JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Surat pengunduran diri yang diajukan Firli Bahuri ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Ketua dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum disetujui. Sebab, dalam surat tersebut Firli tidak menyatakan dirinya mengundurkan diri, melainkan berhenti dari jabatannya.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan, belum disetujuinya surat pengunduran Firli Bahuri oleh presiden memberikan kesempatan kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk menjatuhkan sanksi etik berat terhadap Firli Bahuri. Desakan itu agar Firli Bahuri menerima efek jera atas perbuatannya itu.
Berdasarkan temuan Dewas KPK, Firli diduga melanggar tiga dugaan pelanggaran etik. Pertama, terkait pertemuan antara Firli dengan mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Kedua, terkait ketidakjujuran Firli Bahuri dalam pengisian Laporan Harta Penyelenggara Negara (LHKPN). Ketiga, dugaan penyewaan rumah di Jalan Kertanegara.
"Jelas harapannya dinyatakan bersalah melanggar etik dan diberikan sanksi terberat, berupa permintaan pengunduran diri dan sekaligus memberikan rekomendasi pada presiden untuk memberhentikan," kata Boyamin kepada JawaPos.com, Selasa (26/12).
Boyamin menduga, Dewas KPK juga sudah pada level jengkel terhadap Firli Bahuri. Sebab, meski Firli menyerahkan surat pengunduran diri ke Presiden dari jabatan Ketua dan Pimpinan KPK, Dewas KPK tetap melanjutkan proses persidangan dugaan pelanggaran etik.
"Ini supaya ada efek jera karena dia melanggar kode etik," ujar Boyamin.
Jika dijatuhi sanksi, lanjut Boyamin, andai Firli ke depan masih menginginkan menduduki jabatan publik, maka hal itu sudah tidak bisa lagi karena namanya tercoreng dan sudah terbukti melanggar kode etik.
Sebagaimana diketahui, Dewas KPK akan menggelar putusan dugaan pelanggaran etik terhadap Firli Bahuri, pada Rabu (27/12) besok. Sidang putusan etik itu digelar setelah Dewas KPK memeriksa saksi-saksi dalam proses persidangan etik.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman