“Kemungkinan pekan depan mengundang semua ormas, organisasi perempuan ini untuk hadir dengan pakar-pakar anak, termasuk tokoh adat, tokoh agama, dengan kementerian-kementerian,” tuturnya. Dia juga berharap, DPR bisa mendukung sehingga prosesnya bisa berlangsung cepat.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2017, angka pernikahan anak (di bawah usia 18 tahun) masih tinggi. Secara nasional, angkanya ada di 25,71 persen. Artinya 25 dari 100, atau 1 dari 4 pernikahan yang ada di Indonesia dilakukan di bawah 18 tahun. Di sejumlah daerah, angkanya lebih mengkhawatirkan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, selain batas minimal usia, norma lain yang perlu diatur adalah soal dispensasi. Pasalnya, dalam sejumlah kasus, pernikahan anak terjadi dan dilegalkan karena ada dispensasi.
Dalam kasus pernikahan anak di Bantaeng yang tengah ramai dibicarakan misalnya, kedua pasangan yang berusia 14 dan 16 tahun sebetulnya sempat ditolak oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Namun saat diadukan ke Pengadilan Agama Banteang, pengadilan justru memperbolehkan dengan alasan dispensasi.
Padahal, tidak ada alasan keterdesakan. Keduanya diperbolehkan menikah hanya karena sang perempuan sering ditinggal kerja ayahnya dan ibunya meninggal. “Sekarang seolah-olah, nikah itu hak sehingga bisa dapat dispensasi. Padahal perlu juga dilihat hak anak perlu terlindungi,” ujarnya kepada Jawa Pos (JPG).
Oleh karenanya, dia menilai, dalam perppu nantinya, syarat pemberian dispensasi harus lebih diperketat. Di mana perspektifnya tidak hanya bicara soal hak untuk menikah. Melainkan yang lebih penting adalah hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berkembang.
Selain dari regulasi, Rita juga menyarankan aspek edukasi untuk digalakkan. Pasalnya, tidak mudah untuk mengatur warga di ranah privat seperti pernikahan. Bukan tidak mungkin, jika regulasi dipersulit, warga justru memilih nikah siri.
“Makanya edukasi yang penting,” imbuhnya.
Dia menilai, edukasi terkait makna pernikahan harus dimasifkan di masyarakat. Diakuinya, saat ini, masih banyak orang yang salah memaknai pernikahan sehingga nekat nikah di usia muda. Mulai dari alat memperoleh mahar, hingga upaya menghindari zina masih ada di benak masyarakat.
“Pernikahan bukan asal boleh mengesahkan. Ada tujuan kemaslahatan keluarga. Sehingga dampak negatif ke depan bisa dihindari,” tuturnya.
Terpisah, jajaran Kementerian Agama (Kemenag) mendukung wacana penerbitan perppu untuk menekan angka pernikahan anak. Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Muhammadiyah Amin mengatakan, dirinya setuju dengan rencana perppu untuk menekan angka pernikahan dini.
Dia menjelaskan, selama ini penghulu tidak berani menikahkan calon pengantin di bawah umur. “Sesuai yang diatur UU Perkawinan yakni minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi perempuan,” tuturnya saat dikonfirmasi, Sabtu (21/4). Dalam sejumlah kasus, Muhammadiyah mengatakan ada penghulu yang berani menikahkan mempelai yang masih di bawah umur.
Para penghulu yang bersedia melayani pencatatan nikah di bawah umur selama mendapatkan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama (PA) setempat.
“Jadi jika ada rencana perppu untuk menekan kasus pernikahan dini atau pernikahan anak saya setuju dan mendukung,” tuturnya.
Sementara itu sebelumnya Menag Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, mereka tidak bisa mencegah atau menolak jika ada dispensasi pernikahan yang dikeluarkan oleh PA. Contohnya adalah pernikahan SY dan FA, keduanya masih SMP, warga Bantaeng, Sulawesi Selatan. Pada kasus ini, PA Bantaeng telah mengeluarkan surat dispensasi. Isinya boleh melakukan pernikahan resmi, meski pun usianya di bawah umur.(far/wan/lim)