DI lain waktu, kami bertemu di Anjungan BM Syam. Kantor Yayasan Bandar Serai pindah ke sana karena yang di anjungan utama sudah dirubuhkan. Ketika itu kami ngobrol bertiga dengan Henk Meyer, peneliti budaya dan bahasa Melayu dari Belanda yang tinggal di Amerika Serikat (AS). Kami bicara bertiga tentang identitas. Meyer membaca novel saya, Nyanyian Batanghari. Dia bertanya dari mana saya berasal. Saya bilang, panjang ceritanya.
Saya lahir di Pati, Jawa Tengah, besar di Rimbo Bujang, Bungo Tebo (kini Tebo), Jambi, kuliah di Padang, pernah tinggal di Jakarta sebelum menetap di Pekanbaru. Meyer bertanya, kalau begitu, identitas saya apa. Saya bilang, tetap Jawa. Orang Jawa yang besar di Sumatra dan sekarang tinggal di Pekanbaru. Meyer bertanya lagi, apa yang saya rasakan sebagai orang Jawa yang menetap di Riau. Saya bilang, sama ketika saya menetap di Jambi saat keluarga saya menjadi transmigran di sana, atau saat tinggal studi di Padang, juga saat tinggal karena bekerja di Jakarta. Saya merasa selalu menjadi bagian dari daerah di mana saya tinggal.
“Bukankah pada intinya, kamu adalah orang Indonesia, dan kamu harus bangga dengan hal itu…” ujar lelaki yang kini sudah menjadi profesor tersebut.
Betul, dan itu yang membuat saya selalu nyaman tinggal di mana pun. Tetapi, identitas saya sebagai orang Riau dengan KTP Pekanbaru, membuat saya juga sangat nyaman. Saya bekerja dan bekerja di Riau dan bangga menjadi orang Riau. Dan saya merasa tak ada persoalan atau masalah dengan keriauan yang saya akui meski secara etnis saya tetap Jawa dengan bahasa ibu saya yang tak bisa saya lepaskan.
Meyer kemudian mengatakan bahwa hal yang sama juga dia alami. Sebagai orang Belanda lama tinggal di Malaysia, Indonesia, dan kemudian di AS, dia juga mengalami “keraguan” identitas. Dia harus meninggalkan tanah kelahiran dan bahasa ibunya, Belanda, saat tinggal di negara-negara tersebut, termasuk harus berbahasa Inggris saat tinggal di AS. Menurutnya, meragukan identitas sendiri itu penting, agar kita tetap paham siapa kita. Tetapi tidak harus kecewa karena meninggalkan identitas asli kita, termasuk tak bisa bicara dengan bahasa ibu kita.
“Orang yang hidup berpindah-pindah seperti kita sama-sama merasakan hal itu, tetapi bagi saya itu sebuah anugerah karena kita menjadi bagian dari identitas orang lain di mana pun berada yang tak semua orang pernah merasakannya,” kata Meyer.
Ketika kami asyik bicara tentang identitas itu sambil banyak tertawa, Bang Al azhar mengatakan bahwa dia pernah merasakan hal tersebut ketika kuliah di Belanda dan tinggal di beberapa wilayah lainnya. Di Belanda, dia tak bisa bicara Melayu. Hanya kadang-kadang kalau bertemu dengan rekan asal Riau atau Malaysia di sana. Dia harus berkomunikasi dengan bahasa Belanda atau Inggris dengan orang lain, dan itu kadang membuatnya bosan.
“Tetapi, apakah saya kehilangan identitas? Tidak. Saya tetap Melayu, tetap Indonesia di mana pun berada,” ujarnya.
Bang Al kemudian bicara tentang perbedaan –baik etnis maupun bahasa— yang kadang-kadang dibesar-besarkan hanya untuk mengatakan bahwa kita, juga orang lain, berbeda. Di Riau, katanya, juga di banyak wilayah dan negara, orang-orang seperti itu selalu ada. Mereka menepuk dada dengan kebesaran suku dan etnisnya dan menganggap yang lain kecil. Padahal perbedaan, liyan, the other, adalah hal biasa yang justru akan membangun kekuatan dan kesadaran bahwa perbedaan itu adalah sebuah anugerah.
Dalam sastra Riau, katanya, orang-orang yang “berbeda” atau “setengah berbeda” tersebut, lumayan banyak. Dia menyebut nama Marhalim Zaini yang darahnya kacukan Jawa-Melayu. Atau Olyrinson yang berdarah Tionghoa dan terpengaruh kental budaya Minangkabau di Payakumbuh. Atau yang lebih lama, Soeman Hs. Juga banyak seniman dan sastrawan lainnya. Namun, menurut Bang Al, tidak lantas mereka tidak mencintai Melayu. Justru mereka bekerja keras menjadikan Melayu sebagai bagian penting dalam hidupnya.
“Saya banyak berjumpa dengan orang-orang seperti itu dan saya senang karena mereka tak mempermasalahkan soal darah. Mereka tetap berakar di Riau dan berkarya untuk Riau. Ini yang paling penting,” ujarnya.
Saya merasa sedih ketika mendengar Bang Al sakit keras, melakukan operasi, dan kemudian meninggal. Saya sedang tidak di Pekanbaru ketika itu sehingga tidak bisa ikut mengantar jasadnya ke pemakaman. Saya hanya berdoa semoga orang sebaik beliau mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah Swt. Orang yang sangat menghargai siapa pun lawan bicara. Yang setiap berjumpa selalu bilang bahwa saya si kepala batu dan candaan lainnya yang kadang membuat saya berpikir, apakah betul saya kepala batu.
Saya bersyukur pernah berteman dengannya. Ketika dia memberi saya sebuah novel karya Ismail Marahimin berjudul Dan Perang pun Usai, saya merasa dia sangat menghargai saya, karena ternyata itu satu-satunya koleksinya. Setiap membaca buku itu, menjadi sentimental dan mengingat betapa saya mengenal orang-orang baik seperti Bang Al di mana pun saya pernah tinggal.***