KOLOM HARY B KORIUN

Petrus

Perca | Jumat, 12 Februari 2016 - 00:13 WIB

Petrus
ILUSTRASI (TEMPO/HISTORIA)

Tapi tubuh-tubuh bertato yang tegap itu tetap saja basah. Basah oleh  darah dan hujan dan kerjap halilintar membuat darah dan tubuh  yang basah itu berkilat dan darah dan basah hujan pada semen juga berkilat. Kepala orang-orang itu terkulai ke depan atau ke belakang seperti dipaksakan oleh takdir itu sendiri. Sesekali kepala itu  menelungkup mencium bumi atau tengadah ke langit dengan mata terbelalak  dan mulut menganga. Dan bila hujan belum betul-betul selesai, maka Sawitri melihat mulut yang menganga itu kemasukan air hujan.

 

Baca Juga :Napoleon (2)

KISAH Sawitri, seorang pelacur yang menjadi “saksi mata” para bromocorah kelas kambing yang mayatnya sering terlihat di balik  gorden dengan tato di tubuhnya, ditulis oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah cerpen berjudul “Bunyi Hujan di Atas Genting”,  yang dimuat di Kompas, 18 Januari 1985. Cerpen itu kemudian dimuat dalam buku kumpulan cerpen (kumcer) tunggal Seno berjudul Penembak Misterius (Pustaka Utama Grafiti, 1993).

Kumcer tersebut dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama berjudul “Penembak Misterius: Trilogi” yang berisi tiga cerpen, yakni “Keroncong Pembunuhan”, “Bunyi Hujan di Atas Genting”, dan “Grhhh!”. Tiga cerpen tersebut semuanya bercerita tentang pembunuhan tanpa sebab, tanpa alasan, disembunyikan, mengundang gaduh masyarakat, dan memang terkesan misterius.Siapa pembunuhnya, tidak diketahui. Tiba-tiba, mayat-mayat berserakan di mana-mana. Ada yang menyembul di parit, di sungai, di onggokan sampah, di tepi jalan, dan di sembarang tempat lainnya.

Bagian kedua berjudul “Cerita untuk Alina”.Ada tujuh cerpen di bagian kedua ini. Masing-masing adalah “Sarman”, “Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo)”, “Melati dalam Pot”, “Dua Anak Kecil”, “Tragedi Asih Istri Sukab”, “Seorang Wanita di Halte Bis”, dan “Semankin (d/h Semakin)”.  Tujuh cerpen yang ada di bagian ini semuanya dimulai dengan keinginan Alina agar diceritakan tentang berbagai hal oleh seorang tukang cerita.Misalnya, “Ceritakanlah padaku tentang kepunahan,” kata Alina pada tukang cerita itu. Maka tukang cerita itu pun bercerita tentan Rambo:… (“Becak Terakhir di Dunia [atawa Rambo]”).

Di bagian ini, si tukang cerita itu seolah-olah bercerita kepada Alina tentang berbagai hal. Mulai dari kesulitan hidup para tokohnya, orang-orang yang dipinggirkan secara struktural, orang-orang yang hidup di pinggir rel, tukang becak yang setengah mati mengayuh pedalnya demi uang recehan untuk makan keluarganya, seorang wanita yang hidupnya kesepian menunggu seseorang di halte bus, dan banyak kisah lainnya.

Bagian terakhir, ketiga, berjudul “Bayi Siapa Menangis di Semak-semak?”, berisi lima cerpen, yakni “Srengenge”, “Manusia Gundu”, “Helikopter”, dan “Bayi Siapa Menangis di Semak-semak?”. Plot dalam cerpen-cerpen tersebut mengisahkan tentang banyak hal-hal aneh yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari yang cenderung biasa saja, namun kadang tak masuk akal. Juga tentang hal-hal yang luar biasa namun dianggap biasa saja yang sering terjadi di sekitar kita. Tentang kemiskinan, kepapaan, pelacuran, wanita yang harus melahirkan anaknya di gundukan sampah, dan kisah-kisah orang kecil lainnya.

Namun, di antara cerpen-cerpen tersebut, tema pembunuhan misterius (petrus) memang menjadi hal paling menarik.

***

PETRUS bukan hanya sebuah  kependekan dari dua kata, penembak dan misterius. Lebih dari itu, petrus sudah menjadi sebuah kata tersendiri yang jika kita menyebutnya, maka ingatan akan langsung tertuju pada mayat-mayat yang bergeletakan di sembarang tempat. Kadang dengan identitas, seringnya tanpa identitas.Tetapi yang pasti, meski hampir semua orang tahu mayat-mayat itu dibunuh oleh sebuah operasi rahasia yang dijalankan rezim, namun tak ada yang berani mengatakannya.

Kisah ini berawal, pada Maret 1982, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Laksamana Soedomo, mengadakan pertemuan dengan pengusaha bus di Jakarta. Para pengusaha bus tersebut, terutama yang dari Sumatera, mengeluhkan kondisi keamanan bus yang melakukan perjalanan di Lintas Sumatera. Gerombolan “bajing loncat” dianggap sudah sangat keterlaluan. Mereka meloncat ke atas bus yang berjalan di tebing-tebing, kemudian masuk ke dalam, melakukan penjarahan dan penodongan, dan kemudian kabur. Bukan hanya di Sumatera,  tetapi juga di Jawa. Tercatat, pada periode Februari-Maret 1982 saja, ada sekitar 21 kasus pembajakan bus di Jawa.

Namun, banyak yang curiga, banyaknya “bajing loncat” dan perampokan di bus-bus tersebut ditengarai adalah agenda setting yang dibuat Soedomo untuk melegalkan pembersihan penjahat secara terstruktur, terencana, sistematis,  dan menimbulkan efek jera. Operasi ini dianggap mengada-ada meskipun tingkat kejahatan memang terus meningkat.

Masalah “bajing loncat” dan persoalah kejahatan di bus-bus tersebut sebenarnya menjadi salah satu alasan.Alasan lainnya adalah penguasan Orde Baru ketika itu, Soeharto, merasa sudah gerah dengan banyaknya kejahatan yang diangggapnya sudah keterlaluan dan membuat rakyat yang sudah sengsara menjadi tambah ketakutan. Pada tahun baru 1 Januari 1982, Soeharto mengucapkan selamat kepada Kapolda Metro Jaya ketika itu, Mayjen Anton Soedjarwo, yang berhasil membongkar kasus perampokan uang sebesar Rp32 juta di Jl Soeryopranoto, Jakarta, pada 30 Desember 1981. Polisi berhasil membekuk tersangka dan menuntaskan kasus itu dalam 16 jam.

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook