M BADRI adalah lelaki yang penuh dengan kenangan. Itulah yang pertama kali muncul dalam pikiran saya ketika membaca cerpen-cerpennya dalam buku Malam Api (2007). Di hampir semua cerpennya, dia selalu bercerita tentang kenangan, masa lalu, sejarah dan serpihan-serpihannya, yang kemudian dirangkainya menjadi sebuah plot, menjadi sebuah cerita pendek yang sebenarnya amat panjang karena menembus ruang dan waktu. Dia bisa berlama-lama dan berlembar-lembar halaman menulis tentang potongan masa lalu itu, yang bahkan bisa jadi di sepanjang cerita itu adalah sebuah kisah masa lalu yang disodorkan kepada kita.
Saya membaca cerpen-cerpen Badri sudah sejak lama, barangkali ketika lelaki kelahiran Blitar ini mulai tumbuh dalam berkarya kreatif di awal tahun 2000-an. Bersama Pandapotan MT Siallagan dan Sobirin Zaini, ketika saya mulai mengasuh halaman budaya di Edisi Ahad Riau Pos, saya “didesak” untuk selalu membaca karya-karya ketiganya, baik berupa cerpen, puisi maupun esai. Tanpa mengecilkan arti para penulis lainnya yang juga berdesakan masuk ke meja kerja saya maupun di ruang e-mail, Badri, Siallagan dan Sobirin dengan tanpa lelah dan penuh semangat selalu menawarkan dan seolah ingin mengatakan bahwa saya harus membaca karya mereka dan “dipaksa” untuk memuatnya.
Ternyata, apa yang saya pikirkan memang pada saatnya menjadi kenyataan, bahwa ketiga sastrawan muda yang penuh semangat itu bisa tumbuh dan berkembang jika mau selalu belajar dengan membaca karya-karya pengarang yang lebih baik. Mereka, ketiganya, kemudian memang benar-benar membuktikan diri karena hampir setiap tahun menjadi langganan pemenang pada Laman Cipta Sastra yang diadakan oleh Dewan Kesenian Riau (DKR). Bahkan, ketika kemudian menyeberangi lautan dan tinggal di Bogor untuk meneruskan studi S-2-nya di Institut Pertanian Bogor (IPB), Badri mampu membuktikan apa yang saya pikirkan sebelumnya ketika berhasil menjadi juara pertama lomba cipta cerpen yang diadakan oleh Direktorat Pemuda Kantor Menpora bekerjasama dengan Creative Writing Institute (CWI) tahun 2006. Cerpen “Loktong” berhasil menyisihkan ratusan cerpen lainnya dari seluruh Indonesia. Sebuah langkah yang saya kira amat baik dari seorang Badri dengan berhasil menjelaskan kepada kita bahwa karya-karyanya ternyata mampu menggiring juri —yang bukan orang Riau—untuk menabalkannya menjadi salah seorang cerpenis yang harus diperhitungkan.
Membaca cerpen-cerpen Badri kita akan menemukan kalimat-kalimat yang puitik, melankolis, dan mengalir seperti air dengan segala kelokan dari hulu ke muara. Meski begitu, Badri tetap memiliki intuisi bahwa karya sastra hanya akan menjadi hasil kerajinan belaka jika tidak diberi roh. Roh karya adalah kenyataan sosiologi-antropologi yang didapat dari persoalan sehari-hari manusia dengan segala problematiknya.
Saya tidak sependapat dengan Nirwan Dewanto bahwa karya sastra hanyalah sebuah karya kerajinan yang ditulis oleh seorang pengrajin yang hanya memutar-balik bentuk dan tidak pada isi dan pencapaian estetikanya yang lebih baik. Karya sastra yang baik bukanlah sebuah karya yang lahir dari egoisme penulisnya dengan dunianya sendiri, tetapi sebuah karya yang lahir sebagai cerminan masyarakatnya. Meskipun banyak orang yang menolak ketika karya sastra banyak memuat persoalan dan akan sama dengan teks jurnalistik, namun ketika karya sastra tak memberi roh dan isi apa-apa, ianya akan sama dengan seseorang yang memilih melajang seumur hidupnya dan menikmati orgasme seksual dengan cara masturbasi.
Cerpen-cerpen dan karya sastra besar dunia lahir dan menjadi cerminan problematika masyarakat. Anton Chekov memotret persoalan sosial masyarakat Rusia yang berada dalam tirani berkepanjangan. Begitu juga dengan karya-karya Leo Tolstoy, Nikolai Gogol, Fyodor M Dostoyevsky, Maxim Gorsky dan sekian sastrawan Rusia lainnya yang “menyerahkan” karyanya kepada masyarakat, karena karya itu adalah cerminan sosiologi-antropologi-politik masyarakatnya. Begitu juga dengan karya-karya Jean-Paul Sartre, Kawabata Yasunari, Lu Xun, Frank Kafka, Milan Kundera, dan yang lainnya.
Apa yang dikatakan Seno Gumira Ajidarma, bahwa ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra yang harus bicara, pas dalam konteks ini. Seno tidak menampik jika karya sastra menjadi mediator antara masyarakat pembaca dengan masyarakat fakta yang menjadi objek dari persoalan seperti yang terjadi dalam dunia jurnalistik. Bahwa unsur politik, sosial, kultural dan sebagainya, sangat sah menjadi unsur dalam karya sastra. Namun, memperpanjang persoalan eksistensi tersebut, tidak akan selesai dalam tulisan ini karena masing-masingnya memiliki argumentasi.
Problematika sosial yang dipotret Badri dalam cerpen-cerpennya sangat terlihat di tengah romantisme masa lalu yang dia tawarkan. Cerpen “Malam Api” misalnya, menceritakan tentang bagaimana kapitalisme yang tanpa batas mengamuk dan menghancurkan sistem nilai dan kultural masyarakat, yang akhirnya menimbulkan persoalan sosial. Orang-orang yang terusir dari kampungnya akibat kekerasan kapitalisme secara verbal maupun idelogi, yang tidak mampu melawan.
Dalam “Loktong”, Badri menyodorkan realitas sosial seorang gadis dusun kelahiran Nanking yang terdampar di kota dan akhirnya harus menjadi pemuas nafsu karena himpitan ekonomi dan jebakan sindikat trafficking. Sebuah cerita yang cenderung klise memang, tapi Badri mampu meramunya menjadi sebuah plot yang liris dan tragis dengan aroma yang “lain”.
Cerpen “Kenangan di Bawah Bulan” menceritakan tentang sepasang kekasih di masa lampau yang bertemu kembali di masa kini dengan realitas sosial yang sudah berbeda dari keduanya. Apa yang menarik dari kenangan? Barangkali hanya orang yang mengalami kenangan itulah yang bisa merasakannya. Persoalan tenaga kerja Indonesia di Malaysia, berusaha ditawarkan oleh Badri dalam cerpen “Hujan Menjelang Lebaran”. Berkisah tentang kerinduan Ning terhadap bundanya yang karena himpitan ekonomi memilih menyeberang ke Malaysia menjadi TKI.
“Cerita dari Utara” adalah bentuk empati Badri terhadap bencana tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darussalam (NAD) Desember 2004. Tokoh Aku teringat pada kekasihnya, Alia, yang tinggal di Banda Aceh. Sepanjang cerpen ini kita disuguhi segala kenangan si Aku terhadap kekasihnya itu, dan surat-surat Alia yang menyentuh sebelum akhirnya gadis itu juga menjadi salah satu korban tsunami bersama ratusan ribu orang lainnya. Dalam “Dia Selalu Menangis Setiap Melihat Matahari Muncul dari Balik Kabut Asap”, Badri juga menulis tentang realitas di Riau ketika musim panas yang memunculkan bencana kabut asap.
Tetapi, secara keseluruhan, membaca cerpen-cerpen Badri membuat kita seperti berada dalam sebuah kawasan yang teduh, berangin, tenang, tanpa suara, senyap dan melenakan, meski kita disodori banyak realitas sosial di sana-sini.***