SAYA lupa kapan persisnya berkenalan langsung dengan Bang Al azhar. Hubungan kami pun tidak terlalu akrab, misalnya, seperti dengan Marhalim Zaini, Olyrinson atau teman-teman lain di Komunitas Paragraf. Dan saya tak pernah memandai-mandai bahwa saya sangat akrab dengannya. Tetapi, ada satu hal yang membuat saya merasa terhormat saat membangun sebuah relasi dengannya, yakni bagaimana dia menghargai saya dengan cara “berbeda”.
Tetapi, begini, di suatu hari pada tahun 2006, ketika novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri dinyatakan sebagai peraih Ganti Award I tahun 2005, dia mengubungi saya secara langsung. Dia mengajak ketemu di kantornya, Yayasan Bandar Serai, yang ketika itu masih berupa bangunan bekas MTQ di sisi depan, yang sekarang sudah dirobohkan.
Dia mengaku terus terang tak mengenal nama saya sebelumnya di blantika sastra Riau atau sastra Indonesia. Dia mengaku terkejut bahwa novel yang menang tersebut ternyata bukan novel pertama yang saya tulis --novel ketiga setelah Nyanyian Batanghari dan Jejak Hujan. Dia penasaran dengan novel-novel saya sebelumnya dan dia minta salah satu dari novel yang saya tulis tersebut --pada kesempatan berikutnya saya kemudian memberikan novel Nyanyian Batanghari kepadanya.
Dia penasaran karena saya menulis dengan “rasa” yang lain dari ide perlawanan dalam Nyanyi Sunyi dari Indragiri --yang sebenarnya juga sudah saya lakukan pada Nyanyian Batanghari. Dia bilang membaca novel-novel Emile Zola atau para novelis dunia yang menjadikan perlawanan sebagai ide ceritanya seperti Leo Tolstoy, Honore de Balzac, Victor Hugo dan lainnya.
“Dengan setting di Riau, ceritamu seperti nyata, karena dekat…” katanya ketika itu. “Itu berbeda dengan gaya Taufik Ikram Jamil atau Ediruslan PE Amanriza dalam menyuarakan ketidakadilan yang didapat masyarakat Riau,” sambungnya.
Jelas, saya merasa tersanjung dibilang begitu oleh seseorang yang kemudian saya tahu salah satu pemikir adiluhung budaya di Riau. Saya juga merasa jauh jika dibandingkan dengan dua penulis pesohor dan keren Riau tersebut yang sejak saya mahasiswa karya-karyanya sudah saya kagumi. Tidak mungkin novel saya setara dengan Hembasan Gelombang, Gelombang Sunyi, atau Dikalahkan San Sapurba.
Saya kemudian menjelaskan kepadanya bahwa saya terpengaruh --atau tepatnya terprovokasi—oleh dosen matakuliah Sejarah Gerakan Sosial saat kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unand. Dr Wannofri Samry. Dia mengajarkan pola-pola dasar gerakan sosial yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia dan dunia. Meski tidak mendalam, beberapa buku tulisan Dr Kuntowijoyo Radikalisasi Petani, atau buku Prof Sartono Kartodirdjo seperti Pemberontakan Petani Banten 1888 dan Ratu Adil, sangat berpengaruh dalam pikiran saya.
“Tapi kamu membenturkan ketidaksetaraan, seperti Marxisme... Dan tokohnya cenderung prototipe dari Tan Malaka: keras kepala, petualang, kesepian, sendirian...”
Di situ saya baru menyadari hal tersebut. Bahwa apa yang terjadi pada masa Orde Baru yang menjadikan pembangunan ekonomi sebagai panglima dan swasembada pangan sebagai sesuatu yang selalu disebut, dengan pagar betis yang keras oleh ABRI, bukankah juga bicara tentang ketidaksetaraan? Bagaimana bisa setara antara perusahaan sawit dengan petani pemilik kebun 1-2 hektare? Bagaimana bisa dibilang setara antara perusahaan pemilik izin HPH atau yang ilegal dengan para perambah yang hanya menggarap 1-2 hektare? Atau pada kondisi terkini: jangan bilang ada kesetaraan ketika perusahaan besar membakar hutan, sementara yang selalu ditangkap adalah masyarakat yang hanya membakar lahan yang mungkin tidak sampai satu hektare, tetapi dianggap penyebab seluruh langit Riau dikepung jerebu. Dan sebagainya. Apakah suara yang mengatakan ketidaksetaraan agar setara, harus dikatakan Marxisme? Justru ketika Boris Pasternak menulis Doctor Zhivago, dia malah dikejar-kejar para intel Joseph Stalin karena dianggap antikomunisme Uni Soviet, yang pasti pengembang ideologi Marxisme.
“Maksudnya bukan begitu. Suara menuntut keadilan itu pasti berasal dari ketidakadilan itu sendiri, tetapi apakah kamu tidak takut dianggap penganut Marxisme oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang Marxisme itu sendiri?”
Kami hanya berdua di dalam ruangannya ketika itu. Seorang sekretarisnya yang keluar-masuk mengganti kopi kami, berada di luar. Dan saya menjelaskan bahwa apa yang saya tulis adalah apa yang saya lihat, bahkan saya rasakan. Ada proses mengalami yang mungkin tidak dialami penulis lain yang membentuk saya dalam menulis. Kehidupan berat secara ekonomi sejak kecil meski hidup di zaman gemah ripah loh jinawi subur makmur ketaraharja era Soeharto, membuat saya selalu tertarik dengan ide-ide perlawanan tersebut. Bagi saya menulis prosa bukan persoalan kata dan kalimat indah, tetapi tentang apa yang bisa kita sampaikan kepada pembaca tentang sebuah ketidaknyamanan yang terjadi, baik yang dilihat atau dirasakan langsung.
Sambil bersoloroh, dia mengatakan saya kepala batu juga. Katanya, orang-orang kepala batu itu banyak tidak disenangi orang karena dia selain keras kepada orang lain, juga akan keras kepada dirinya sendiri. Tidak mau kompromi. Hal itu tercermin dalam karakter tokoh dalam Nyanyi Sunyi dari Indragiri yang akhirnya memprovokasi masyarakat desanya membakar perusahaan HPH di kampungnya karena telah membuat mereka menderita. Kebanjiran saat musim hujan dan kekurangan air saat musim panas karena hutan dibabat berbekal izin dari negara.
“Saya senang ada penulis muda seperti kamu di Riau ini, yang menjadikan menulis sebagai alat untuk melawan…” kata Bang Al kemudian.***