Di sinilah peran seorang Marcos sangat dominan dalam menyampaikan pandangan-pandangan politik itu. Ketika dia mendaki pegunungan Chiapas tahun 1983 untuk bergabung dengan gerakan ini --dengan melepaskan dirinya sebagai orang kaya dan terpelajar di kota-- dia menanggalkan semua pahaman revolusioner klasik dari Lenin, Stalin, Marx, atau tokoh kiri lainnya. Sosialisme-komunisme, menurutnya, tetap sama dengan ide kapitalisme klasik: menciptakan kediktaktoran baru, kaptalisme global dan tak menghargai hak-hak masyarakat minoritas yang dianggap penghambat kemajuan. Yang ada dalam ranselnya ketika itu malah novel dan buku sastra milik Shakespeare, Gabriel Garcia Marquez, Vargas Llosa, Julio Cortazar, Umberto Eco, dan yang lainnya.
Marcos dan Zapatista menggunakan kata (sastra) sebagai alat perlawanan baru, terutama untuk pencitraan diri lewat media massa. Marcos berbicara lewat surat yang di dalamnya adalah puisi, telaah, anekdot, dan cerita-cerita lucu-satir dengan menciptakan seorang tokoh pencerita (yang paling terkenal adalah Don Durito dari Rimba Lacandon), yang dikirimnya ke koran-koran besar maupun kecil Meksiko dan ternyata bisa melipatgandakan oplah mereka. Tulisan Marcos menyihir semua pembacanya, dan selalu ditunggu oleh mereka. Kekuatan prosa maupun liris Marcos diakui oleh kalangan sastrawan Nobel macam Octavio Paz, Regis Debray, Garcia Marquez sendiri, hingga Jose Samarago. Mereka menganggap, pencapaian Nobel mereka tak ada artinya dibanding cita-cita Marcos dan Zapatista-nya.
Zapatista dan Marcos memang akhirnya harus dihentikan oleh kekuasaan yang sah. Tapi gerakan ini telah memenangkan hati rakyat Meksiko dan para pembacanya di dunia lain. Ketulusan mereka membela kaum tertindas tanpa pamrih kekuasaan, adalah cermin yang tak didapatkan dalam gerakan gerilyawan di manapun. Mereka menjunjung kearifan lokal (minoritas adat-petani) sebagai sebuah kekuatan besar, sebuah kelompok minoritas yang --menurut Peter L Berger-- menjadi korban kaum intelektual yang berkoloborasi dengan kekuasaan. Mereka yang “membangun piramida” (kekuasaan), tetapi akhirnya menjadi tumbal sebagai “biaya pembangunan” atau “harga revolusi”. Zapatista dan Marcos berusaha membalikkan itu.
Kearifan lokal, di tanah Riau, atau Sumatra ini, apakah diperhitungkan? @harybkoriun