KETIKA era Reformasi bergulir dengan ditandai jatuhnya pemerintahan otoriter selama 30 tahun lebih era Orde Baru di bawah tangan besi Presiden Soeharto pada Mei 1998, pers Indonesia juga mengalami “bulan madu”. Kebijakan Presiden BJ Habibie melalui Menteri Penerangan M Yunus Yosfiah yang membebaskan siapa pun untuk mendirikan lembaga penerbitan pers dengan tak memberlakukan lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang selama Orde Baru –sebelum menjadi SIUPP, perizinan untuk mendirikan lembaga penerbitan adalah Surat Izin Terbit (SIT)— menjadi musuh besar pers, disambut baik banyak kalangan. Ada harapan demokrasi akan berkembang dan hidup di Indonesia dengan adanya kebebasan pers.
Apa hubungan pers dengan perkembangan demokrasi? Sejak pers bebas/liberal (libertarian press) benar-benar terjadi di Amerika Serikat dan Eropa di abad ke-19, pers dianggap menjadi pilar keempat kekuasaan/demokrasi (the fourth estate) setelah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam hal ini, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali negara, bisa menyuarakan kebenaran kepada masyarakat, dan mengembangkan gagasan dan ide-ide tanpa ancaman pihak manapun. Pers dikontrol oleh diri sendiri, oleh masyarakat sebagai “pasar” dari produk pers, dan oleh pengadilan. Maka yang terjadi, pers harus bisa memilah dan menentukan kelayakan suatu berita: apakah itu layak untuk masyarakat dan tidak berpretensi menimbulkan masalah hukum. Libertarian Theory (Teori Pers Liberal) yang digagas oleh John Milton dkk inilah yang menjadi landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Pers yang bisa “merayu” masyarakat dengan produknya, akan hidup dan berkembang, sementara pers yang tak inovatif dan konvensional akan ditinggalkan pembacanya, dan pada akhirnya akan mati.
Sayangnya, pers bebas di era ini hanya mementingkan “pasar” sebagai basisnya, yang berarti hanya memberikan berita-berita sensasional, hiburan, dan berita-berita yang dianggap hanya menyenangkan orang. Pers bebas dianggap tidak memberikan kebajikan kepada masyarakat banyak dan tak mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Intinya, pers bebas tak tertarik pada kepentingan masyarakat, tak berminat mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah/penguasa, dan hanya mencari keuntungan sendiri.
Kegalauan banyak pihak tentang egoisme pers bebas yang mementingkan diri sendiri ini memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang kemudian melahirkan Social Responsibility Teory (Teori Pers Bebas Bertanggung Jawab), yang merupakan pembenahan atau perbaikan dari pers liberal. Pers bebas bertanggung jawab ini dipelopori oleh Robert Hutchins dan beberapa pemikir pers lainnya yang pada tahun 1949 membuat formulasi tentang pers bebas bertanggung jawab dalam laporan bertajuk Commision on the Freedom of the Press. Komisi ini kemudian dikenal dalam sejarah pers sebagai Hutchins Commission (Komisi Hutchins), yang memberikan 5 hal sebagai syarat bagi pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat.
Pertama, media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikan makna. Pemahaman dari syarat ini adalah bahwa media harus akurat dalam pemberitaannya, tidak boleh bohong, bisa memisahkan antara fakta dan opini secara baik, dan melaporkan peristiwa dengan mendalam dan detail agar tidak menyesatkan pembaca. Kedua, media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. Artinya, media harus menjadi sarana bagi masyarakat umum dan bukan hanya berisi tentang gagasan-gagasan pengelola pers itu sendiri, tetapi gagasan yang muncul di masyarakat meskipun bertentangan dengan gagasan pengelola pers sendiri.
Ketiga, media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen delam masyarakat. Ketika gambaran yang disajikan tentang suatu kelompok sosial dalam masyarakat salah, maka yang muncul adalah pendapat yang menyesatkan tentang kelompok-kelompok tersebut. Kebenaran tentang kelompok-kelompok manapun harus terwakili, yang mencakup nilai dan aspirasi kelompok, dan tetap melihat sisi kelemahan dan sifat buruk kelompok tersebut. Keempat, media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-bilai masyarakat. Sebagai instrumen pendidikan, media harus memikul tanggung jawab untuk menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan oleh masyarakat. Dan kelima, media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi tersembunyi pada suatu saat. Artinya, berita atau opini yang muncul tentang peristiwa-peristiwa, bisa didistribusikan secara luas.
Apa yang dikemukakan Komisi Hutchins ini menjadi dasar bagi terciptanya sebuah pers bebas bertanggung jawab sosial yang memang menjadi cita-cita pers di manapun, dan berupaya meninggalkan pers liberal yang tak berpihak kepada masyarakat dan hanya menjadikan kebebasan pers untuk keuntungan pers itu sendiri. Sekitar 6-7 tahun setelah lima syarat dari Komisi Hutchins itu disiarkan, barulah sekitar tahun 1956 pers Amerika Serikat meninggalkan pers liberal dan bergeser ke pers bebas bertanggung jawab sosial. Pada tahun ini, tiga guru besar komunikasi Universitas Illinois, yakni Frederich Siebert, T Peterson, dan Wilbur Schramm, menerbitkan buku Four Theories of the Press. Mereka bertiga merumuskan enam fungsi pers yang merupakan perbaikan dan penyederhanaan ide-ide Komisi Hutchins yang masih dianggap sumir.
Keenam fungsi pers itu adalah, pertama, melayani sistem politik yang memungkinkan informasi, diskusi, dan konsiderasi tentang masalah-masalah publik dapat diakses oleh masyarakat. Kedua, memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi kepentingannya sendiri. Ketiga, melindungi hak-hak individu dengan bertindak sebagai watchdog (anjing penjaga) terhadap pemerintah. Keempat, melayani sistem ekonomi, misalnya dengan mempertemukan pembeli dan penjual melalui media iklan. Kelima, memberikan hiburan (dengan hiburan yang “baik”, apa pun hiburan itu). Dan keenam, memelihara otonomi di bidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan kepada kepentingan-kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu.
Hari ini, ketika terjadi distrubsi media, apakah hal-hal seperti itu masih dihargai oleh para pengelola pers? Bahkan, banyak pengelola pers yang tak memahami hakikat pers itu sendiri.***