Adapun penyelesaian sengketa BDNI pun akhirnya dipegang oleh Syafruddin
sebagai Ketua BPPN di tahun 2003. Saat itu, Syafruddin merestrukturisasi
utang BDNI sebesar Rp3,9 M. Dalam rapat terbatas pemerintah, Syafruddin
mengusulkan kepada pemerintah agar BDNI hanya membayar Rp1,1 M
sementara Rp 2,8 M dihapus atau write off.
Syafruddin dalam rapat itu ternyata tidak melaporkan aset berupa utang
petambak yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim terdapat misrepresentasi
pada saat penyerahannya ke BPPN. Akan tetapi, pihak pemerintah tidak
menyepakati pandangan Syafruddin.
Namun, Syafruddin justru membuat ringkasan rapat yang menyatakan
ada penghapusan utang Rp2,8 M. Mengacu dari ringkasan yang dibuat
Syafruddin, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti pun memutuskan untuk menghapus
utang sebesar Rp2,8 M.
Hal itu tertuang dalam
Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004 yang menyetujui nilai hutang
masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp
100 juta. Karena itu, dengan penetapan nilai utang maksimal tersebut,
dilakukan penghapusan atas sebagian utang pokok secara proporsional
sesuai beban hutang masing-masing petambak plasma dan penghapusan
seluruh tunggakan bunga serta denda.Di samping itu, dengan terbitnya keputusan penanganan penyelesaian
kewajiban debitur petambak plasma PT DCD, keputusan-keputusan KKSK
sebelumnya yaitu KEP.20/M.EKUIN/04/2000 tanggal 27 April 2000 yang
memerintahkan porsi unsustainable debt seluruhnya ditagihkan kepada
pemegang saham PT DCD dan PT WM, yaitu Sjamsul Nursalim dan
KEP.02/K.KKSK/03/2001 pada 29 Maret 2001 yang memerintahkan porsi unsustainable debt dialihkan ke perusahaan inti, yakni PT DCD dinyatakan tidak berlaku.