KOLOM HARY B KORIUN

Pers Kita

Perca | Minggu, 27 Desember 2015 - 00:53 WIB

Pers Kita

KETIKA pers masuk ke ranah industri, haruskah pers kehilangan idealismenya? Pertanyaan ini muncul di Amerika Serikat dan Eropa lebih seratus tahun lalu, ketika liberalisme pers begitu kuat tanpa kontrol.

Kondisi ini membuat banyak pakar pers yang resah karena liberalisme pers membuat pers tak banyak memberikan dampak kepada masyarakat, tak lagi memberikan ruang kepada publik, dan hanya berorientasi bisnis. Persaingan sesama media membuat banyak media yang “membabi-buta” dalam menyajikan berita dan artikelnya, dan hanya berita yang dianggap “layak jual” yang bisa mereka muat. Artinya, berita  sepenting apapun tetapi dianggap tak akan menarik pembaca, akan ditepikan. Hukum pasar berlaku: yang kuat dan kreatif yang akan tetap hidup, sementara media konvensional yang masih mengedepankan idealisme, menjadi semakin ditinggalkan.

Salah seorang yang gerah dengan kondisi itu adalah Bill Kovac. Bersama para koleganya, dia memeras otak, bagaimana supaya selain orientasi bisnis, media juga masih memiliki “nurani” dan idealisme kepada masyarakat. Dia sadar, bahwa pers saat ini banyak dikuasai oleh kelompok bisnis yang tidak hanya di jalur pers, tetapi juga di bisnis lainnya, termasuk politik.

Baca Juga :Napoleon (2)

Untuk hal seperti itu, Kovac memberikan jalan keluar:  “Jika wartawan/media memiliki hubungan yang bisa dipersepsikan sebagai konflik kepentingan, mereka berkewajiban melakukan full-disclosure tentang hubungan itu.”

Tujuannya adalah agar  pembaca waspada dan menyadari bahwa tulisan/liputan itu tidak independen-independen amat. Ada muatan bisnis di dalamnya.

Kasus yang menimpa salah satu koran kuning terbesar di Inggris milik Ruper Murdoch, News of The World (NoTW),  harus menjadi pelajaran bagi siapapun pengelola pers. Bahwa tekanan bisnis dan kepentingan, bisa membuat pengelola media melakukan segala cara, termasuk apa yang dilakukan CEO koran itu, Rebekah Brooks.

Brooks memerintahkan para wartawannya bisa dan harus mendapatkan berita eksklusif, bagaimanapun caranya termasuk melakukan penyadapan, menyuap sumber, dan sebagainya, yang menurut Kovac, amat salah dan tak sesuai dengan 9 prinsip jurnalistik: pencarian kebenaran, loyal dan berpihak terhadap masyarakat, disiplin verifikasi, independen dari obyek liputan, menjadi pemantau kekuasaan, memberi forum bagi kritik, menjadikan hal yang penting menjadi menarik dan relevan, membuat berita yang komprehensif dan proporsional, dan memiliki hati nurani secara personal.

Tanpa prinsip itu, kata Kovac, maka media akan menggali kuburnya sendiri, dan kalaupun tidak, akan kehilangan harga diri.  Kehilangan kredibilitasnya, dan tak dihargai lagi oleh publik.

Di Indonesia, ketika kebebasan pers dibuka seiring bergulirnya reformasi, ribuan media terbit dengan berbagai macam genre dan jenis. Eforia ini muncul akibat kekangan Orde Baru terhadap pers. Ketika tali pengikat itu dibuka, bagai air bah, media terbit seperti aliran air yang menjebol bendungan. Banyak yang tak terkendali, baik dalam hal konten yang banyak menyalahi etika pers, maupun etika para personilnya di lapangan.

Kondisi ini sama seperti yang terjadi di Eropa maupun Amerika Serikat sekian ratus tahun lalu ketika semuanya dibebaskan. Namun, pelan tapi pasti, hukum dan seleksi alam terjadi. Media yang hanya mengandalkan semangat tanpa memahami etika, tak memahami ideologi, tak memahami pasar, dan hal-hal lain yang menjadi variabel  kehidupan media, akhirnya rontok satu per satu. Ada yang mati karena sentuhan bisnisnya tak hidup, ada yang dimatikan oleh pengadilan karena tersandung kasus hukum, atau dimatikan oleh masyarakat karena kasus pornografi misalnya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook