HARY B KORIUN

Ambigu

Perca | Minggu, 19 November 2023 - 11:53 WIB

Ambigu
Hary B Koriun (RIAU POS)

KITA adalah potret masya­rakat yang ambigu, anomali, berstandar ganda, yang sadar atau tidak berada di persimpangan. Pikiran dan laku kita adalah potret dari kegalauan, atau bahkan ketidaksiapan, menghadapi  zaman yang selalu bergerak sangat cepat dan dinamis. Gerbong-gerbong kereta zaman yang berjalan sangat cepat ini akan meninggalkan kita jauh di belakang jika tak berada di dalamnya, dan akan membawa ke arah entah yang kita tak tahu tujuannya ketika kita menjadi bagiannya. Keduanya adalah pilihan, yang sama-sama tak enak, sekaligus sama-sama memberi harapan, meskipun tak pasti.

Potret diri inilah yang selalu menimbulkan kegelisahan. Kaki kita yang satu berada pada sebuah dunia yang amat modern --yang selalu diklaim berasal dari Barat--  sementara kaki yang lain tetap berada di pijakan diri, pada muasal, pada kultural tradisional. Pada apa yang disebut sebagai Timur: segala yang bertentangan dengan modernitas atau bahkan post-modernitas, yang di dalamnya bermukim ideologi-ideologi besar yang selama ini terasa dekat, tetapi sebenarnya amat jauh. Demokrasi, liberalisme, kapitalisme, dll.

Baca Juga : Pers Bebas

Kita sering lupa, atau memang sengaja melupakan(?), bahwa pijakan dari tanah asal, tanah lahir, dan segala yang berbau asli dan tradisi amatlah penting sebagai bekal untuk menghadapi –apakah memang saling berhadapan, atau sebenarnya bisa diasimilasi atau disiasati?--   ideologi-ideologi besar itu. Kita sering ragu dengan para “pembenci” ideologi Barat itu, yang selalu berkampanye anti-kapitalisme, anti-liberalisme, atau bahkan anti-demokrasi yang menjadi bungkus dari semua “bau” Barat itu, karena sebenarnya semua “bau” itu ada dalam dirinya.

Kita berteriak kapitalisme dan liberalisme --juga demokrasi yang menjadi simbol globalisme-- tak cocok dengan nilai-nilai dasar Timur  (tradisional) yang kita miliki, tetapi segala atribut yang kita pakai semuanya serba-Barat. Mulai dari sepatu Nike atau Adidas yang ada di kaki kita;  jins Wrangler, Lea atau Levi’s yang membungkus setengah badan kita; segala merek baju yang menjadi simbol Barat, segala wewangian, telepon genggam yang tak bisa lepas dari tubuh kita;  atau bahkan istilah-istilah asing yang tak pernah bisa kita hentikan keluar dari segala orasi mulut dan lidah kita saat memaki hamun ideologi-ideologi tersebut.

Ambiguitas seperti ini adalah paradoks dari segala sistem yang lahir,  tumbuh, dan berkembang dalam diri kita, baik sebagai individu maupun sebagai sebuah bangsa. Sistem ekonomi perbankan yang selama ini dianggap sangat liberalis dan kapitalis, telah mendarah-daging. Munculnya bank berbandrol “syariah”, ternyata tak menjamin jika benda itu tak terkooptasi liberalisme dan kapitalisme. Sistem bagi hasil yang ditawarkan, ternyata pada kenyataannya tak jauh berbeda dengan sistem bunga yang dianggap riba. Di luar itu, tengoklah, siapa saja yang menjadi pemegang saham bank-bank syariah tersebut, ternyata juga banyak orang asing yang selama ini lekat dengan kapitalisme yang seakan menjadi musuh besar itu.

Itulah yang kemudian menjadi sebuah ketakutan yang luar biasa pada masyarakat tradisional yang selama ini jauh dari ideologi besar tersebut. Para petani tradisional, misalnya, yang selama ini hidup dengan etika subsistensi, yang menjadi unit produksi sekaligus unit konsumsi  --misalnya padi atau palawija yang ditanam yang penting bisa menghidupi keluarga mereka hingga musim panen berikutnya,  sehingga jika terjadi kegagalan panen akan berakibat fatal bagi perekonomian keluarga itu--  yang tak mengenal sistem bank dan yang lainnya, lama-lama harus menghadapi kenyataan bahwa suatu saat mereka akan kehilangan tanah sendiri atau tanah garapan milik orang lain, yang menopang perekonomian keluarga atau komunal mereka. Gelombang modal besar yang datang dari  perusahaan-perusahaan perkebunan adalah ancaman nyata dari  etika subsistensi tersebut. Kenyataan ini, saat ini, ada di depan mata kita. Di tengah desakan modal raksasa itu, ke mana para petani tradisional kita? Riau adalah sebuah kanvas besar tentang hancurnya ekonomi tradisional oleh modal besar itu. Dan, apa yang bisa kita lakukan dalam membendung gelombang ini?

Baca Juga : Al azhar (1)


Di masa lalu --seperti banyak studi yang dilakukan oleh James C Scott di beberapa negara Asia Tenggara--  dalam kondisi terjepit karena etika ekonomi subsistensinya terancam, para petani melakukan perlawanan, baik dalam skala kecil maupun besar. Di Indonesia, baik di masa kolonial atau saat kemerdekaan sudah didapat, pergolakan-pergolakan berbasis petani, sering terjadi. Di Riau, di masa lampau atau kini, gerakan-gerakan sosial massa pedesaan berbasis petani (pekebun) juga sering terjadi, melawan perusahaan-perusahaan besar, karena lahan garapan mereka terancam. Tetapi, seperti banyak kasus yang terjadi, selalu saja “kekalahan” yang terus terulang didapat masyarakat subsistensi.

Baca Juga : Napoleon (2)

“Kekalahan” ternyata bukan hanya milik masyarakat petani seperti yang ditulis Scott, tetapi juga pada masyarakat yang lebih terpelajar (masyarakat perkotaan dan para intelektual) dan tak menggantungkan dirinya pada ekonomi subsistensi. Yang terjadi kemudian adalah adanya paradigma kompromi, bahwa ideologi-ideologi modern (Barat) tersebut tidak harus serta-merta dilawan dengan brutal dan sporadis, tetapi dipahami sebagai sebuah sistem yang bisa dicangkok atau dikloning dengan kearifan lokal. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan ambiguitas tersebut yang membuat kita menjadi benci sekaligus sayang dengan ideologi-ideologi tersebut.

Potret ini, setidaknya, muncul dalam kehidupan beragama kita, saat Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri bagi umat muslim. Islam menyarankan kesederhanaan bagi kita saat berbuka dan bersahur, juga saat merayakan Idul Fitri. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa tingkat konsumsi masyarakat muslim justru selalu tinggi di saat Ramadhan dan Idul Fitri. Dengan begini, apakah perbenturan Barat versus Timur dan modern versus tradisional akan terus terjadi sebagai sebuah dialektika sebagaimana perang ideologi selayaknya dalam Perang Dingin di masa lalu? Kompromi yang memunculkan ambiguitas, nampaknya, adalah jalan tengah yang kini diyakini masyarakat sebagai jalan keluarnya.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook