PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Wakil Gubernur Riau, Edy Natar Nasution meminta pemerintah kabupaten/kota mengintensifkan edukasi tentang kesiapan usia menikah guna mencegah pernikahan dini.
''Sebab dampak dari pernikahan dini tersebut memicu kasus kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran anak dan kekerasan fisik dan ekonomi sehingga selain perempuan, anak juga dirugikan akibat kedua orang tuanya yang belum siap secara mental dan ekonomi,'' kata Edy pada rapat koordinasi evaluasi kinerja tim percepatan penurunan stunting di Provinsi Riau, Selasa (27/12).
Hadir dalam acara tersebut Kepala Dinas (Kadis) Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Fariza, Kepala Perwakilan BKKBN Riau Mardalena Wati Yulia dan forkopimda lainnya.
Menurut Edy, ketika orang tua tidak berdaya secara ekonomi dan terbatasnya pengetahuan tentang cara merawat anak pada 1.000 hari pertama kelahiran maka anak akan berpotensi stunting.
Edy menyebutkan, kasus ini harus menjadi perhatian semua pihak dan segera diantisipasi, khususnya pemerintah desa mustahil mereka tidak mengetahui telah terjadinya pernikahan dini di bawah tangan atau secara nonprosedural itu.
''Ini menjadi tanggung jawab ASN pada OPD terkait, apalagi jabatan ini selain dipertanggungjawabkan di dunia juga di hadapan Allah sehingga peran ASN perlu lebih diintensifkan. Kepala desa mampu membangun mekanisme dengan lebih bertanggung jawab,'' katanya.
Tanggung jawab lainnya juga dituntut kepada kepala daerah yang jarang menghadiri rapat teknis menyangkut kesejahteraan masyarakat antara lain penuntasan prevalensi stunting.
''Jika masih ditemukan pimpinan daerah yang tidak mau menghadiri rapat maka segera laporkan via Wash App ke saya, untuk saya teruskan ke Gubernur Riau, Bapak Syamsuar sebagai bagian penilaian kinerja ASN,'' katanya.
Kepala Dinas (Kadis) Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Riau, Fariza mengatakan pernikahan dini jelas melanggar Undang-undang perkawinan nomor 16 Tahun 2019 yakni batas usia minimal pria dan wanita untuk melangsungkan pernikahan adalah 19 tahun.
''Faktanya masih ditemukan remaja usia 14-17 tahun di Riau sudah memiliki dua bahkan tiga anak. Kasus ini baru kami temukan setelah mereka mengalami KDRT, dipukul suami, menjadi korban kekerasan fisik dan penelantaran anak,'' katanya.
Pernikahan dini adalah pernikahan di bawah tangan/nonprosedural karena mereka tidak memiliki KTP dan KK sehingga sulit mendapatkan layanan JKN KIS.
Fariza menjelaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kemenag Riau untuk menghimpun data terkait jumlah pasangan pernikahan dini. Tetapi penyisiran sulit dilakukan karena pernikahan mereka tidak terdaftar.
''Setelah terjadi KDRT, temuan kasus stunting, KDRT dan penelantaran anak ketika mereka melapor ke kami. Karenanya bersama tim pendamping keluarga perlu kembali digencarkan sosialisasi ke kepala desa untuk melakukan pencegahan, sebab mereka yang lebih mengenal dan mengetahui warganya sendiri,'' katanya.(eca)