KOLOM HARY B KORIUN

Pamuk

Perca | Selasa, 01 Desember 2015 - 00:02 WIB

Pamuk

NAMANYA Kerim Alakusoglu, tetapi dia lebih suka memakai nama inisialnya yang merupakan kependekan dari dua kata nama itu: Ka. Dua belas tahun lebih dia meninggalkan kota kelahirannya, Kars, karena pengasingan politik, dan kemudian kembali ke kota itu ketika wabah bunuh diri melanda gadis-gadis muda. Ada yang hanya karena diputus oleh pacarnya, dan lebih ekstrim lagi ketika sekolah mengancam mengeluarkan mereka karena tak mau membuka jilbabnya sesuai peraturan nasional Turki tentang pendidikan yang melarang siswa berjilbab di institusi pendidikan. Sebuah peraturan berbau sekulerisme, sebuah ide yang digagas sang Bapak Turki, Mustafa Kemal Pasha, atau lebih Kemal Attaturk.

Wabah bunuh diri yang menjangkit di Kars; pemilihan kepala daerah yang menakutkan warga karena intimidasi dan kekerasan terjadi; plus keinginannya menganyam kembali memori masa lalunya bersama gadis pujaannya, Ipek,  membuat Ka kembali ke Kars, sebuah kota yang selalu bersalju dengan cuaca dingin dan badai salju yang bisa datang setiap saat.

Baca Juga :Napoleon (2)

Ka seorang wartawan, juga penyair. Setelah dua belas tahun tinggal di Frankfurt (Jerman), dan hidup dengan budaya sekuler khas Eropa, Ka kembali ke Istanbul dan bekerja di koran Republican yang berhaluan sekuler.

Di Kars, dia kembali menemukan segalanya: kebudayaan yang telah lama ditinggalkannya, ingatan masa kecil yang indah, gadis masa lalunya dan ingatan-ingatan lainnya yang membuatnya merasa memiliki hati dan perasaan lebih nyaman ketimbang hidup dalam kebebasan ala Jerman (Eropa) yang kaku dan dingin. Namun, wabah bunuh diri, politik yang kotor (termasuk pembunuhan terhadap walikota), serta kemiskinan yang sangat, membuatnya sangat bersedih. Dia baru sadar, polemik Islam taat dan sekulerisme yang selama ini diperdebatkan, tidak lebih penting ketika persoalan-persoalan kemanusiaan itu muncul.

Bacalah kepedihan ini: Gadis itu, Teslime, menghabiskan malam terakhirnya dengan tanpa suara, menonton serial berjudul Marianna. Setelah menyeduh the dan menyajikannya untuk orang tuanya, dia masuk ke kamarnya, berwudu dan bersiap-siap menunaikan salat. Sesudah salat, dia bersujud di atas sajadahnya, sejenak menenggelamkan diri dalam doa dan renungan, lalu mengikatkan jilbabnya ke cantolan lampu dan menggantung diri…

***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook