya berkuasa, barangkali memang benar. Jumlah hanyalah sebuah angka. Selama berkuasa dan melakukan berbagai perang, Napoleon telah mengorbankan sekitar 500 ribu tentaranya. Jumlah ini “tidak ada apa-apanya” dibanding Hitler yang mengorbankan lebih dari 8 juta tentaranya selama berkuasa. Ini belum jutaan orang sipil yang tewas di camp-camp konsentrasi Nazi –sebagian untuk pembunuhan massal orang Yahudi--  yang menjadi bagian dari idelogi ras-nya.

Baca Juga : Al azhar (1)

Namun, ada perbedaan signifikan dari keduanya. Hitler melakukan semuanya karena ideologi yang menyeramkan, yang ingin menghabisi orang Yahudi di mana pun berada, terutama di wilayah kekuasaannya dan negara-negara sekitar yang ditaklukkannya seperti di Polandia, Ceko, Slovakia, Rumania, Hongaria, dan negara lainnya. Ideologi ras Hitler --yang dikenal dengan die Herrenrasse— ingin menjadikan ras Nordik atau Arya, sebagai ras paling unggul, mengikuti sejarah lama mereka. Konsep yang kemudian dikenal dengan Nordikisme ini sangat menakutkan karena mereka yang tinggal di Jerman sebagai orang Jerman harus punya “Sertifikat Aryan Lesser” (Kleiner Ariernachweis) yang dapat diperoleh melalui Ahnenpass yang mengharuskan pemohon dokumen untuk menelusuri garis keturunannya melalui surat baptis, akta lahir, atau bukti sah lain bahwa semua kakek-neneknya adalah “keturunan Arya”. Dan Hitler tahu, salah satu ras unggul yang bisa mengalahkan mereka dalam hal pemikiran adalah orang-orang Yahudi. Itulah mengapa bangsa pertama yang harus dihabisinya dengan sangat bengis adalah Yahudi.

Sementara itu, Napoleon tak menggunakan ideologi apa pun saat menyerang banyak negara. Dia hanya ingin Prancis yang besar dan ditakuti di Eropa dan dunia. Ini lebih pada obsesif-egoistik dirinya sebagai seorang  yang sejak kecil dipandang remeh karena badannya yang kuntet/kerdil. Tak ada satu pun peristiwa selama Napoleon berkuasa yang dapat dibandingkan dengan apa yang dilakukan Hitler. Napoleon tak pernah melakukan pembantaian terhadap kelompok manusia hanya karena berbeda ras dan ideologi. Semuanya terjadi karena di medan perang.

Menyaksikan film Napoleon, membawa kita pada teks-teks sejarah ke layar lebar. Teks-teks itu dialihwahanakan oleh Scott dengan tetap menjadikan Napoleon sebagai manusia. Dalam narasi sejarah yang menjelaskan seolah Napoleon adalah lelaki haus darah dan kekuasaan, Socott menampilan sisi lainnya. Yakni rasa cinta, penghormatan terhadap orang lain, etika hidupnya, kecengengannya yang suka terlarut dalam kesedihan dan tangis, juga ketakutan-ketakutannya yang muncul sebelum memimpin pasukan untuk melakukan penaklukan.***
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook